Thursday 25 July 2013

Babywearing Style

Even babywearing has its own style. Here are our babywearing styles for the past fourteen months :)

Babywearing Papa proudly carried his 17-day old baby in Manduca, June 2012
Traditional batik fabric comfortably wrapped the 3-month old David, August 2012
Sound asleep in Bobitawrap, September 2012

Another style in Bobitawrap, September 2012
Manduca's great help when we hike, June 2013

Carrying a 13-month old is not that heavy thanks to Manduca, June 2013


How's your babywearing style?

Wednesday 24 July 2013

The first two weeks

Entering the second week, things seem to be working a bit better for my little one at the daycare. The first week was full of drama every time I dropped him off and the second week just started today, since two last days were holidays here. To be honest, I find it quite difficult to let someone else look after my son, even only for three to four hours a day. I am worried that he would not eat his meals, that he would cry all the time, that he would fall and bump into hard surface, that he would eat sugary sweets or cookies, among others. However, I do realize that there are things we can't control so, in the end, a bit of compromise here and there and a bit of effort to put my trust in the daycare staff are all I need to do.

Obviously, there are good things about sending him to the daycare as well. He cries much less at home, he often plays on his own with or without me next to him, and he learns to dance while singing a song :). Sooner or later, I'm pretty sure that he will enjoy his time at the daycare and I'll have his tiny hand waving at me with smile when I drop him off in the morning. Stay happy and healthy, little D...I love you to the moon and back!

Saturday 20 July 2013

Masa Tua

Dulu saya berpikir naif bahwa dimasa tuanya, seseorang akan selalu ada yang menjaga, kalau tidak anak sendiri mungkin saudara jauh. Pemikiran ini muncul karena itulah yang saya lihat di lingkungan saya selama ini.  Pernah ada saudara nenek yang sakit dan sebatang kara sehingga almarhumah nenek saya memutuskan untuk membawa beliau dan mengurusnya sampai saudara tersebut meninggal dunia. Kakek dan nenek saya juga diurus oleh anak-anaknya sejak mereka sakit sampai menghembuskan napas terakhir. Mempunyai anak sejumlah nyaris satu lusin ada untungnya, terutama disaat seperti ini, karena yang menguruspun bisa bergantian.
Di mata saya waktu itu, rumah jompo  bukan pilihan ideal seseorang untuk menghabiskan masa tua dan ada juga komentar yang pernah saya dengar bahwa sungguh tega orang yang memasukkan orangtuanya ke rumah jompo. Terkesan bahwa si anak tidak mau repot mengurus orangtuanya. Tapi apakah benar begitu?
Kilas balik ke beberapa minggu yang lalu ketika kami mengunjungi kakek suami saya di rumah jompo. Usia beliau 92 tahun, menderita Alzheimer, dan masuk ke rumah jompo semenjak nenek meninggal beberapa bulan lalu. Awalnya mereka tinggal berdua di rumah dan ada petugas dari dinas sosial yang datang mengurus keperluan mereka setiap hari. Selain itu, anak2nyapun bergantian datang setiap pekan.
Sore ketika kami datang ke rumah jompo tempat kakek tinggal, ada aktivitas sedang berlangsung di taman depan. Kami mencari kakek namun beliau tidak ada disana. Memasuki ruangan utama, ada sekelompok orang sedang bermain kartu, membaca, atau hanya duduk diam sedangkan di ruangan lain ada pula yang menonton televisi. Beragam kondisi mereka, ada yang masih sehat dan ada pula yang sudah menggunakan alat bantu seperti kursi roda. Kami menemui kakek sedang tertidur dalam posisi duduk di kursi dekat jendela, di sebelah seorang wanita yang tersenyum ketika kami mendekat. Saya menitikkan air mata melihat kondisi beliau, berbeda dengan empat tahun lalu saat pertama bertemu. Ketika itu beliau sudah pelupa tapi fisiknya masih sehat dan hobi berjalan-jalan mengelilingi kebun mereka yang luas sambil bernyanyi riang. Beliau juga suka melucu...manis sekali. Kami mencoba mengajaknya berbicara namun rupanya terlalu berat untuk membuka mata...hanya sesekali beliau menjawab dan kemudian tertidur kembali. Sementara wanita di sebelah kakek setiap 10 menit sekali menanyakan hal yang sama pada kami. Akhirnya kami berjalan-jalan di taman sambil menunggu kakek bangun. Lagi-lagi perhatian saya tersita oleh penghuni rumah jompo yang kami temui selama berada disana. Tampaknya mereka bahagia berada disana, dengan teman seusia mereka, mendapat perawatan dan tempat tinggal yang baik.
Pandangan saya tentang rumah jompo perlahan berubah. Topik ini juga ternyata menjadi pembahasan di kalangan teman2 pengajian. Kami sudah mulai berpikir apa bekal yang diperlukan dimasa tua (jika diberi umur panjang) nanti agar tidak bergantung pada anak. Salah satunya yang terpikir adalah menabung sehingga tidak perlu mengandalkan anak untuk hal finansial dan jika sekiranya sudah tidak mampu hidup sendiri, lebih baik masuk rumah jompo selagi masih bisa bersosialisasi dengan sesama penghuni.
Kemandirian di masa tua ini mengingatkan pada orang-orang yang saya kenal, diantaranya seorang wanita berusia 72 tahun yang aktif menjadi relawan di berbagai tempat untuk life skills education, pria berusia 88 tahun yang masih menyetir mobil sendiri dan berprinsip dimasa tuanya tidak mau menyusahkan orang lain, dan wanita yang belajar menyetir mobil diusia 60 tahun setelah suaminya meninggal dunia.
Para penghuni rumah jompo itu dulunya mungkin seperti orang-orang yang saya ceritakan diatas, sampai pada satu waktu mereka benar-benar membutuhkan bantuan. Kakek sendiri dulunya adalah dokter yang bertugas dirumah jompo tersebut dan sekarang beliaulah yang mendapatkan perawatan disana.
Hal-hal seperti ini mengingatkan saya kembali bahwa waktu harus digunakan sebaik mungkin sebelum tiba masa tua, sakit dan penyesalanpun menjadi tidak berguna; serta selalu bersyukur untuk setiap hal baik yang terjadi pada kita, sekecil apapun.

