Showing posts with label cultures. Show all posts
Showing posts with label cultures. Show all posts

Monday, 18 April 2016

Berkunjung ke Taladnam Khlong Lad Mayom

Berniat melewatkan salah satu hari di akhir pekan untuk keluar rumah, pilihan kami di suatu hari Minggu siang di penghujung bulan Maret yang panas adalah pasar terapung Khlong Lad Mayom. Beroperasi pada akhir pekan dan hari libur nasional antara pukul 08.00 – 17.00, Khlong Lad Mayom dapat dicapai dengan menumpang skytrain Sukhumvit Line arah ke Bang Wa, turun di stasiun terakhir Bang Wa, kemudian dilanjutkan dengan taksi seharga kurang lebih THB 80. Pergi dari rumah sekitar pukul 10 pagi, kami sampai di tempat tujuan sekitar pukul 11 siang. Meski namanya pasar terapung, sebagian besar kedai di Khlong Lad Mayom ada di "daratan" dan hanya beberapa kapal yang terlihat di kanal siang itu, yang sama sekali tidak membuat kami kecewa, karena pasarnya besar, menarik, lokal, dan banyak yang bisa dilihat. Menjelang makan siang, pasar semakin ramai pengunjung yang mayoritas adalah masyarakat Thai. Menu istimewa yang wajib dicoba di pasar ini salah satunya adalah "pla pao" atau ikan bakar yang dilumuri garam, disajikan dalam kotak karton dilengkapi lalapan dan dua jenis sambal seharga THB 240/porsi. Kami juga sukses memborong cendol untuk persediaan di salah satu kios, yeayy...Aneka manisan khas Thai berjejer tampak menggoda untuk dibawa pulang. Area pasar yang relatif besar dipenuhi tempat makan dan kedai-kedai disekelilingnya, sehingga tidak perlu khawatir kelaparan selama berada disini.

Siang itu, selain menjelajahi daerah pasar, kami juga mengambil paket tur keliling kanal naik perahu. Dari tiga program yang ditawarkan, kami memilih program yang paling ideal dari segi waktu maupun tempat yang akan dikunjungi, yaitu tur menyaksikan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dengan lama waktu 40 menit non stop menggunakan kapal sewaan privat seharga THB 700.

Jika berkunjung ke Bangkok dan ingin melihat pasar terapung secara langsung, Khlong Lad Mayom bisa menjadi pilihan karena pasarnya tidak kalah menarik dan jaraknya tidak sejauh pasar terapung lain yang lebih populer seperti Damnoen Saduak atau Amphawa.

Sungai penuh ikan ini membuat anak-anak histeris kesenangan :)

Salah satu perahu penjual yang terlihat hari itu

Ada bagian hiburan anak-anak juga di pasar ini


Hidangan khas ikan bakar bergaram yang enak

Aneka manisan khas Thai

Manisan berbahan dasar kelapa, yuummm....

Fish spa

Pekarangan penduduk yang cantik








Bagian belakang rumah penduduk yang hijau


Petugas pos melaksanakan tugasnya dengan naik perahu








Namanya pasar, isinya pun makanan semua :)

Makan bukan hanya kebutuhan, melainkan hobi orang Thai




Tunggu cerita saya berikutnya dari pasar terapung yang lain :)

Tuesday, 19 November 2013

#World Heritage Sites: Historic Town of Sukhothai and Associated Historic Towns

Wat Maha That, Sukhothai Historical Park

Meneruskan seri situs warisan dunia, akhir bulan lalu kami menginjakkan kaki di Sukhothai, bekas ibukota kerajaan Siam pada abad 13-14 sebelum dipindahkan ke Ayutthaya lalu kemudian ke Bangkok. Sekadar intermezzo, entah kenapa, setiap mendengar kata Sukhothai, yang terlintas di pikiran saya malah pesawat tempur Sukhoi, mungkin karena sama-sama berawalan S dan berakhiran I :). Kembali ke Sukhothai, setelah menempuh perjalanan dengan mobil selama 7 jam, sampai juga kami di Sukhothai Heritage Resort, tempat kami menginap. Idealnya, perjalanan Bangkok-Sukhothai bisa ditempuh dalam waktu 5-6 jam, tapi berhubung membawa David, otomatis kami banyak berhenti untuk meluruskan kaki dan membebaskan si kecil jika sudah bosan duduk di carseat-nya.

