Thursday 16 January 2014

When Things Went Wrong...

15 Januari, tiga tahun yang lalu...

Di hari Sabtu yang cerah, saya dan seorang teman bertemu untuk makan siang di salah satu restoran di pusat kota. Tidak ada firasat apapun sepanjang hari itu selain tabung gas kami yang hilang dicuri orang seminggu sebelumnya. Saya ingat, waktu suami akan pergi bertugas beberapa hari kemudian, saya sempat mengajukan keberatan saya ditinggal lagi gara-gara insiden pencurian tabung gas itu. Tapi ia meyakinkan saya bahwa semua akan baik-baik saja.

Sore harinya, saya mematikan lampu sensor di halaman depan yang biasanya akan menyala apabila sensornya menangkap objek bergerak, entah itu mobil, kucing, ataupun manusia. Namun sudah beberapa hari ini lampu itu menyala terus di siang hari, padahal seharusnya lampu tersebut hanya menyala pada saat malam hari saja. Malam harinya, sekitar jam 10, saya sempat mendengar sekelompok orang bercakap-cakap ramai di depan rumah namun saya abaikan. Saya pergi tidur menjelang tengah malam. Tiba-tiba saja saya mendengar orang bercakap-cakap begitu dekat di telinga saya, lalu kemudian disusul suara nyaring berulang-ulang sepertinya seseorang sedang memukul besi. Suara-suara itu tidak kunjung hilang sampai akhirnya saya bangun dari mimpi saya dan tersadar bahwa suara gaduh yang saya dengar nyata adanya. Pikiran saya otomatis melayang pada tabung gas di luar yang telah kami rantai. Pasti ada orang yang mencoba mengambil tabung gas lagi, pikir saya ketika itu dalam keadaan setengah sadar.

Terbangun sambil setengah sadar, saya berjalan dari kamar menuju dapur untuk melihat asal suara gaduh tersebut. Sempat terlihat sekilas ketika saya melintasi ruang duduk menuju dapur, jarum jam menunjukkan 00.40. Sebagai gambaran, rumah yang kami tinggali berada di pinggir laguna dan dapur berada di bagian depan rumah yang menghadap ke jalan. Saya masih belum menyadari kalau lampu penerangan di luar di depan dapur mati sehingga saya tidak dapat melihat apapun. Dengan panik, saya menelepon siapapun yang terlintas di pikiran saya, mulai dari suami, polisi, teman, dan pemilik rumah yang kami sewa. Polisi, yang paling saya harapkan bantuannya saat itu sama sekali tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Saya telepon polisi dua kali, bicara dengan orang yang berbeda, dan dua kali itu pula saya kesulitan menjelaskan lokasi rumah kami. Di Port Vila, tidak ada nomor rumah, hanya tempat-tempat tertentu yang dijadikan patokan. Setelah menelepon, saya kembali ke dapur dan mengintip dari belakang kulkas, sampai sebuah kesadaran mengejutkan saya...suara gaduh tersebut bukan berasal dari orang yang ingin mencuri tabung gas, namun suara itu berasal dari alat yang digunakan untuk membuka paksa kisi-kisi pelindung jendela dapur. Kisi-kisi pelindung jendela ini ditujukan untuk melindungi kaca jendela dari hempasan angin ribut yang kerap melanda wilayah Pasifik, dan dibaliknya tidak ada teralis lagi.

Saya yang belum bangun sepenuhnya mencoba memahami apa yang terjadi...dan ketika suara-suara gaduh semakin nyaring terdengar bercampur dengan suara orang bercakap-cakap, saya mendadak lemas..orang-orang yang terdengar sedang bercakap-cakap itu bukan mau mencuri tabung gas, melainkan sedang berusaha masuk rumah lewat jendela dapur yang tanpa teralis dengan merusak kisi-kisi kayu!! Di dini hari Minggu yang gelap dan sepi, saya sendirian di rumah yang bisa dibilang tanpa pengamanan, sementara ada orang di luar yang sedang berusaha masuk, rasa takut yang amat sangat mulai menjalari saya...benar-benar takut. Sementara suara-suara gaduh di luar tidak juga berhenti, saya semakin panik. Bagaimana kalau mereka berhasil masuk sementara saya belum berhasil menghubungi satupun orang untuk minta bantuan? Saya semakin takut...bayangan buruk berlarian di benak saya...saya mondar mandir kebingungan, kemana saya harus bersembunyi? di lemari, di dalam koper? bagaimana kalau mereka akhirnya masuk rumah dan menemukan saya? mengurung diri di dalam kamar bukan pilihan karena dengan mudah pintu kamar bisa didobrak dari luar.

