Tuesday 30 August 2011

Travel Writing

I heard this term from my best friend for the first time about eight years ago, but it was only last year when I commenced my writing exercise, learnt how a travel article should be written through various online sources, and finally had the courage to send it to one of Indonesia's travel magazines. To my surprise, they accepted my article, and here they are!

My first article about the city of Inverness in Scotland, published in Tamasya magazine May 2011.


My second article about Tongariro Alpine Crossing in Tongariro National Park, New Zealand, published in Liburan magazine August 2011.

Now, one more article is on its way to be published and few more are impatiently waiting for their turns. Travel writing is really fun, especially if you had such a memorable and exciting journey to share. Wanna give yourself a try?

Monday 29 August 2011

My recent kitchen boosters

1. Compliments for my French cuisine from our French guests. For couple of weeks I prepared various meals from our reliable source. Some of them were first trial but all turned out to be representative dishes.

2. Happy faces of our foreign guests enjoying Indonesian dishes during the Indonesia's Independence Day celebration at our home while he proudly explained the delicacy and variety of Indonesian meals. Somehow, I often think that he's more Indonesian at heart than I am :p.

3. Great success in trying the banana purses recipe for dessert and the host said that they were very delicious.

4. Time spent in the kitchen during the last weeks was paid off.

Will share the easy-peasy recipes later when I'm in the mood :)