Thursday 18 July 2013

10 years and counting...

Gara-gara baca postingannya Noni tentang pulang, jadi kepikiran untuk nulis tentang ini. Kebetulan bulan ini genap 10 tahun saya meninggalkan rumah untuk hidup sendiri.

Tahun 2003 saya hijrah ke Jakarta karena pekerjaan. Untuk seseorang yang lahir dan besar di Bandung dan tidak pernah membayangkan bisa hidup di ibukota yang besar dan tidak bersahabat, keputusan ini cukup berani. Alasan saya waktu itu karena ingin mengikuti jejak teman-teman kuliah yang sudah lebih dulu pindah ke Jakarta dan sekaligus berharap siapa tahu bertemu jodoh disana ;p. Saya ingat candaan di kalangan teman-teman kalau sejauh-jauhnya orang Bandung merantau, ya ke Jakarta, berbeda dengan orang-orang yang berasal dari pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah lainnya.

Beberapa tahun saya di Jakarta, saya belajar mencintainya, saya kangen ketika ingat semua kenangan di kota itu dan selalu antusias apabila sedang berada disana. Jakarta malah menjadi rumah saya saat itu walaupun hanya dalam bentuk sebuah kamar kos. Makna rumah untuk Bandung mengalami pergeseran secara perlahan. Saya pulang ke Bandung hanya untuk melepas rindu pada ibu, sebatas itu.

Empat tahun kemudian, upaya mengejar mimpi membuat saya harus meninggalkan Jakarta, kali ini tidak tanggung jauhnya dan merupakan pengalaman pertama saya tinggal di luar negeri. Satu setengah tahun sebagai mahasiswi pascasarjana di Bristol, Inggris meninggalkan begitu banyak kenangan manis dan pengalaman berharga. Sepotong hati saya tertinggal disana. Sewaktu disini, definisi pulang adalah pulang ke Indonesia karena saya tahu saya tidak akan menetap lama disini, walaupun usaha ke arah itu sempat saya lakukan dengan melamar pekerjaan.