Di saat panik semakin menguasai, saya menelepon kembali si pemilik rumah dan mengatakan kalau ada orang mau mendobrak masuk rumah. Si pemilik rumah menjawab ia akan segera datang. Rasanya waktu begitu lama berlalu dan ketakutan saya sudah nyaris tidak terkontrol...setidaknya ada lebih dari dua orang pria di luar sana dan saya sendirian di dalam rumah dalam keadaan lemah pula, tanpa satupun alat untuk membela diri. Saya tidak tahu berapa lama lagi si pemilik rumah akan datang, namun di sisi lain saya takut pencuri-pencuri itu berhasil masuk sebelumnya dan menemukan saya sendirian di dalam. Dalam keragu-raguan apakah saya berteriak meminta tolong atau tidak, akhirnya saya memutuskan berteriak seolah-olah saya membangunkan suami untuk memberi kesan bahwa saya tidak sendirian di rumah. Serentak suara gaduh itu berhenti dan saya semakin keras berteriak minta tolong dengan perasaan ketakutan setengah mati sambil menyambar alat berkebun serupa garpu panjang yang dipakai untuk menggemburkan tanah di dekat dapur. Tiba-tiba aliran listrik diputus (kotak saklar berada di luar) dan rumah otomatis menjadi gelap gulita. Saya semakin histeris berteriak dengan garpu panjang dan berat di tangan yang saya ayunkan ke segala arah, saking panik dan takutnya. Di saat terburuk itu, saya hanya bisa berpikir, setidaknya saya harus melindungi diri dengan alat apapun jika kemungkinan yang paling tidak diinginkan terjadi yaitu mereka berhasil masuk rumah. Saya terus berteriak ketakutan sampai saya dengar dari kejauhan mobil si pemilik rumah semakin mendekat. Tidak lama, terdengar suara pemilik rumah dan istrinya yang memanggil-manggil lalu ia melompati pintu pagar yang saya kunci sejak sore tadi. Saya keluar rumah dengan gemetar namun masih bisa menguasai diri. Beberapa saat kemudian, datang suami teman yang tidak sengaja saya telepon ketika saya panik tadi, mereka tinggal tidak jauh dari tempat kami. Tiga orang polisi datang terakhir mengendarai mobil untuk membawa tahanan disusul serombongan polisi lagi. Ketika mereka datang, saya masih sempat-sempatnya marah karena merekalah yang terakhir sampai padahal mereka yang pertama kali saya hubungi. Ketika mereka datangpun, mereka hanya berkeliling sebagian halaman saja, tidak memeriksa sampai halaman bawah dekat laguna, jadi pantas saja kalau pencuri-pencuri itu aman di tempat persembunyiannya. Perasaan takut saya berubah menjadi kemarahan, apalagi kalau ingat pertanyaan pertama yang diajukan polisi ketika menerima telepon saya pertama kali bukanlah menanyakan alamat saya tapi malah bertanya "Are you ni-Van or expat?" Kalau ni-Van (ras Melanesia yang merupakan penduduk asli Vanuatu) kenapa dan kalau expat kenapa? sungguh tidak relevan!

Singkat cerita, si pemilik rumah mengajak saya ke rumah mereka sekitar pukul 3 pagi itu. Sesampainya di tempat mereka, saya dipersilakan tidur di salah satu paviliun. Sekeras mungkin saya berusaha tidur, tapi tidak berhasil. Kejadian yang baru saya alami itu masih jelas terlintas dan tanpa saya sadari, saya menangis habis-habisan. Rasa takut, sedih, dan marah bercampur jadi satu..saya tidak tidur sampai tiba saatnya sarapan pagi. Di meja makan, istri pemilik rumah menunjukkan berita di suratkabar bahwa beberapa tahanan berhasil kabur dari penjara Port Vila beberapa hari sebelumnya, diantaranya adalah mereka yang masuk penjara karena membunuh dan memperkosa. Seketika itu, saya menangis histeris lagi teringat kejadian semalam dengan benak dipenuhi pertanyaan bagaimana kalau. Suami istri itu menenangkan saya dan mengatakan kalau siang nanti akan menemui pihak kepolisian untuk melaporkan kejadian semalam.

