Monday, 20 January 2014

Medan Kami Datang

Perjalanan ke Medan adalah yang pertama kalinya untuk saya dan David. Beberapa tahun lalu, saya cuma pernah transit di bandara Polonia yang seingat saya waktu itu padat sekali dengan manusia. Kami sempat melewatkan satu malam di Medan sebelum pergi ke Bukit Lawang dan satu malam lagi sebelum kembali ke Bangkok.

Lagi-lagi, setelah tamat membaca info lengkap tentang Medan, kami menggunakan layanan kereta bandara dari Kuala Namu ke kota. Begitu sampai di bandara, cukup terkesan juga dengan bandara barunya sampai...saya mencium asap rokok di pelataran luar pintu kedatangan, begitu khas Indonesia :(. Sepertinya para perokok ini lebih baik kelaparan daripada tidak bisa merokok. Sebegitu bencinyakah saya pada perokok? Ya, khususnya pada perokok yang tidak punya etika seperti yang pernah saya ceritakan disini. Kembali ke soal kereta, jadi, untuk mencapai stasiun kereta, kita harus menyeberangi gedung bandara menuju gedung baru yang BEBAS ROKOK...ah, langsung saya jatuh cinta, mantap ini! Kami memesan dua tiket seharga masing-masing IDR 75.000 (kalau beli satu tiket dikenai harga IDR 80.000). Mesin tempat memasukkan tiketpun mirip seperti stasiun-stasiun di negara lain, pokoknya canggih. Begitu masuk ke keretanya, kursi yang bertuliskan nomor kami ternyata ditempati orang lain, tapi setelah menanyakan pada petugas, ia mempersilakan kami untuk menempati gerbong paling belakang yang kosong...horee...serasa satu gerbong menjadi milik pribadi :).

Nyaman kan keretanya?
Menikmati pemandangan sepanjang perjalanan

Suasana di ruang tunggu stasiun kereta bandara
Membutuhkan waktu 45 menit untuk tiba di stasiun kota, sesampainya disana, mau ke toilet tidak ada petunjuk yang jelas, atau mungkin kami yang tidak memperhatikan. Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi ke mall di seberang stasiun untuk pakai toiletnya.
Kalau dari peta, jarak dari stasiun ke hotel bisa ditempuh dengan jalan kaki 15-20 menit, masih OK lah, tapi sepertinya peta yang dipegang suami salah besar. Karena hujan, kami mencegat bentor, kendaraan umum khas Medan. Namanya sudah di Medan, ya harus mencoba semua yang khas disini bukan? Ternyata, dari stasiun ke hotel itu jauuuuhh sekali...untung pakai bentor yang bagai kantung Doraemon. Selain mengangkut kami bertiga, ada satu koper besar, satu koper kecil plus stroller ikut serta :). Pas bentornya sampai di depan pintu hotel, petugas hotelnya antara percaya tidak percaya dan geli melihat kami...serius mau nginap disini? hihihihi....

Setelah dapat kamar, kami cuma keluar makan siang di salah satu restoran di Mal Grand Palladium yang satu gedung dengan hotelnya, padahal niatnya ingin langsung pesiar kuliner. Begitu sampai Medan, kami disambut hujan yang bikin malas keluar jadi akhirnya baru jalan menjelang sore, tujuan utama adalah makan malam di resto Nelayan di Sun Plaza. Ternyataa...antriannya mengerikan! Pindah ke resto lain, bukan main sama padatnya dan David mulai rewel. Akhirnya, kami makan di satu restoran yang letaknya agak terpisah dan tidak terlalu ramai. Gagal deh rencana kuliner malam ini sementara besok sudah meninggalkan Medan :(

Keesokan harinya, sebelum menuju Bukit Lawang, kami sempat mampir di Istana Maimoon. Istana Maimoon didirikan pada 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma'moen al Rasyid (Sultan Deli ke-IX) yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Deli. Tiket masuk istana ini adalah IDR 5000.

Istana Maimoon
Masjid Raya Medan
Tidak lama berada disana, kami berhenti sebentar di depan Masjid Raya kemudian bergegas menuju Bukit Lawang, apalagi lalu lintas kota Medan padat sekali hari itu dan banyak jalan satu arah. Rasanya belum puas berada di Medan, tapi mau bagaimana lagi? Sehari sebelum liburan berakhir, kami tiba di Medan dari Samosir sekitar pukul 14.30, lagi-lagi disambut hujan rintik-rintik. Kali ini kami menginap disini yang ternyata adalah pilihan tepat. Kenapa? Selain hotelnya bersih, juga karena di seberang hotel, terdapat restoran legendaris Tip Top dan Tjong A Fie Mansion dapat dicapai dengan hanya 2 menit jalan kaki. Setelah pulang dari mencari buku, kunjungan berikutnya adalah Tjong A Fie Mansion. Lebih lengkap mengenai siapa Tjong A Fie, bisa dibaca disini ya. Rumah Tjong A Fie mengingatkan saya pada rumah-rumah peranakan serupa di Penang dan Malaka. Rumah ini dibangun pada 1895 dan selesai pada 1900. Aslinya memiliki 41 ruangan, namun hanya 12 ruangan yang dibuka untuk umum.

Ruang kerja Tjong A Fie

Piano yang masih berfungsi dengan baik (tried and tested by my private piano teacher :D)

Ruang makan

Halaman bagian dalam rumah

Sosok Tjong a Fie adalah sosok pekerja keras, baik hati, dan dermawan. Tjong A Fie adalah figur orang kaya yang patut dicontoh dan usahanya mendatangkan sepuluh ribu orang dari Cina untuk bekerja di perusahaannya merupakan cikal bakal berkembangnya peranakan Cina Melayu di Medan. Oya, tiket masuk ke Tjong A Fie Mansion adalah IDR 35.000 sudah termasuk guided tour dengan pemandu yang masih muda, pandai berbahasa Inggris, dan bersemangat pula. Ketika kami pulang menjelang berakhirnya masa kunjungan pukul 5 sore, pemandu kami memperkenalkan pada seorang wanita cantik bergaya chic yang tersenyum ramah, beliau adalah ibu Mimi Tjong, putri Tjong A Fie yang tinggal disana. Ternyata benar ya, kalau orang yang sudah kaya tujuh turunan terlihat dari sikapnya, ramah dan rendah hati, berbeda dengan tipe orang kaya baru yang banyak ditemui sekarang :D. Kami mengobrol beberapa saat sebelum akhirnya berpamitan..ahh, jadi serasa menjadi tamu di rumah Tjong A Fie deh, dilepas di pintu gerbang oleh putrinya pula :). Rumah Tjong A Fie ini wajib didatangi jika berkunjung ke Medan, karena sangat menarik dari sisi historis dan bangunan serta interior rumahnya pun cantik.

"There on the earth where I stand, 
I hold the sky. Success and glory consist not in what I have gotten but in what I have given."

- Mr.& Mrs. Tjong A Fie

Ditutup dengan makan malam di Tip Top, cerita tentang Medan berhenti disini karena besok pagi sudah harus pergi ke bandara. Kesimpulan, dari semua tempat makan yang direkomendasikan, tidak ada satupun yang berhasil kami coba kali ini. Mungkin lain waktu kami harus datang khusus untuk berwisata kuliner saja dan tentunya tanpa membawa stroller karena ternyata benar-benar perjuangan mendorong stroller di jalanan kota Medan :(.

No comments:

Post a Comment