Showing posts with label travel. Show all posts
Showing posts with label travel. Show all posts

Wednesday, 3 April 2019

Menelusuri Normandia

Terik matahari musim panas yang menyengat di Perancis selalu menjadi tantangan, meski untuk seorang manusia tropis seperti saya. Tapi Normandia terlalu istimewa untuk dilewatkan, sehingga hawa panas dan padatnya lalu-lintas yang biasa terjadi menuju daerah-daerah pantai pada liburan musim panas, kami lalui demi menginjakkan kaki di tanah yang kaya legenda ini. Normandia terkenal dengan bentang alam pedesaan dan lansekap tebing berbingkai aneka formasi batuan yang unik. Pantai berpasir putih, panorama tebing yang menakjubkan, desa nelayan yang cantik, kota pelabuhan yang rupawan, monumen bersejarah, hingga kasino kelas dunia ada disini.

Awal mulanya, wilayah Normandia ditaklukkan oleh bangsa Viking yang berasal dari Denmark dan Norwegia pada abad kesepuluh. Oleh karena itu “Northmen” yang merujuk pada bangsa Viking, menjadi akar kata nama daerah di sebelah barat laut Perancis ini.  Di abad kesebelas, tepatnya pada tahun 1066 setelah pertempuran Hastings di daratan Inggris, William sang Penakluk berhasil menaklukkan Inggris dan menjadi raja Inggris pertama yang berasal dari Normandia, berkuasa antara tahun 1066 hingga 1087. Wilayah Normandia secara bergantian dikuasai Inggris dan Perancis karena sempat berada dalam kekuasaan Inggris selama perang 100 tahun antara tahun 1345-1360 dan antara tahun 1415-1450. Saat ini, Normandia merupakan salah satu dari tigabelas wilayah administratif di Perancis.

Tujuan utama perjalanan kali ini tentunya adalah wisata alam paling terkenal di Normandia, yaitu tebing batu kapur putih berbentuk unik di Etretat. Persinggahan selanjutnya adalah kota kasino yang juga merupakan tempat diselenggarakannya pacuan kuda bergengsi Deauville dan kota pelabuhan Honfleur yang menawan. Sayang, karena udara panas yang begitu menyengat, kami hanya berkeliling kota Deauville dan cukup menikmati kecantikannya dari balik jendela mobil. 

Kisah di Balik Keindahan Tebing Etretat

Kota kecil Etretat memikat wisatawan dengan pemandangan barisan bukit batu kapur berselimut rumput hijau di sepanjang garis pantainya. Etretat merupakan tempat yang sangat terkenal di Perancis, dengan bentuk-bentuk tebingnya yang menakjubkan, berdiri kokoh di tepi Selat Inggris. Ditemani sorot matahari sore yang ramah, rasa lelah meniti ratusan anak tangga yang landai menuju puncak bukit lenyap seketika begitu menyaksikan keindahan tebing Porte D’Aval, melengkung alami menjorok ke laut. Hamparan padang Golf d’Etretat nan apik di sisi kiri dan panorama laut lepas di sisi kanan mengapit satu-satunya jalan setapak yang harus dilalui. Di dekatnya, L’Aiguille Creuse, bongkahan batu setinggi limapuluh meter dengan bentuk mengerucut berdiri menjulang. Di sisi lain, terdapat tiga bongkah batuan raksasa dengan jembatan kecil terhubung ke salah satu bongkahannya, dikenal dengan La Chambre des Demoiselles. Seolah belum cukup mencengangkan, nun di kejauhan, kontras dengan laut berwarna hijau kebiruan dan hamparan rumput hijau yang mengapitnya, tampak dinding batu kapur berwarna putih lengkap dengan bongkahan batu raksasa berbentuk huruf U terbalik, dikenal dengan nama Porte D’Amont. Sebuah bangunan gereja kuno Notre Dame de la Garde berdiri di atas bukit menambah kesan magis lukisan alam Etretat ini.
  
Panorama tebing Etretat begitu mengagumkan, sehingga pelukis Claude Monet, Auguste Renoir, dan Gustave Courbet bisa menuangkannya ke dalam puluhan kanvas. Salah satu yang terkenal dan dipamerkan di Musee d’Orsay di Paris adalah hasil karya Claude Monet berjudul Etretat, The Cliff, reflections on water, yang dilukis pada tahun 1885. Etretat menjadi inspirasi para seniman dalam menelurkan karya, termasuk diantaranya penulis Maurice Leblanc yang menciptakan tokoh pencuri legendaris Arsène Lupin. Dalam salah satu seri novelnya berjudul l’Aiguille Creuse yang terbit pada awal abad 20, diceritakan bahwa konon di dalam bongkahan batu raksasa tersebut tersimpan harta karun para raja Perancis. Boleh percaya boleh tidak dengan imajinasi Leblanc, tapi begitu berada disini, tidak dapat disangkal, Etretat memberikan kesan magis. Ditambah lagi, dalam kenyataan, pada tahun 1927, pesawat Oiseau Blanc yang mempunyai misi menyeberangi Samudera Atlantik terakhir kali terlihat terbang melintasi Etretat sebelum akhirnya menghilang tanpa jejak dan tidak pernah ditemukan. 