Takdir berkata lain, saya gagal memperoleh pekerjaan namun saya mendapat peluang kerja di Thailand dan Singapura. Lucunya, pada tahun 2002 saya sempat mengajukan aplikasi pada salah satu organisasi internasional yang berbasis di Bangkok namun hasilnya nihil..tujuh tahun kemudian saya malah mendapat tawaran pekerjaan dari organisasi yang sama!Karena pertimbangan satu dan lain hal, saya memutuskan perhentian saya berikutnya adalah Singapura.

Satu tahun yang begitu mengesankan hidup di negara kecil yang hebat ini, potongan lain dari hati saya tersimpan disana. Saya belajar banyak hal dari orang-orang hebat disekeliling saya dan membangun persahabatan baru. Saya meninggalkan Singapura dua minggu sebelum hari pernikahan, bersamaan dengan selesainya kontrak kerja.

Setelah menikah, selama beberapa bulan saya kembali ke rumah lama, yaitu Jakarta...cinta lama bersemi kembali..sampai tiba waktunya kami pergi ke surga Pasifik Selatan, yaitu Port Vila, Vanuatu dengan status saya sebagai trailing wife alias ikut suami. Genap satu tahun masa tinggal kami di pulau cantik ini, kesempatan lain datang dan kamipun menyambutnya...kepindahan ke Bangkok!

Hampir dua tahun berlalu, dan kami masih belum tahu sampai kapan dan kemana akan pergi setelahnya..memutuskan hidup nomaden seperti ini membuat kami kesulitan menentukan dimana rumah kami sebenarnya dan kemana tujuan pulang kami. Untuk saya saat ini, rumah adalah Bangkok, tempat kami bertiga menetap. Ah, andai saya bisa membawa Ibu tinggal bersama kami disini, tentu akan jauh lebih mudah menentukan definisi rumah, yaitu dimana orang-orang yang saya cintai berkumpul.

Sepuluh tahun yang lalu saya keluar dari rumah untuk kemudian menemukan rumah-rumah lain yang membuat saya melalui proses menjadi seperti sekarang dan itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat.

So, ten down, many more nomaden years to go :)

Tas dan Mimpi Melihat Dunia

Apa sih sahabat perempuan selain berlian? Hm, mungkin tas salah satunya. Sebagai perempuan yang tidak hobi mengoleksi keduanya, tidak heran kalau saya sempat terhenyak melihat harga sebuah tas bermerek di salah satu toko di kawasan Champs-Élysées seharga 14,800 Euro! Berulang kali saya lihat harga yang tertera, tapi sebanyak itu pula mata saya melihat angka yang sama. 

Pertama kali saya masuk toko tersebut bersama seorang teman baik beberapa tahun yang lalu, kami hanya masuk kurang lebih 5 menit karena penasaran dengan harga-harga produknya. Melihat harga sebuah dompet kecil saja sudah hampir 500 Euro ketika itu (tahun 2008), kamipun malas dan bergegas keluar karena tidak mampu membeli. Kali kedua, saya berada di dalam toko selama kurang lebih 45 menit karena membelikan titipan teman dan mempunyai kesempatan untuk lihat-lihat kiri-kanan. Makin ke dalam, harga produk yang ditawarkan jelas makin mahal, mulai dari ratusan, ribuan, sampai belasan ribu Euro, dan ada beberapa bagian display yang tidak tertera harganya.