Rekomendasi teman tentang hotel ini ternyata tidak salah. Bangunan hotelnya sendiri hanya bertingkat dua, namun interiornya didominasi oleh kolam-kolam dan taman hijau hampir di setiap sudut dengan arsitektur khas Sukhothai dan sofa-sofa nyaman di setiap sudut ruang yang berkonsep terbuka. Bagaimana dengan kamarnya? Kami berdua sama sekali bukan tipe wisatawan jetsetter ataupun high-end, jadi kalau tenda saja bisa jadi nyaman, apalagi kamar hotel, hehehe...Kesan-kesan kami menginap di hotel ini akan saya ceritakan dalam ulasan terpisah.

Keesokan paginya, kami berangkat menuju Sukhothai Historical Park sekitar jam 9, kurang lebih sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil sampailah kami disana. Sukhothai Historical Park ini mendapat status Warisan Budaya Dunia dari UNESCO pada Desember 1991 karena kekayaan nilai sejarah yang pada masa jayanya menjadi pusat administrasi, agama, dan ekonomi. Arsitektur bangunan di Sukhothai juga berkontribusi dengan kekhasannya sehingga dikenal istilah "Sukhothai style" dalam arsitektur bangunan di Thailand.

Ternyata, Sukhothai jauh lebih besar dari Ayutthaya, dan menurut pendapat kami, jauh lebih bagus, lebih hijau, lebih ndeso dengan pemandangan hewan ternak yang sedang merumput di padang rumput sekeliling kompleks candi, dan udaranya jauh lebih sejuk (mungkin karena kami datang di musim hujan). Tiket masuk area kompleks adalah THB 100/orang dan THB 50/mobil. Sayang, hari itu kunjungan kami ke Sukhothai sempat disertai hujan deras sehingga banyak kawasan kompleks tergenang air cukup tinggi. Kami sempat berhenti sebentar di pusat informasi, namun sangat disayangkan, untuk tempat bersejarah seindah Sukhothai, pusat informasi ini hampir tidak menyajikan informasi apapun, selain maket kompleks dan peta lokasi. Berbeda dengan pusat informasi di Ayutthaya yang mempunyai staf berbahasa Inggris, mengadakan pemutaran film pendek tentang Ayutthaya, dan menyediakan setumpuk brosur menarik tentang Ayutthaya dan lingkungan sekitarnya. Wajar juga sih, mengingat secara jarak, Ayutthaya lebih dekat dari Bangkok, jadi lebih banyak wisatawan yang berkunjung kesana dibandingkan dengan ke Sukhothai.

Bagian dari Wat Maha That

Turis dan guide-nya
Wat Maha That yang tergenang air hujan

Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan mengelilingi Wat-Wat yang lain. Ternyata, kalau musim hujan, Sukhothai "kebanjiran". Danau-danau bermunculan dimana-mana dan banyak bagian dari candi yang sulit diakses. Memanfaatkan waktu disana, akhirnya kami berkeliling kompleks naik mobil dan baru turun untuk mengunjungi Wat Maha That, candi yang terbesar dan Wat Si Sawai yang cantik. Menjelang waktu makan siang, kami berhenti di deretan kedai makan dan souvenir di seberang Wat Maha That untuk menikmati pad thai goong. Selesai makan, niatnya langsung menuju Wat Saphan Hin dan Wat Si Chum yang berada di luar kompleks. Hujan deras kembali turun tapi kami tetap menuju Wat Saphan Hin. Tidak begitu jauh dari loket pembelian tiket, tampaklah Wat Saphan Hin di atas bukit di sebelah kanan. Tunggu punya tunggu, hujan tidak menunjukkan niatnya untuk berhenti, akhirnya THB 200 pun hangus karena kami memutuskan untuk pergi dari Wat Saphan Hin :(. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Wat Si Chum. Kalau dari arah Sukhothai Historical Park, Wat Saphan Hin dan Wat Si Chum dapat dicapai dengan mengambil arah menuju Tak, namun jalan masuk Wat Si Chum terletak di sisi kanan jalan, sedangkan jalan masuk Wat Saphan Hin masih lebih jauh lagi dan terletak di sisi kiri jalan. Sesampainya di Wat Si Chum, langit masih mendung dan rintik-rintik hujan belum juga mau berhenti. Karena sudah sore, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Dalam perjalanan pulang, kami sempat mengitari kompleks bandara dekat hotel dan ternyata ada kebun binatang disana yang otomatis menjadi tujuan dalam agenda jalan-jalan besok.