Ternyata, Etretat juga mempunyai legenda yang populer di kalangan penduduk setempat, yaitu tentang kisah tiga gadis muda kakak beradik putri seorang saudagar yang dikejar-kejar bangsawan licik. Karena merasa terganggu, ketiga gadis ini memutuskan untuk bersembunyi dari kejaran sang bangsawan dan keluar berjalan-jalan di bukit di sekitar tebing hanya pada malam hari di bawah cahaya bulan. Berita ini tersebar ke seantero desa hingga terdengar ke telinga sang bangsawan yang kemudian bermaksud membuntuti ketiga gadis tersebut pada suatu malam. Ketiga gadis yang kaget bukan kepalang berlari ketakutan dan berhasil bersembunyi di dalam salah satu bongkahan batu, namun kemudian mereka terjebak di dalam karena satu-satunya pintu keluar tertutup reruntuhan batuan. Konon, ketiga gadis itu menghilang secara misterius. Ketiga bongkahan batu itu kemudian dinamai La Chambre des Demoiselles untuk mengenang kisah tentang ketiga gadis muda tersebut. Ditemani semilir angin pantai sore itu, saya menanti matahari terbenam dengan potongan kisah legenda memenuhi benak.

Deauville yang Berkilau


Berjarak satu jam berkendara dari Etretat menuju ke selatan, terdapat Deauville, kota pantai mewah yang menjadi daya pikat bagi banyak orang untuk melewatkan liburan musim panas. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah selatan untuk berburu pantai dan sinar matahari, Deauville dinobatkan menjadi Parisian riviera karena lokasinya yang hanya berjarak 2,5 jam berkendara dari ibukota Paris. Kesinilah para pesohor dunia serta orang-orang kaya Paris dan sekitarnya datang untuk menghadiri festival film internasional, menonton lomba pacuan kuda, mengadu peruntungan di meja kasino, ataupun hanya sekedar berlibur sambil berburu sinar matahari. Bukan pemandangan aneh jika mayoritas kendaraan yang berseliweran di jalanan kota Deauville mempunyai plat nomor kota Paris dan sekitarnya.

Wajah kota Deauville langsung mencuri perhatian saya pada kunjungan pertama. Kesan Deauville sebagai kota kaya segera terasa. Di setiap sudut kota, bangunan villa dan rumah-rumah pribadi yang indah dan mewah berdiri megah seolah memamerkan keistimewaannya masing-masing. Meski gaya arsitekturnya lazim ditemui di daerah Normandia, tidak ada satu bangunanpun yang memiliki kesamaan detil, semuanya unik. Hotel-hotel mewah, kasino, dan vila berserakan hampir di setiap persimpangan jalan. Stasiun kereta api Trouville – Deauville yang bergaya Art Deco, hotel legendaris Hôtel Barrière le Normandy, dan Hôtel de Ville atau Balai Kota adalah sedikit diantara bangunan ikonik kota ini.  














Jika kota seperti Deauville dirancang sedemikian rupa sebagai kota liburan kalangan kaya Perancis, sayapun bertanya-tanya dimanakah orang-orang yang menggantungkan hidup dari roda ekonomi Deauville tinggal? Nah, berjarak sekitar dua kilometer dari Deauville, kota pendukung Trouville tampak jauh lebih bersahaja dan nyata dibanding kota tetangganya yang bak negeri mimpi. Namun, ternyata di balik gemerlapnya Deauville, ia juga menyimpan kisah kelam. Puluhan tahun lampau, tepatnya tahun 1936, Deauville sempat menjadi tempat penyelenggaraan balap mobil bergengsi Grand Prix untuk pertama sekaligus terakhir kali, akibat terjadinya tragedi kecelakaan fatal selama perlombaan dan mengakibatkan pihak penyelenggara juga merugi. Meski begitu, reputasinya sebagai tuan rumah penyelenggara festival film Deauville dan lomba pacuan kuda bertaraf internasional tetap bertahan hingga saat ini.  

Petualangan di tanah Normandia ini ditutup dengan kunjungan ke Honfleur. Sebagai keluarga pejalan yang kemanapun pergi selalu membawa bocah-bocah cilik, hiburan untuk anak-anak pastinya tidak terlupakan. Berbalut udara panas di siang hari yang terik, kehadiran komidi putar di depan kantor walikota tentunya segera menarik perhatian si sulung. Sementara saya sendiri cukup puas menikmati panorama kota pelabuhan Honfleur yang ikonik. 