Setelah makan siang, hari Minggu itu kami pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan kemudian menuju rumah untuk mengambil sidik jari yang mungkin tertinggal. Siapa sangka, pencuri-pencuri itu kembali lagi meneruskan pekerjaan kotor mereka ketika melihat kami pergi meninggalkan rumah dan mereka berhasil mendobrak masuk. Tahukah apa yang mereka ambil? sejumlah uang koin, tas laptop, satu paket sosis, beberapa potong ayam beku dan tiga botol minuman (bila ada acara di rumah, teman-teman kami biasa membawa minuman mereka sendiri karena kami tidak minum ataupun menyediakan. Nah, minuman yang di kulkas itu ditinggalkan teman dengan niatan dikonsumsi jika ada kunjungan kembali ke rumah). Oia, tidak lupa mereka juga mencicipi sepotong kue coklat yang saya beli dari restoran pada hari Sabtunya. Setelah proses pengambilan sidik jari selesai, kami pulang ke kediaman si pemilik rumah. Suami saya baru pulang dari perjalanan dinasnya hampir tengah malam. Suami istri yang baik hati itu menawarkan untuk menjemput di bandara, dan ketika kami bertemu, saya menangis sejadi-jadinya. Saya bilang, saya tidak mau ditinggal sendiri di rumah ketika ia harus bertugas, tidak akan pernah mau! Malam itu, kami kembali menginap di kediaman si pemilik rumah yang dijaga empat ekor anjing Rottweiler. Keesokan harinya, istri pemilik rumah membawa serta pembantunya untuk membersihkan rumah yang baru dibobol maling tersebut. Malamnya, kami menginap di hotel karena saya masih belum siap kembali ke rumah. Baru hari Selasa, kami kembali ke rumah.

Percaya atau tidak, bawah sadar saya mengalami trauma berkepanjangan. Setiap kali mendengar suara sehalus desahan angin atau gemerisik daun sekalipun, urat leher saya menegang ketakutan dan kepala mendadak pusing. Seminggu pertama, saya ikut suami ke kantor dan diam disana dari pagi sampai sore karena tidak mau tinggal di rumah sendirian. Selama seminggu, setiap malam, saya selalu terbangun dalam keadaan ketakutan dan merasa seolah-olah ada suara mencurigakan di sekitar rumah. Gara-gara kejadian itu pula, saya sempat mengutarakan keinginan saya untuk memelihara anjing Rottweiler yang bisa menerkam dan membunuh orang berniat jahat yang datang (padahal saya takut setengah mati dengan anjing), atau menyimpan pisau atau senjata di dekat tempat tidur yang kesemuanya tidak mendapatkan persetujuan suami :(. Minggu kedua, saya mulai belajar tinggal sendiri di rumah pada siang hari dengan catatan ada yang menemani. Minggu-minggu berikutnya, saya belajar mengumpulkan keberanian dan menghilangkan rasa takut saya sedikit demi sedikit. Meski bukan hal yang mudah, tapi Alhamdulillah saya berhasil melaluinya. Saya teringat ketika pertama kalinya keluar rumah sendiri setelah kejadian tersebut, tiba-tiba saja saya merasa pusing dan urat leher menegang. Ya, ketakutan itu masih ada..takut bertemu muka dengan orang-orang yang pernah mendobrak masuk rumah yang kami tinggali.

Trauma dengan kejadian tersebut, disusul keguguran beberapa minggu sesudahnya, kemudian tidak mendapatkan tanggapan yang diharapkan dari orang yang sebelumnya saya anggap sahabat dekat ketika saya menceritakan kejadian ini dan mengharapkan simpatinya, membuat saya butuh waktu beberapa lama untuk bisa kembali "normal" seperti sediakala, itupun dengan bantuan psikolog tempat kami berkonsultasi, yang membantu membangun rasa percaya diri saya kembali. Kata-kata yang saya ingat dari psikolog adalah bahwa ingat saja kalau apa yang saya lakukan malam itu sudah tepat, dan hapus pertanyaan "bagaimana kalau" karena pada kenyataannya, semua berakhir dengan baik.

Alhamdulillah, tiga tahun berlalu, dan saya dapat berdamai dengan pengalaman buruk itu. Meskipun ketakutan sesekali datang, satu hal yang saya ingat, ada Allah yang menjaga saya, seperti halnya Ia menjaga saya malam itu. Sewaktu bibi saya mengalami musibah rumahnya disatroni sekelompok maling dua tahun lalu dan ia bercerita pada saya, saya dapat merasakan ketakutannya. Ketakutan dan kekhawatiran yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang pernah mengalami kejadian serupa, tapi mungkin dianggap berlebihan bagi orang lain yang belum pernah mengalaminya. Yah, mudah-mudahan tidak akan ada orang yang saya kenal ataupun yang saya tahu mengalami hal serupa seperti yang saya alami. Cukup pengalaman saya saja yang menjadi pembelajaran agar kita selalu waspada dengan situasi sekitar dimanapun dan kapanpun.

4 comments:

  1. Ngeri deh pungky. Kamu sekarang di vanuatu ya? Kayak liburan terus dong tinggal di vanuatu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini kejadian 3 tahun lalu, Nov..setelah itu pindah ke Bangkok sampai sekarang. Iya memang, hawa liburannya kenceng disana, tapi angin ributnya juga kenceng dan sering pula, hehehe...

      Delete
  2. Oohhh kurang teliti bacanya. Sampe gak kelihatan 3 thn lalunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. cukup sekali aja kejadiannya dan jangan terulang lagi deh :)

      Delete