Wat Si Sawai yang fotogenik
Jalan mendaki menuju Wat Saphan Hin yang akhirnya batal didatangi
Terpesona dengan saudaranya Sophie si jerapah
Berbeda dengan hari sebelumnya, matahari tampak bersahabat di hari Jum'at itu. Pagi ini kami mau berkeliling desa naik sepeda yang dipinjamkan gratis untuk tamu hotel. Dengan David di punggung saya, kami bertiga mengayuh sepeda dengan semangat. Rasanya sudah lama sekali saya tidak bersepeda. Tujuan pertama adalah kompleks bandara yang berlokasi 1,5 km dari hotel kami. Di kompleks ini ada miniatur Angkor Wat, cafe-cafe kecil, kebun binatang, kandang kerbau, rumah kaca tempat budidaya anggrek dan beberapa bangunan tertutup yang tampak seperti museum. Perjalanan pagi itu benar-benar menjadi momen bagus untuk mengenalkan beragam hewan pada David, yang selama ini hanya ia tahu dari buku cerita. Mulai dari sapi, kerbau, zebra, jerapah, angsa putih dan angsa hitam, bebek, kijang, sampai burung merak. Setelah melewati rumah kaca, kandang sapi, dan kompleks rumah pegawai setempat, eksplorasi diakhiri dengan minum segelas jus rumput padi (aneh ya namanya?)di kedai yang menjual makanan dan minuman organik.

Sebelum perjalanan dimulai
Tidak pernah bosan melihat antrian bebek yang tertib
Tertidur di tengah perjalanan
Menyusuri jalan setapak desa

Setelah beristirahat sebentar di hotel, kami kembali lagi ke arah kota menuju Wat Si Chum dan Sukhothai Historical Park memanfaatkan cuaca yang cerah. Puas berkeliling, mobil diarahkan ke Si Satchanalai Historical Park yang juga merupakan situs Warisan Budaya, tapi terletak sekitar 70 km dari Sukhothai. Sampai sana menjelang senja, tentu saja kompleksnya sudah tutup. Tidak ada pilihan selain kembali ke hotel dan melewatkan malam terakhir kami di Sukhothai sebelum kembali ke Bangkok besok pagi.

Patung Buddha raksasa di Wat Si Chum


Salah satu candi unik berhiaskan patung gajah di setiap sisinya

 
Wat Maha That tampak belakang

Pantulan candi di genangan air hujan

Rawa yang memberikan kesan damai sekaligus misterius

Liburan 4 hari 3 malam kami kali ini benar-benar menyenangkan seperti biasanya dan selalu ada hal menarik yang kami temui, diantaranya kompleks bandara Sukhothai yang begitu unik dan jus rumput padi yang sulit dijelaskan rasanya :). Penduduk sekitar dan pekerja-pekerja nan ramah yang kami temui pada saat berjalan-jalan keliling desa turut menyempurnakan suasana liburan kali ini.

phóp kan mài, Sukhothai!