Sunday, 31 March 2019

Berburu Makanan Halal di Bangkok

Bangkok adalah destinasi wisata populer yang sudah mendunia, tidak terkecuali bagi pejalan Muslim. Meski mayoritas penduduknya adalah pemeluk Buddha, ibukota Thailand ini sangat akomodatif terhadap pejalan Muslim, terutama dalam hal memperoleh makanan halal. Menetap di Bangkok selama hampir lima tahun membuat pengetahuan saya tentang tempat-tempat makan halal disini semakin bertambah. Nah, ingin tahu dimana saja tempat makan enak sekaligus halal dan terjangkau, yang wajib disambangi di Bangkok?

Sebagai salah satu kebutuhan dasar, urusan makan sudah tentu selalu mengikuti kemanapun kita pergi. Untuk komunitas Muslim yang bepergian, biasanya tantangan akan muncul ketika harus berburu makanan halal. Di Bangkok, ibukota Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, ternyata mencari tempat makan halal tidak sesulit yang dibayangkan. Mulai dari warung kaki lima, pasar, sampai di pusat perbelanjaan, kedai makanan yang telah mendapat sertifikasi halal dari The Central Islamic Council of Thailand hampir dipastikan dapat ditemukan. Ada pula restoran-restoran besar dan restoran hotel yang bersertifikasi halal atau setidaknya menyajikan menu halal. Utamanya di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat muslim Thai di Charoen Krung, Ramkhamhaeng, Phetchaburi, dan Phaya Thai, aneka pilihan makanan khas Thai dan cemilan yang tersaji di kedai pinggir jalan sungguh menggoda untuk dicicipi.  

Kedai Makanan Halal sepanjang soi 7 Phetchaburi Road
Mudah dicapai dengan skytrain atau BTS, alat transportasi massal di Bangkok, Phetchaburi soi 7 terletak tidak jauh dari stasiun BTS Ratchathewi (Terletak di jalur Sukhumvit Line dengan pintu keluar No. 3). Phetchaburi soi 7 (soi berarti gang dalam bahasa Thai) yang merupakan tempat tinggal komunitas Muslim Thai dari Thailand Selatan adalah surganya makanan kaki lima halal sejak pagi  hingga malam hari. Disambut kedai kopi dan roti bakar di mulut gang yang berseberangan dengan Masjid Darul Amman, salah satu masjid historis di Bangkok, deretan penjual makanan seolah tidak ada habisnya. Aneka roti dan kudapan ringan, bubur ayam, nasi dengan aneka lauk berbumbu disajikan mirip nasi rames, bakso bakar dicocol saus, sosis, pangsit goreng, susu jagung, hingga teh susu khas Thai (cha yen) siap memanjakan lidah. Untuk urusan makanan, masyarakat Thai mempunyai tradisi yang kurang lebih sama dengan masyarakat Indonesia, yaitu gemar makan “besar” pada pagi hari, artinya menu nasi, bihun, atau mie lengkap dengan lauk pauknya lumrah disantap pada saat sarapan.

Farida Fatornee
Di tepi jalan utama Phetchaburi, mendekat ke arah stasiun BTS Ratchathewi, terdapat warung makan halal populer, yaitu Farida Fatornee. Lauk pauk dan sayur yang disajikan hari itu dapat dipesan setelah membaca buku menu yang ditawarkan atau cukup dilirik dari balik etalase kaca di depan warung, dipilih sesuai selera untuk dinikmati di tempat atau dibawa pulang. Sup ayam, salad Thai, tom yum, gulai kepala ikan, dan kambing goreng adalah beberapa menu rumahan yang menjadi andalan warung makan ini, dengan rasa yang dapat diterima oleh lidah Indonesia. Buka setiap hari mulai pukul 10.00 pagi hingga 21.00 malam, sempatkan mampir bersantap disini setelah berbelanja dari Platinum Fashion Mall atau Pasar Pratunam yang juga terletak di ruas jalan Phetchaburi.

Usman Thai Restaurant
Restoran milik pak Usman yang letaknya agak tersembunyi di salah satu sub-soi di Sukhumvit soi 22 ini adalah salah satu favorit warga Indonesia yang bermukim di Bangkok. Grilled beef salad, sup buntut, spicy seafood salad with glass noodle, ikan kukus maupun ikan goreng dengan siraman saus istimewa, dan tentunya sup tom yum dijamin akan membuat kita terkenang-kenang lezatnya. Usai bersantap, pengunjung juga dapat membeli bumbu jadi tom yum untuk dibawa pulang. Jangan kaget apabila pak Usman langsung yang turun tangan melayani sambil menyapa ramah tamu dalam bahasa Melayu karena beliau berasal dari daerah Thailand Selatan.