Pastinya ada harga ada kualitas, dan jelas-jelas merek ini sudah melegenda, tapi terus terang logika saya sulit menerima bahwa ada saja orang yang membeli produk-produk tersebut, dengan alasan sebagai kolektor tetap atau hanya sekedar gengsi mengikuti pergaulan. Berbeda dengan butik-butiknya yang pernah saya lihat di beberapa kota di Asia, jumlah pengunjung dibatasi dan disediakan jalur antrian untuk masuk, sedangkan di pusatnya, suasana toko lebih mirip toko biasa dengan pengunjung berjubel, baik yang berniat membeli atau hanya melihat-lihat saja. Ada beberapa orang Indonesia yang saya temui, terdengar dari bahasa dan gayanya, yaitu tunjuk aneka barang, pilih sana-sini, tapi hanya sebatas itu :D, walaupun ada juga yang langsung tunjuk bungkus. Tuh, siapa bilang orang Indonesia miskin??? Oya, sebagian besar pengunjung toko ini adalah orang Asia, apakah ini bukti bahwa orang Asia lebih makmur, atau lebih berselera tinggi, atau lebih peduli pada penampilan luar dan merek? Sampai saya kembali ke hotel, pikiran saya masih di toko tersebut. Rasanya sulit diterima hati saya untuk membeli sebuah tas sementara saya tahu pasti ada orang-orang yang bahkan saya kenal harus bekerja membanting tulang untuk menghasilkan sepersekian dari harga tas tersebut. Kesimpulan selintas yang saya dapat dari teman-teman yang mau mengeluarkan sejumlah uang banyak untuk sebuah tas, dengan kualitas dan merek yang sudah melegenda, uang bukan masalah selama mereka mampu membelinya. 

Salah satu teman sempat membujuk saya untuk turut membeli, tapi entah mengapa tidak seperti perempuan normal lainnya, saya tidak tergoda sedikitpun. Malahan, saat itu saya sibuk berkhayal, dengan uang sekian, apa yang akan saya lakukan dengan kedua belahan jiwa saya?

Mungkin naik balon di Cappadocia seperti ini:

Foto dari www.playviaggi.com
 Atau trekking menikmati keindahan Cirque de Gavarnie

Foto pinjam dari www.guardian.co.uk
Mungkin juga mewujudkan impian yang belum tercapai hingga sekarang untuk menginjakkan kaki di Krakatau


Foto dari www.swisseduc.ch


Menikmati tarian lumba-lumba di Teluk Kiluan, rencana yang terus tertunda sampai sekarang.
Pinjam dari www.lampungku.com

Melemparkan diri dengan mesin waktu ke masa peradaban suku Inca di Macchu Picchu
Foto dari www.famouswonders.com

Trekking sampai Ranukumbolo
Foto dari www.kelilingnusantara.com

Mendaki puncak Rinjani
Foto dari www.rinjaninationalpark.com

 Menari dan menyanyi ala tokoh Mammamia di Santorini
Fotonya punya www.gabrielsailing.com

Merasakan alam Afrika di savana Taman Nasional Bukit Baluran
Foto milik www.baluran.go.id

Hihi, mungkin sementara saya tidak habis pikir ada orang yang mau menghabiskan uang banyak untuk membeli sebuah tas, sebaliknya mereka berpikir ngapain juga buang-buang uang untuk jalan-jalan susah dan capek lagi!! 

Bagaimana dengan kamu?

Monday 15 July 2013

We can do it together, my love

Hails to all working mothers out there!

Why did I say this? I have never been in their shoes before, so eventhough I know some of them, I can't really feel what they have to cope every morning when they have to say goodbye to their little ones.

This morning, I finally had to do the same. We went to the daycare for a free try-out, only for one hour, though. The teacher did not let me stay, especially when she saw how my baby was so attached to me. I went home and experienced the longest hour I have ever had. I cooked for lunch and went back to pick him up. As expected, he screamed on and off for almost an hour. When I came, he was walking around the play room while screaming. As soon as he realized that I was there, he stopped screaming, ran to me and hugged me strongly. My poor baby, he must have been very angry I left him without even giving him a goodbye kiss.

After brief discussion with the teacher, despite his one-hour on-and-off screams, we agreed to send him again tomorrow for half-day. The teacher said, most children would either cry or scream on their first day although some others are quite happy and don't cry even a bit.