Thursday, 7 November 2013

Sekilas Bang Pa-In Palace

Dalam perjalanan pulang dari liburan ke Sukhothai dua minggu lalu, kami memutuskan untuk mampir di istana musim panas kerajaan yang terletak di luar kota Bangkok, mungkin sekitar 1 jam perjalanan. Dari Bangkok, banyak agen perjalanan yang menawarkan ekskursi ke istana yang terletak di propinsi Ayutthaya ini.

Kami tiba disana sekitar 1 jam sebelum waktu berkunjung selesai, yaitu antara pukul 08.00 - 16.00. Setelah membayar tiket masuk seharga THB 100 per orang, kami bergegas menuju halaman istana yang hijau dan tertata apik. Sebenarnya ada penyewaan kendaraan seperti mobil golf elektrik untuk mengelilingi kompleks, tapi kami memilih untuk berjalan kaki. Sama halnya dengan peraturan mengunjungi tempat-tempat peribadatan maupun istana raja, pengunjung harus berpakaian sopan. Kebetulan sore itu saya mengenakan atasan tanpa lengan, jadilah harus menyewa kemeja kembang-kembang yang kebesaran dengan deposit THB 200. Maka, jangan heran kalau tidak akan ada satu foto diripun di Bang Pa-In ini, soalnya pakaiannya kurang asyik dilihat :D

Sejarah Bang Pa-In berawal dari abad ketujuh belas ketika Raja Prasat Thong (1629-1656) membangun sebuah istana di tepi sungai Chao Phraya ini. Sejarah mencatat ada satu bagian dari kompleks istana, yaitu Aisawan Thiphaya-art Royal Residence yang dibangun pada tahun 1632, bersamaan dengan kelahiran putra mahkota raja Narai (1656-1688). Setelah itu, tidak diketahui dengan pasti apakah istana ini masih digunakan sebagai tempat tinggal para raja sampai berakhirnya kejayaan Ayutthaya di tahun 1767 dan ibukota kerajaan dipindahkan ke Bangkok.

Pada masa pemerintahan raja Rama IV dari dinasti Chakri atau dikenal juga sebagai Raja Mongkut (1851-1868), istana ini direstorasi dan putra mahkota Raja Chulalongkorn (Rama V) membangunnya seperti yang tampak sekarang. Sampai kini, istana Bang Pa-In digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat menyelenggarakan resepsi kerajaan.

The royal residence on the left and Phra Thinang Aisawan Thiphya-art on the right with Tevaraj-Kanlai Gate at the background

Paviliun Aisawan Thiphya-art yang dibangun pada 1632


Patung Romawi yang menghiasi halaman istana

Menara pandang HO Withun Thasana yang dibangun pada 1881

Namanya juga istana, jadi meskipun hamparan rumput luas nan hijau begitu menggoda untuk diduduki, pengunjung tidak diperbolehkan duduk bahkan piknik disana. Kami berkunjung kesini karena kebetulan rute pulang melalui Bang Pa-In, kalau tidak, mungkin kami tidak akan menyengajakan diri menghabiskan waktu satu jam perjalanan untuk mencapai tempat ini. Dengan jarak yang hampir sama, saya pribadi lebih senang berkunjung lagi kesini.

Thursday, 17 October 2013

#World Heritage Sites: Ayutthaya Historical Park

Sebagai UNESCO World Heritage Sites traveler, tentunya tidak mungkin kami melewatkan kota Ayutthaya dalam daftar panjang destinasi jalan-jalan kami. Bersama suami dan mertua, saya berkunjung kesana bulan Maret tahun lalu.

Didirikan dengan nama Phra Nakhon Si Ayutthaya pada tahun 1350 oleh Raja King U-Thong, Ayutthaya merupakan ibukota kerajaan Siam (pada masa itu) sampai dengan tahun 1767. Pada masanya, Ayutthaya adalah salah satu kota termakmur di Asia dengan kuil-kuil dan istana-istana nan megah. UNESCO menetapkan Ayutthaya sebagai situs Warisan Dunia pada 13 Desember 1991. Dari sekian banyak reruntuhan/bangunan kuil yang tersebar di seluruh pelosok kota, berikut beberapa situs (Wat) yang kami kunjungi karena paling populer berdasarkan buku panduan National Geographic.