Restoran ini bisa dicapai dengan menumpang taksi langsung menuju soi 22 dimana restoran terletak di jalan buntu sebelah kiri jalan utama setelah hotel Imperial Queen’s Park, atau naik skytrain dan turun di stasiun Phrom Phong dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju soi 22 selama kurang lebih 15 menit sampai tujuan.
Foto: www.bestofhalal.net
Pujasera Pusat Pertokoan di Bangkok
Mengakomodasi umat Muslim yang sedang berlibur maupun yang tinggal di Bangkok, hampir dipastikan selalu ada tempat makan halal di pusat perbelanjaan ternama, seperti Central Chitlom, Siam Paragon, dan MBK Center. Di Foodloft di Central Chitlom terdapat gerai makanan India yang berlabel halal, di Paragon Food Hall pusat pertokoan Siam Paragon terdapat kios nasi kuning ayam halal. The Fifth Avenue di pusat pertokoan MBK menyajikan banyak pilihan makanan dari kedai-kedai berlabel halal mulai dari menu Indonesia, India, Thai, hingga Jepang.

Home Cuisine Islamic Restaurant

Nasi Biryani yang lezat (Foto: www.bestofhalal.net)
Mutton curry Home Cuisine (Foto:www.bestofhalal.net)
Bagi pejalan yang sedang menjelajahi kawasan kota lama Bangkok, jika perut sudah menuntut diperhatikan, berbeloklah ke jalan Charoen Krung. Di Charoen Krung terdapat komunitas muslim Thai dan beberapa tempat makan halal yang wajib dicoba, salah satunya adalah Home Cuisine Islamic Restaurant. Berlokasi tepat di seberang kedutaan besar Republik Perancis, restoran bernuansa hijau yang menyajikan menu India dan Thai ini tidak sulit ditemukan. Selain halal, Home Cuisine juga mengklaim masakan rumahannya bebas MSG dan bahan kimia lainnya. Cobalah menu andalan restoran ini yaitu nasi biryani ayam. Selain itu ikan goreng saus pedas yang cocok disantap dengan nasi hangat bisa menjadi uji nyali bagi penggemar cita rasa pedas. Buka setiap hari Senin hingga Sabtu mulai pukul 11.00 – 22.00 dan Minggu mulai pukul 18.00 – 22.00, cara ternyaman mencapai restoran ini adalah dengan menumpang taksi langsung menuju Thanon Charoen Krung soi 36 dan berhenti di seberang bangunan kedutaan besar Perancis.

Sinthorn Steak House
Kawasan Ramkhamhaeng adalah salah satu kawasan dimana komunitas Muslim terbesar di Bangkok tinggal. Disanalah restoran-restoran halal, Islamic Center, dan beberapa masjid besar terletak. Salah satu restoran besar yang terkenal adalah Sinthorn Steak House. Dengan menu steak a la Amerika dan Eropa sebagai sajian utamanya, restoran ini juga menawarkan aneka hidangan Thai, Cina, Italia, dan Arab dalam daftar menunya. Setiap sorenya mulai pukul 17.00 hingga 23.00 juga tersedia buffet daging panggang ala Korea dan sari laut Sinthorn yang tidak boleh dilewatkan. Di samping gerbang kompleks restoran yang berlokasi di antara soi 85 dan soi 87 Ramkamhaeng Road, terdapat toko serba ada yang menjual beragam produk halal dan olahan daging halal seperti sosis, ham, bakso, nugget, dan lain sebagainya. Cara termudah mencapai restoran ini adalah dengan menumpang taksi dengan ongkos kurang lebih THB 120-130 dari area Sukhumvit.
Supermarket di Sinthorn yang menjual aneka olahan daging halal
Tenderloin Steak dari Sinthorn Steak House
 Yana Restaurant Thai and International Halal Food
Popularitas restoran Yana di kalangan pejalan muslim yang berwisata ke Bangkok sudah tidak diragukan lagi. Berlokasi di lantai 5 pusat perbelanjaan MBK Center yang hampir pasti menjadi tujuan wajib para pejalan ketika berada di Bangkok, aneka menu khas Thai dan Internasional yang ditawarkan juga sudah terbukti kelezatannya. Jangan lewatkan sup tom yum, ikan goreng bersaus, atau tumis bakso sambal terasinya yang cocok bersanding dengan sepiring nasi putih hangat. Kalau penasaran dengan menu lain di restoran ini, silakan intip dan nikmati penampakannya di www.yanarestaurant.com sebelum Anda datang dan mencobanya sendiri. Pusat perbelanjaan MBK sendiri langsung terhubung dengan stasiun BTS terminal National Stadium. Sungguh pilihan tempat makan yang nyaman, bukan?