I'm lucky to be always be with my baby  for these past fourteen months for 24 hours nonstop, leading to a very strong attachment between the two of us. Besides, he is still breastfed and most of the time he is in his carrier whenever we go out. This makes it a bit difficult for him when I am not around. There are times when he can happily play with others without having me next to him, but there are times when he would cry or scream the minute he sees me leaving, even only a meter away.

So, let's see how he is doing tomorrow..hopefully it would be much better than today and he would feel happy being in the daycare with his peers, fingers crossed!

Sunday 14 July 2013

[Little Traveler]: Moda transportasi

Siapa sih yang tidak suka bepergian? Saya hampir yakin, semua orang menyenanginya. Apalagi jika pergi beramai-ramai dengan keluarga atau teman-teman dekat, pastilah sangat seru, walaupun pergi sendirian (solo traveling) juga tidak kalah menyenangkan. Tapi bagaimana jika ada anak kecil/bayi yang ikut serta dalam perjalanan? Kira-kira masih menyenangkankah perjalanannya, atau malah merepotkan?

Tidak pernah terlintas sebelumnya untuk menjadikan anak saya traveler di usianya yang masih sangat muda, namun keadaanlah yang membuatnya demikian. Frekuensi perjalanan yang relatif sering membuat putra kami, David nyaris tidak pernah berada di tempat yang sama lebih dari 1 bulan dalam 7 bulan pertama kehidupannya. Ditambah lagi, sehari-hari kami mengurusnya sendiri tanpa bantuan pengasuh, jadi otomatis kemanapun saya pergi untuk suatu keperluan, ia akan ikut bersama saya. Setelah kembali dari perjalanan baru-baru ini, terpikir untuk menulis suka duka membawa bayi kecil kami (yang sekarang sudah tidak kecil lagi) melihat dunia. Karena idenya muncul saat sedang naik kereta, jadi alat transportasi menjadi topik utamanya.

Moda transportasi adalah salah satu faktor utama yang harus dipertimbangkan ketika membawa bayi bepergian, begitu teorinya. Misalnya, saya tidak akan membawa ia naik ojek karena faktor keamanan. Karena saat ini kami tidak memiliki kendaraan pribadi, moda transportasi yang kami gunakan juga bervariasi. Hal lain, kami juga ingin anak kami mempunyai pengalaman naik kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan tidak tumbuh menjadi anak yang hanya mau naik kendaraan pribadi yang nyaman serta memandang rendah orang lain yang hanya mampu naik kendaraan umum (pengalaman pribadi bertemu spoiled brat seperti ini). Berikut moda transportasi umum yang pernah kami pernah coba dengan si kecil.

Taksi
Kami membawa si kecil pulang dari rumah sakit dengan taksi dan begitu khawatirnya sampai berkali-kali mengingatkan pak supir untuk mengemudi dengan sangat hati-hati dan jangan ngebut. Sejauh ini, taksi adalah moda yang paling nyaman karena nyaris seperti kendaraan pribadi. Demi keamanan, ketika ia masih bayi  biasanya kami selalu menggendongnya dengan baby carrier/wrap dan mengikatkan sabuk pengaman (kalau ada) seperti biasa. Sekarang, karena ia sudah bergerak aktif, saya hanya memeganginya dengan kuat di pangkuan saya ketika kendaraan melaju dan membiarkannya bebas berkeliaran di jok belakang taksi hanya pada saat taksi berhenti.

Perahu kecil (shuttle boat)
Bagi yang pernah berkunjung ke Bangkok, pastilah pernah melihat shuttle boat yang berseliweran menjemput dan mengantar penumpang di sungai Chao Phraya. Beberapa kali, kami menaiki perahu tersebut dari stasiun BTS Saphan Taksin. Dengan bayi yang aman terbungkus dalam wrap/baby carrier, guncangan karena benturan kapal dengan arus sungai dan terpaan angin dapat diminimalkan.

Bis antar kota
Bis antar kota di Bangkok relatif nyaman, bersih, dan tidak ugal-ugalan, hanya saja untuk perjalanan dengan bis, perlu membawa ganjal berupa bantal/kain empuk yang cukup demi mengurangi benturan pada guncangan mendadak sekaligus menyangga tubuh sehingga tidak terlalu pegal duduk sepanjang perjalanan sambil menggendong bayi.