Monday 1 August 2011

Menjemput Impian

Begitu lulus kuliah, prioritas saya ketika itu adalah mencari kerja. Seingat saya, dari sejak SMA, cita-cita saya adalah bekerja di lembaga internasional. Kenapa harus di lembaga internasional? Karena saya ingin mempraktikkan kemampuan bahasa Inggris yang saya dapat dari hasil kursus sejak SMP sampai lulus SMA, dan untuk saya, pergi berlibur ke negara-negara dimana bahasa Inggris digunakan secara umum bukanlah hal yang mudah. Jadi, solusinya adalah bekerja di tempat dimana ada orang asing yang bisa saya ajak berbicara dalam bahasa Inggris. Alasan yang sederhana bukan? Sewaktu SMA, saya juga berminat untuk mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, namun lagi-lagi karena faktor biaya yang perlu dikeluarkan untuk persiapan pribadi dan lain-lain, niat itu saya urungkan. Sampai akhirnya saya lulus kuliah, sempat bekerja di Bandung selama satu tahun setelah lulus, lalu mendapat kesempatan bekerja di lembaga yang saya idam-idamkan pada pertengahan 2003. Awalnya, saya ingin melanjutkan sekolah dengan catatan sudah mempunyai cukup pengalaman kerja, namun pada tahun berikutnya, saya mulai terpengaruh sahabat baik untuk melanjutkan sekolah. Usaha yang saya lakukan tidak maksimal, karena masih berharap bahwa akan ada kesempatan untuk saya pergi ke luar negeri dalam rangka tugas kantor. Tahun-tahun berikutnya kesempatan itu belum datang juga, walaupun pada saat yang sama saya juga beruntung karena ditugaskan pergi ke tempat-tempat menarik di Indonesia. Pertengahan 2005, berbekal informasi dari seorang adik kelas yang baik hati, saya mengikuti program A**S*C di Bandung yang jaringannya sudah mendunia. Adik kelas saya ini baru saja kembali dari Estonia untuk mengikuti program yang serupa. Tahap seleksi sudah dilalui dan tinggal mencari proyek yang sesuai dan mudah-mudahan menanggung semua biaya. Proyek yang kemudian ditawarkan kepada saya berlokasi di Polandia dimana semua biaya hidup ditanggung, namun tiket pesawat p.p. menjadi tanggung jawab saya. Setelah dipertimbangkan matang-matang, akhirnya sayapun mundur dan karenanya harus membayar sejumlah penalti akibat pembatalan dari pihak saya. Saya pikir waktu itu, keputusan ini yang terbaik, daripada saya menghabiskan hampir seluruh tabungan hasil kerja saya untuk menutupi biaya perjalanan. Gagal lagi deh cita-cita untuk pergi ke luar negeri, tapi saya tidak menyesal dengan keputusan saya di kemudian hari dan justru berusaha mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Sampai akhirnya, setelah gagal pada tahap awal seleksi beasiswa ADS, Chevening, dan BGF pada tahun 2004 dan 2005, sayapun membulatkan tekad untuk serius mencari beasiswa. Saya ingin pergi ke luar negeri gratis hanya untuk dua alasan: 1) karena tugas kantor dan/atau 2) karena melanjutkan sekolah. Keinginan ini semakin diperkuat melihat teman-teman seangkatan saya saat itu sedang mengambil studi S-2 di dalam maupun di luar negeri. Sayapun ingin maju seperti mereka dan rasanya saya perlu menambah ilmu baru setelah 3 tahun bekerja. Bagi saya, ilmu terbanyak justru akan didapat di luar bangku kuliah, oleh karena itu saya bersikeras ingin melanjutkan studi di luar negeri supaya saya dapat belajar banyak hal lain di luar bidang ilmu yang akan saya pelajari. Kenapa harus di luar negeri? Karena saya berkeinginan untuk melihat dunia. Kalau sebelumnya saya seringkali mengasosiasikan diri bagai katak dalam tempurung, maka kali ini si katak ingin keluar dari tempurungnya. Akhir 2005, sayapun memulai misi menyukseskan "katak keluar dari tempurung" ini. Saya mulai banyak membaca jurnal/artikel apapun yang berkaitan dengan studi dan minat saya. Saya belajar dan mencerna kembali pertanyaan-pertanyaan dari aplikasi beasiswa sebelumnya yang gagal. Saya berpendapat bahwa formulir aplikasi haruslah diisi dengan jawaban yang cerdas dan menarik sebagai syarat untuk lolos seleksi awal. Saya juga mulai bergabung dengan milis beasiswa walaupun sebagai peserta pasif untuk mendapatkan informasi serta tips dalam berburu beasiswa. Sayapun mulai mencari universitas pilihan sebagai bekal apabila aplikasi saya diterima. Tidak lupa saya juga membuat paspor dengan alasan siapa tahu dapat beasiswa dalam waktu dekat. *optimis tingkat tinggi, hehehe..* Bulan September 2006, saya menyiapkan tiga buah aplikasi untuk Chevening, BGF, dan DAAD. Akhirnya hanya dua yang dikirim, sebab ada satu dokumen wajib yang terlewat untuk memenuhi syarat DAAD dan saya baru menyadari hal itu kurang dari 24 jam sebelum tenggat waktu penyerahan dokumen. Que sera sera, pikir saya waktu itu. Saya berusaha semampu saya, namun bukan sayalah yang memutuskan hasilnya. Bulan November 2006, saya mendapat "surat cinta" yang pertama dan begitu melihat logo institusi di ujung amplopnya, hati saya rasanya mencelos. Panggilan pertama untuk mengikuti tes bahasa Inggris pada bulan Desember dilalui dengan mulus, tentunya dengan persiapan seoptimal mungkin. Walaupun hanya tes bahasa Inggris secara umum, saya tidak pernah tahu sehebat apa saingan-saingan saya, karena itu saya mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tahun berganti, awal 2007 surat cinta kedua menyusul berisi panggilan wawancara, Alhamdulillah. Untuk tahap ini, saya mempersiapkan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan melakukan simulasi di depan cermin berulang-ulang dan banyak membaca artikel yang terkait dengan bidang saya, siapa tahu diajukan pertanyaan yang di luar dugaan. Ternyata memang benar, apabila sudah kita sudah berusaha dan mempersiapkan diri secara optimal, berdoa dan pasrah menjadikan hati ini lebih tenang mengingat bahwa Tuhan pasti selalu punya rencana yang terbaik untuk hamba-Nya. Bulan Februari, datanglah surat cinta yang ketiga sekaligus terakhir. Bulan berikutnya, mulailah hari-hari saya diisi persiapan untuk mengikuti tes IELTS, komunikasi dengan universitas-universitas yang saya pilih, dan cuti khusus selama satu minggu di Bandung untuk mengurus legalisir ijazah, surat rekomendasi, dan dokumen-dokumen penting lainnya. Saya mengerjakan latihan soal-soal sepulang dari kantor atau pada akhir pekan. Alhamdulillah, nilai saya memenuhi syarat dan aplikasi saya diterima oleh ketiga universitas pilihan. Para kandidat yang lulus kemudian diikutsertakan dalam pelatihan Academic Writing selama sebulan penuh, 5 hari dalam seminggu, dari pukul 9- 15. Untuk ini, saya harus izin dari kantor kalau masih ingin mendapatkan gaji. Untunglah, atasan saya sangat suportif sehingga waktu kerja yang hilang dapat diganti sebagian dengan memotong cuti saya yang jumlahnya banyak *saat itu, dengan jatah 30 hari cuti dalam satu tahun plus 10 hari tanggal merah rasanya sulit sekali saya habiskan* dan sisanya saya bekerja overtime, jadinya datang lebih awal, dan pulang lebih lambat. Akhirnya, setelah semua persyaratan dan kelengkapan dokumen dibereskan, kursus menulis pun selesai pada bulan Juni, dan saya kembali bekerja selama satu bulan lalu menyelesaikan kontrak kerja satu bulan lebih awal demi memanfaatkan sisa cuti yang masih berlimpah. Bulan September 2007, saat itu akhirnya datang juga menghampiri saya. Di minggu terakhir bulan September, dengan diantar keluarga dan sahabat-sahabat dekat saya, perjalanan menjemput impian sayapun dimulai. Ketika pesawat British Airways BA 012 yang membawa kami mendarat mulus di bandar udara Heathrow, sayapun tersadar bahwa saat ini saya sudah terpisah belasan ribu kilometer jauhnya dari ibu sekaligus sahabat terdekat saya yang selama ini menjadi tempat berbagi segala hal. Dapatkah saya hidup sendirian disini? Mampukah saya mengikuti kuliah yang diberikan? Pertanyaan lainnya bermunculan di benak saya. Namun, semua kekhawatiran itu hilang ketika sejenak saya ingat bahwa saya ada disini semata untuk mengejar mimpi yang saya perjuangkan selama hampir dua tahun terakhir. Dan semua ketakutan pun berganti menjadi ketidaksabaran menyambut hidup baru saya sebagai mahasiswa lagi! ...and the journey continues...(si katak begitu senang ketika berhasil melompat keluar dari tempurungnya sampai akhirnya ia kesulitan berhenti) Jadi bagi siapapun yang sedang berburu beasiswa dan belum berhasil, janganlah putus asa dan tetaplah mencoba dengan penuh semangat karena: 
When you want something, the universe conspires in helping you to achieve it - The Alchemist