Phayathai Kitchen Halal Restaurant
Meski mungil, tampaknya Phayathai Kitchen tidak pernah kekurangan pengunjung. Variasi makanan yang lezat, pelayanan yang efisien, serta harga yang sangat bersahabat menjadi alasan di balik fakta tersebut. Menemukan restoran mungil ini terbilang mudah. Dari mulut soi 7 Phetchaburi Road, ambil jalan lurus sampai bertemu pertigaan, kemudian belok kiri, Phayathai Kitchen, ada di sebelah kiri jalan. Buka setiap hari mulai pukul 11.00 hingga 22.00, restoran ini menawarkan menu internasional seperti pizza, pasta, dan burger di samping menu khas Thai yang selalu berhasil menggugah selera makan. Lupakan sejenak program diet untuk mencicipi dengkul ayam gorengnya yang renyah dan gurih. Di restoran ini juga terdapat menu yang umumnya dijual di kaki lima, apalagi kalau bukan nasi ketan putih ditemani ayam panggang/goreng yang biasa dimakan dengan tangan, favorit anak-anak tentunya.
Foto: Phayathai Kitchen Facebook Page
Al-Hussain Restaurant
Mengusung menu Timur Tengah dan India, restoran Al- Hussain yang berlokasi di kawasan Nana, tepatnya di Sukhumvit soi 3/1 sangat populer dan mempunyai jam buka yang panjang, mulai dari pukul 6 pagi hingga 3 dini hari. Nana adalah kawasan populer untuk para wisatawan dari Timur Tengah, sehingga restoran-restoran disana umumnya mengusung menu Timur Tengah, mulai dari Iraq, Persia, Lebanon, hingga Mesir. Restoran Al-Hussain sendiri menawarkan menu India dan Bangladesh dengan pilihan menu Thai yang relatif terbatas, namun daya tarik restoran ini ada pada dhal, paratha, naan, mutton biryani, mutton/beef masala, dan kari kambing yang wajib dicicipi. Istimewanya lagi, setiap hari selama bulan Ramadhan, Al-Hussain menyediakan setampah besar menu untuk sahur dan berbuka puasa, lengkap dari mulai ta’jil, nasi biryani, dan buah-buahan untuk disantap bersama-sama bagi siapapun yang datang ke restorannya secara gratis.

Tips Menikmati Kuliner Thailand
Secara umum, masakan Thailand selalu dibubuhi beragam bumbu dapur dan dedaunan yang membuatnya kaya citarasa. Jika selama ini menu Thai yang populer di luar Thailand sebatas sup tom yum goong, pad Thai, som tam atau salad apaya muda, massaman curry, green curry, atau nasi goreng Thailand, kini saatnya Anda menikmati pilihan menu khas Thai yang tak kalah sedap seperti stir-fried chicken cashew nut, grilled beef salad, seafood salad with glass noodle, tom kha gai atau sup ayam, hingga ikan goreng dengan pilihan saus istimewa. Satu hal yang perlu diingat, orang Thai adalah penyuka cabai sehingga ada banyak pilihan menu bercitarasa pedas. Oleh karena itu, bagi yang tidak bisa menyantap makanan pedas, pastikan pelayan mencatat menu pesanan Anda dengan menggarisbawahi informasi tambahan mai pet yang berarti tidak pedas sama sekali.   

Selamat berlibur dan berwisata kuliner di Bangkok!

---------------------------------


Farida Fatornee
497/5 Phetchaburi Rd, Thung Phaya Thai, Ratchathewi, Bangkok 10400 (BTS Ratchathewi exit 3)

Usman Thai Restaurant

259/9 Sukhumvit Rd soi 22, Khlong Tan, Khlong Toei, Bangkok 10110 (BTS Phrom Phong exit 6)

FoodLoft
7th fl, Central Chidlom, 1027 Phloen Chit Rd, Lumphini, Pathum Wan, Bangkok 10330 (BTS Chit Lom exit 5)

Paragon Food Hall
G Floor, Siam Paragon, 991/1 Rama I Rd, Bangkok 10330 (BTS Siam exit 5)

The Fifth Avenue

5th Floor, Zone A , Tokyu Department Store, MBK Center, 444 Phayathai Rd., Bangkok (BTS National Stadium exit 4)

Home Cuisine Islamic Restaurant

186 Charoen Krung 36, Bangrak District, Bangkok 10500

Sinthorn Steak House
3331/2 Ramkhamhaeng Rd. Huamark, Bangkok

Yana Restaurant Thai and International Halal Food
5A-05, Zone A, Tokyu Department Store, MBK Center, 444 Phayathai Rd, Pathum Wan, Bangkok 10330 (BTS National Stadium exit 4)

Phayathai Kitchen Halal Restaurant

63, 68 Phetchaburi 7 Alley, Thung Phaya Thai, Ratchathewi, Bangkok 10400 (BTS Ratchathewi exit 3)

Al-Hussain Restaurant
Soi Sukhumvit 3/1, Khlong Toei Nuea, Bangkok 10110 (BTS Nana exit 2)

Saturday, 1 July 2017

Sekilas Metz: Kota di Perbatasan Tiga Negara

Kota Metz (dibaca: mɛs) kami sambangi tanpa rencana. Berhubung cuaca di Luxembourg tidak mendukung, kami memutuskan untuk kembali ke teritori Perancis lebih cepat. Metz menjadi pilihan. Kesan grandiose langsung terasa begitu memasuki kota, meski di mata saya kota ini terkesan "kosong" dan "sepi", apalagi di hari Sabtu pagi. Banyak bangunan kosong dengan papan penanda "dijual" atau "disewakan" dan taman tidak terawat di Place de la Republique yang sempat kami lewati menambah kesan "kosong" tersebut. Dari hotel di dekat Place R. Mondon, tidak jauh dari stasiun kereta api Metz, kami berjalan kaki menuju Cathedrale dan Place d'Armes, yang merupakan pusat kota Metz. Berada di perbatasan antara Jerman, Luxembourg, dan Perancis, sejarah kota Metz dimulai sejak 3,000 tahun lalu.