Kereta api (ekonomi)
Perjalanan dengan kereta api sebenarnya menyenangkan, hanya saja, rookie parents ini kurang teliti mencari informasi. Alhasil, bayi yang baru berusia 17 hari ini harus menaiki kereta api tanpa pendingin udara yang kondisinya nyaris mirip dengan kereta api ekonomi Bandung-Cicalengka, hanya saja lebih bersih. Terus terang, keberanian saya membawa David pergi ketika itu lebih karena tubuhnya terlihat seperti bayi berusia 2 bulan, tidak ringkih, dan juga ada ibu yang menemani. Faktanya, ia masih sangat kecil, sehingga akibat dari terpapar angin selama hampir 4 jam, ia mengalami kolik, menangis semalaman dan baru berhenti ketika berhasil mengeluarkan gas dari tubuhnya. Serba salah memang, waktu itu udara panas sekali jadi saya tidak membungkusnya dengan kain. Duh, kapok gara-gara kejadian ini dan berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kebodohan yang sama di lain waktu :(. Pelajaran berharga untuk kami, hindari perjalanan dengan kereta api ekonomi sebisa mungkin apabila membawa bayi kecil, kecuali orangtua siap menanggung risikonya. Sementara ketika kami menumpang TGV Tours - Paris pulang pergi, tidak ada masalah yang berarti. Pernah beberapa kali David menangis keras dan supaya tidak mengganggu penumpang lain, kami membawanya keluar berjalan-jalan di ruang yang berada di antara dua gerbong atau membawanya ke tempat ganti bayi. Tempat ganti bayi di TGV bersih, tersedia tempat duduk, dan dekorasinya berwarna-warni, cukup untuk mengalihkan perhatian si kecil dari kebosanan perjalanan selama kurang lebih 50 menit.

Pesawat terbang
Perjalanan pertama dengan pesawat terbang dimulai ketika usianya 6 minggu. Menurut saya, ada perbedaan membawa bayi terbang, tergantung usianya, lama penerbangan, rute penerbangan dan kesiapan orangtua. Di usianya yang baru menginjak 14 bulan, ia sudah berkali-kali terbang jarak pendek maupun jarak jauh.  Beragam rutenya, beragam pula cerita kami. Untuk perjalanan dengan pesawat terbang akan saya buat di postingan terpisah.

Ojek/motor taxi
Saya dulunya termasuk pengguna ojek, apalagi mengingat kemacetan Jakarta yang mengerikan. Semenjak mempunyai anak, saya tidak pernah dan tidak diperbolehkan naik ojek terlebih sambil menggendong bayi karena faktor keamanan. Sampai pada suatu hari, karena terdesak waktu, saya akhirnya menggunakan ojek juga sambil membawa David di pangkuan saya. Untung lama perjalanan tidak lebih dari 10 menit, jadi rasa deg-degan pun tidak berkepanjangan. Dengan bayi aman terikat dalam carrier di pelukan saya, saya merasa lebih tenang dibandingkan jika menggendong lepas dengan tangan saja, sambil tentu saja tidak lupa beratus-ratus kali mengingatkan pengemudi ojek untuk berhati-hati dan tidak ngebut.

Becak
Moda transportasi satu ini menjadi favorit saya setiap kali pulang kampung. Nyaman sekali rasanya naik becak sambil menikmati sapuan angin sepoi-sepoi di wajah. Sayang, dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor di jalanan, kenikmatan naik becakpun jauh berkurang. Ketika menumpang becak, pastikan muka anak menghadap kita agar jika ada debu/kotoran tidak langsung masuk ke mata. Sama dengan ojek, ketika menumpang becak, saya selalu menggendong David dalam carriernya demi alasan keamanan.

Angkutan umum/angkot
Angkutan umum sering kami gunakan pada saat pulang kampung ke Bandung. Satu-satunya yang kurang nyaman dari angkot adalah ketika bayi minta menyusu. Selain dari itu, angkutan umum tidak menjadi masalah untuk kami dan David.