Mayoritas bangunan di kota ini mencuri perhatian pada kunjungan pertama. Arsitektur bergaya Renaissance sangat mendominasi, dikombinasi dengan arsitektur bangunan perpaduan Jerman-Perancis seperti di wilayah Alsace dan arsitektur bergaya Gotik. Sebagian besar bangunannya dibangun dengan batuan kapur berwarna kekuningan yang dikenal sebagai "pierre de Jaumont". Karena kami menjelajahi bagian kota Metz dengan berjalan kaki, saya sangat terkesan dengan area pejalan kaki yang sangat lebar, bahkan area pejalan kaki di kawasan komersial kota ini merupakan yang terlebar di seluruh Perancis.

Metz adalah ibukota wilayah Lorraine yang masuk ke dalam teritori Perancis sejak tahun 1552. Antara tahun 1870-1918 dan pada masa Perang Dunia II, Metz berada dalam kekuasaan Jerman. Setelah melintasi pusat kegiatan komersial Metz, kami sampai juga di Place d'Armes. Arsitek kota Metz pada abad ke-18, Jacques-François Blondel, menggabungkan unsur agama, militer, pemerintahan dan hukum sekaligus dan di Place d'Armes inilah gedung Balai kota, Katedral St. Etienne, gedung Opera yang merupakan gedung opera tertua di Perancis, dan gedung militer yang berubah fungsi menjadi kantor pariwisata kota berlokasi.

Salah satu sudut kota Metz



Porte Serpenoise

Suasana kota Metz di hari Sabtu pukul 11 siang


Bagian depan Katedral St. Etienne
Bangunan pasar tertutup yang sayangnya tutup di akhir pekan



Lambang kota Metz

Katedral St. Etienne yang megah nampak dari sisi lain





Saturday, 24 June 2017

#World Heritage Sites: Historic Centre of Brugge

Pusat kota Bruges

Coklat, bir, dan kentang goreng atau lazim disebut French fries langsung terlintas dalam benak begitu mendengar nama Belgia. Tapi bukan itu alasan kami tertarik mendatangi negeri coklat ini, melainkan sebuah kota cantik yang dikelilingi kanal bernama Bruges, yang juga dikenal sebagai Venice of the North.

Bruges, Dulu dan Sekarang
Bruges dalam bahasa Inggris dan Perancis atau Brugge dalam bahasa Belanda adalah kota kanal yang terletak di sebelah barat daya Belgia, ibukota wilayah sekaligus kota terbesar di West Flanders. Bahasa yang digunakan di kota ini adalah Flemish, Belanda, dan Perancis. Dulunya, sekitar abad pertengahan, Bruges merupakan kota pelabuhan dan aktivitas perdagangan yang sibuk di Eropa, khususnya perdagangan tekstil. Layaknya kota perdagangan, kanal-kanal yang mengaliri kota ramai dilalui kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal penumpang bagi penduduk setempat. Pada masa kejayaannya di abad kelimabelas, Bruges dikenal sebagai gudangnya pemintal dan penenun terbaik dunia. Menginjak abad ketujuhbelas, kain pintal dan tenun mulai tergantikan kerajinan tangan berbahan dasar renda atau lace yang populer sebagai cinderamata khas Bruges hingga saat ini.

Kota Bruges diperkirakan telah ada sejak abad ketujuh, namun abad ketigabelas hingga empatbelas adalah periode keemasan Bruges sebagai kota pelabuhan internasional sekaligus pusat komersial utama di wilayah barat laut Eropa. Sempat menjadi daerah pendudukan Perancis selama 20 tahun, kemilau Bruges perlahan memudar hingga puncaknya menjadi salah satu kota termiskin di Eropa pada abad kesembilanbelas. Meski begitu, kekayaan budaya dan sejarah yang terdapat di Bruges tetap terjaga baik selama berabad-abad, menjadikan pusat historis kota Bruges terpilih sebagai situs warisan budaya dunia UNESCO pada tahun 2000.

Sekarang, dengan popularitasnya, Bruges menjadi kota tujuan untuk day-trip, khususnya pada akhir pekan dan hari libur. Tidak disangkal, Bruges memang dipadati turis. Walaupun begitu, keelokan kota ini tetap dapat saya nikmati saat menyusuri jalan-jalan berbatu khas abad pertengahan diapit bangunan-bangunannya yang fotogenik. Deretan toko coklat dengan aneka bentuk yang unik, toko kerajinan lace yang sedap dipandang mata meski harganya relatif mahal, hingga toko-toko cinderamata yang etalasenya saja begitu menggemaskan, mengukuhkan pesona Bruges sebagai kota tujuan wisatawan.

Deretan bangunan berwarna-warni ikonik dengan fasad segitiga berundak tampak menonjol dan segera mencuri perhatian saya begitu kami berada di Market Square. Dikelilingi bangunan tua berwarna-warni yang dulunya merupakan tempat tinggal para pedagang kaya di satu sisi, Provincial Court di sisi lain, di Market Square juga terdapat Bruges Beer Museum.  Sebagai kota turis, bisa dibayangkan bagaimana situasi Bruges di akhir pekan dan di hari libur.

Dari Perayaan Hari Nasional hingga Pencuri Cantik
Kami datang di pertengahan minggu, namun hari itu bertepatan dengan perayaan hari nasional Belgia yang jatuh pada 21 Juli, sehingga Bruges terbilang ramai. Berkesempatan menyaksikan upacara penghormatan kepada para veteran perang di Burg Square, kami bergabung dalam kerumunan pengunjung di depan balai kota Bruges, sebelum melangkahkan kaki ke Huidenvettersplein, salah satu dari empat tempat perhentian kapal yang membawa wisatawan menyusuri kanal-kanal di Bruges.

Setiap perjalanan selalu menorehkan kisah tersendiri yang berbeda untuk setiap orang, entah itu kisah lucu, sedih, mengharukan atau bahkan mengesalkan. Tidak pernah terbayangkan jika di kota inilah saya nyaris kecopetan untuk pertama kalinya. Awalnya, ketika kami sedang mengantri membeli tiket, sekilas saya sempat memperhatikan dua orang wanita muda berpakaian kasual dan berparas cantik yang salah satunya sedang hamil besar berdiri tidak jauh dari antrian. Entah kenapa, dari sekian banyaknya turis yang lalu lalang pagi itu, ingatan saya tentang dua perempuan muda tersebut cukup melekat, sampai akhirnya kami dipersilakan naik ke atas kapal dan tur selama 30 menit itupun dimulai. Lama setelah tur selesai, kami berkeliling kota, menyusuri trotoar sambil sesekali berhenti mendaratkan pandangan di etalase toko-toko coklat yang terlalu menarik untuk diabaikan. Tiba-tiba, saya merasa ada gerakan pada tas punggung dan seketika menoleh ke sumber gerakan. Benar saja, resleting tas punggung saya sudah setengah terbuka dan pada saat bersamaan memergoki salah satu dari perempuan muda yang sebelumnya saya lihat di dekat antrian kapal berdiri tepat di belakang saya segera menghentikan aksinya. Dengan wajah tanpa dosa, perempuan hamil yang satunya lagi sigap menyapa akrab teman di samping saya sambil menunjuk salah satu coklat berbentuk tak lazim di etalase toko, kemudian mendahului kami dan dengan cepat menghilang, mungkin mencari mangsa lain. Untungnya tidak ada barang yang sempat berpindah tangan, namun pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bahwa tangan jahil itu tidak memandang tempat dan tidak mempunyai stereotip. Siapa yang mengira jika di Bruges, tangan jahil tersebut berwujud dua perempuan muda cantik jelita dan salah satunya sedang hamil besar?

Urusan dengan tangan jahil ini tentunya tidak lantas membuat kami kehilangan semangat mengeksplorasi kota yang konon disebut-sebut sebagai salah satu kota dengan rupa bak negeri dongeng di Eropa ini. Panorama kota Bruges terlalu cantik untuk diabaikan dalam perjalanan singkat kami.

Yang Menarik untuk Dikunjungi di Bruges
Namun, kunjungan ke Bruges tidaklah sahih tanpa mendatangi langsung tengaran-tengaran penting dari berabad-abad lalu. Perhentian pertama tentunya adalah Market Square, dimana terdapat bangunan ikonik Bruges, yaitu deretan rumah pedagang di masa lalu dengan fasad segitiga berundak berwarna-warni yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kedai kopi atau restoran. Waktu makan siang masih beberapa jam lagi, namun di sudut meja salah satu kedai, tampak satu keluarga dengan anak-anak yang masing-masing sedang menikmati sepiring besar wafel yang tampak lezat. Jangan lewatkan Bruges tanpa mencoba moules frites atau remis yang dimasak dengan bawang bombay, jahe, persil, disajikan bersama kentang goreng dan ditutup dengan wafel dengan aneka topping buah-buahan segar seperti pisang, stroberi, atau kiwi dan krim atau es krim, hmmm…dijamin perut akan puas dan bahagia! Usai urusan kuliner, bangunan historis di sekeliling Market Square seperti Provincial Court yang kokoh dan menara Belfry yang menjulang serta Bruges Beer Museum sudah menunggu untuk disambangi. Walaupun kebanyakan turis memilih berjalan kaki di Bruges, pilihan lain yang menarik tapi harus merogoh kantong lebih dalam adalah menumpang kereta kuda nan gagah dari Market Square seharga 50 Euro untuk 30 menit berkeliling pusat kota historis, dikusiri pemandu profesional.