Shuttle van
Kendaraan minibus berkapasitas 10-12 orang yang seringkali kami tumpangi dalam perjalanan Bandung-Jakarta p.p. Seringnya minibus yang saya tumpangi dari tempat pemberangkatan dekat rumah ini kosong, jadi ya hampir tidak ada bedanya dengan naik kendaraan pribadi. Sabuk pengaman pada minibus ini mengikat pinggang saja tanpa ada sabuk melintasi tubuh, jadi lebih mudah untuk saya yang memangku David selama perjalanan.

Skytrain
Sebisa mungkin saya menghindari naik BTS (skytrain di Bangkok) pada jam-jam  sibuk, karena pernah suatu kali saya memaksakan naik di gerbong yang padat. Tidak lama, si bayi mulai menangis keras karena mungkin stress berada dalam himpitan kepadatan penumpang kereta. Di luar jam sibuk, naik BTS sangat nyaman dan ketika ia sudah bisa duduk, seringkali saya membiarkannya duduk sendiri di kursi penumpang.

Kereta Bawah Tanah/MRT/Metro
Satu-satunya hal yang kurang nyaman dari kereta bawah tanah adalah tidak adanya pemandangan..ya iyalah, namanya juga kereta bawah tanah. Sama dengan skytrain, saya juga sebisanya menghindari naik MRT/Metro pada jam sibuk. Sama pula dengan keadaan di angkot, di skytrain dan kereta bawah tanah, menyusu adalah hal yang paling saya hindari. Kalaupun terdesak, biasanya saya turun di stasiun terdekat dari tempat saya, mencari tempat duduk dan mulai menyusui. Setelah selesai, baru naik kereta berikutnya.

Ferry
Perjalanan pertama David dengan ferry baru-baru ini cukup menyenangkan. Kapal yang membawa kami menyeberangi Selat Channel berkapasitas 800 orang dengan fasilitas lengkap. Selama 3 jam perjalanan, kami bisa berjalan-jalan menjelajah kapal dan melihat pemandangan. Untungnya, selama perjalanan, si kecil tidak mabuk laut dan tampak senang berjalan-jalan kesana kemari.

Skylabs
Skylabs adalah sejenis tuk-tuk bermotor dengan mesin 90 - 150 cc, yang banyak ditemui di bagian Timur Laut Thailand. Bentuknya berupa sepeda motor dengan tempat duduk yang cukup untuk 3 orang penumpang dibelakang/disampingnya. Umumnya, pengemudi skylabs suka tantangan, namun beruntung waktu kami menaiki skylabs membawa si bayi yang masih berusia 20 hari ketika itu, pengemudinya perempuan sehingga kami cukup tenang. Seperti biasa, ia saya gendong dengan gendongan kain tradisional khas Indonesia. 

Friday 12 July 2013

Insomnia Sejenak

Sudah dua malam berlalu dan jetlag belum juga pergi. Biasanya kurang lebih 3-5 hari baru bisa kembali ke kondisi normal. Jadi ingat tahun lalu ketika kami kembali ke Bangkok bersama David yang saat itu berusia 4 bulan. Malam pertama ia baru tidur jam 4 pagi, malam kedua dan seterusnya berkurang 2 jam sampai akhirnya kembali ke jam normal tidurnya yaitu jam 7 malam. Kali kedua dan ketiga, prosesnya lebih cepat, yaitu 3-4 hari untuk kembali ke jam tidur normal. Saya pernah membaca (lupa dimana) kalau bayi memang lebih mudah mengatasi jetlag dibanding orang dewasa. Jadi tidak heran, sementara si bayi tidur, kami masih terjaga di pagi buta seperti sekarang ini dan kelaparan..dan mau tahu kebiasaan kami kalau jetlag sedang melanda? Yang satu makan sepaket biskuit coklat dan kemudian bersama-sama makan mie rebus/goreng instan I***mie lengkap jam 2 pagi..nyaaammmm  nikmatnyaa :D *say bye to food combining and say hello to cheating days*
Selamat sahur bagi yang berpuasa...