Ke arah timur dari Market Square, terdapat Burg Square dimana City Hall atau Balaikota Bruges berada. Hanya ada dua kesempatan untuk memasuki Balaikota, yaitu bila akan menikah atau jika kita diundang teman/kerabat yang menikah disana. Jadi kalau ingin masuk ke dalam gedung bersejarah tersebut, tinggal pilih momen mana yang paling cocok untuk Anda.

Sedikit menjauh dari pusat historis ke arah selatan, berlokasi tepat di tepi kanal Minnewater, terdapat kompleks bangunan didominasi warna putih dinaungi pohon besar yang rindang dan rumput hijau. Suasana syahdu terasa seketika begitu saya menginjakkan kaki di halamannya. Itulah Béguinage atau Begijnhof yang merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bekerja para penghuninya. Berbeda dengan biara, penghuni Béguinage bukanlah biarawati melainkan wanita biasa yang semata ingin mengabdikan dirinya untuk Tuhan.

Sebagai kota seni, Bruges juga mempunyai banyak museum terkemuka, seperti Groeninge Museum, tempat dipamerkannya karya pelukis besar Belgia Hans Memling dan Jan van Eyck. Sedangkan penggemar batu berharga berlian bisa mengayunkan langkah ke Diamond Museum, yang terletak tidak jauh dari Begijnhof. Tidak lupa, coklat dan kentang goreng yang merupakan ciri khas negara Belgia juga mempunyai museumnya masing-masing, yakni Choco-story atau Chocolate Museum dan Friet Museum, dimana pengunjung dapat mengetahui sejarah asal-muasal coklat maupun kentang goreng sekaligus mencicipinya disana. Untuk pelancong keluarga dengan anak-anak, kunjungan ke dua museum ini tentunya akan sangat menyenangkan seluruh anggota keluarga.

Penikmat sejarah, budaya, dan arsitektur dijamin betah berada di kota indah ini. Selain tengaran seperti balai kota atau gedung-gedung pemerintahan, interior bangunan peribadatan di Bruges juga sangat menarik. Mulai dari Jeruzalemkerk atau kapel yang didirikan pada abad kelimabelas oleh seorang pedagang kaya yang baru kembali berziarah dari Jerusalem, biara Carmelites, kapel Orthodoks, hingga biara untuk pastor Jesuit.

Salah satu yang wajib dilakukan pelancong ketika berada di Bruges adalah mengikuti tur melalui kanal-kanal dengan menumpang kapal berkapasitas kurang lebih 25 orang. Dengan tiket seharga 8 Euro per orang, kami bergabung dengan calon penumpang lain, siap menikmati panorama Bruges dari kanal. Perjalanan selama 30 menit ini nyaris tidak terasa, apalagi banyak bangunan sepanjang kanal yang teramat menarik. Sekawanan angsa dan bebek yang berpapasan dengan kapal kami menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Selain mengikuti tur keliling kanal, menumpang kereta kuda, atau menyewa sepeda, Bruges sangat nyaman dijelajahi dengan berjalan kaki. Pusat kota Bruges cukup kecil untuk dinikmati sambil mengayunkan langkah, bahkan bagi mereka yang tidak gemar menjelajahi kota dengan berjalan sekalipun.

Yummmyyyy!!!
  

Kerajinan lace khas Bruges

Cantiknya kota Bruges
 











Bruges hanya berjarak 1 jam perjalanan dengan kereta dari Gare du Midi di Brussels, 1,5 jam dari Antwerpen, dan hanya 30 menit berkereta dari Gent.Sementara dengan kota-kota besar lainnya di Eropa, Bruges dapat dicapai dari Lille, kota terdekat di Perancis selama 1 jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Dari stasiun Paris-Nord, Bruges berjarak 2,5 jam perjalanan kereta, sedangkan dengan kota-kota lain seperti London dan Dover di Inggris, Amsterdam di Belanda, dan Koln di Jerman, Bruges berjarak 1,5 – 4 jam perjalanan dengan moda transportasi kereta ataupun kapal feri. Sebagai kota turis, tipe akomodasi di Bruges cukup bervariasi yang dapat dipilih sesuai anggaran, dengan pilihan terbanyak berupa hotel dan chambre d’hôtes atau kamar yang disewakan di rumah penduduk. Pilihan kedua lebih menarik dari sisi pengalaman karena selain bisa berinteraksi dengan tuan rumah, tamu dapat menikmati hidangan seperti layaknya di rumah. Berkeliling Bruges paling seru dilakukan dengan mengendarai sepeda yang banyak terdapat di sudut kota. Yang pasti, jangan lewatkan Bruges kalau suatu hari berkunjung ke Belgia. It is definitely worth a visit!