Wat Mahathat
Pernah melihat patung kepala Buddha yang dililit oleh akar pohon? Nah, disinilah tempatnya. Tiket masuk: THB 50.







Wat Phra Si Sanphet
Yang khas dari kompleks ini adalah tiga buah stupa berwarna putih abu-abu yang menjulang, ciri kediaman tradisional kerajaan Ayutthaya. Tiket masuk: THB 50

 


Wat Yai Chaya Mongkol (The Great Temple of Auspicious Victory)
Kompleks ini dikenal sebagai tempat meditasi dan pencerahan para rohaniwan Buddhis. Nama kuil ini diambil dari Chedi (stupa dalam agama Buddha) yang dibangun untuk memperingati kemenangan Raja Naresuan Agung terhadap invasi Burma pada tahun 1593. Disini bisa ditemui patung Buddha tidur berwarna putih berselimutkan kain kuning. Tiket masuk: THB 20.



Wat Panan Choeng
Kuil ini adalah sebuah biara tua dimana terdapat patung Buddha terbesar di seluruh Thailand yang dikenal dengan nama "Luang Po To", dibuat pada tahun 1324, dua puluh enam tahun sebelum Ayutthaya dijadikan ibukota Kerajaan Siam. Alkisah, kuil ini dibangun konon berawal dari kisah cinta antara seorang pangeran Siam dan seorang putri Cina di masa lalu. Saya tidak tahu kebenarannya karena tidak ada penjelasan lanjut tentang mitos ini. Tiket masuk: THB 20.


Di dinding kuil ini konon terdapat kurang lebih enam ribu patung Buddha
 Waktu kami kesana, kebetulan kami mengendarai mobil jadi bisa mengitari hampir seluruh kuil terkenal di Ayutthaya. Tapi seandainya tidak pakai mobilpun, ada penyewaan sepeda dan tuktuk yang siap mengantar pengunjung untuk temple-hopping. Selain itu, begitu datang, kami langsung berkeliling sendiri, hasilnya beberapa kali berputar-putar di daerah yang sama. Ketika sudah mau pulang, secara tidak sengaja melewati kantor pusat informasi di sebelah gedung Galeri Nasional dan di sana kami mendapat brosur serta penjelasan cukup lengkap dari staf mereka yang bisa berbahasa Inggris. Kalau saja tahu tempat ini dari awal kedatangan, mungkin kunjungan kuil akan lebih efektif dan terarah, tidak tersesat kemana-mana :(. Sayangnya, gedung Ayutthaya Tourism Centre yang juga menyatu dengan Galeri Nasional dan The Historical Hall of Ayutthaya ini tutup setiap hari Senin, yaitu ketika kami datang berkunjung, dan Selasa. Tidak banyak foto-foto yang saya ambil karena udara di bulan Maret yang sangat panas menusuk kulit membuat ibu hamil tujuh bulan ketika itu lebih memilih berteduh di bawah pohon.

Selain berkeliling dengan sepeda atau tuk-tuk pilihan lain adalah dengan menunggang gajah. Sebenarnya saya penasaran ingin naik, tapi takut jatuh dari ketinggian kalau gajahnya akan keberatan membawa beban gajah kecil, jadi niat itu dibatalkan.
Berkeliling Ayutthaya dengan menunggang gajah
Dari Benhil sampai Ayutthaya, bemo memang tidak ada matinya
Pemandangan yang menyejukkan di siang hari yang terik menyengat
Wat Phra Ram tampak dari luar yang dikelilingi kolam
 Idealnya, berkeliling di Ayutthaya memang paling pas kalau menyewa sepeda, tapi apa daya kondisi yang tidak memungkinkan, daripada bumil dehidrasi di bawah terik matahari 40 derajat, lebih baik duduk manis di dalam mobil dengan pendingin :).

Menurut orang-orang yang sudah pernah mengunjungi Ayutthaya dan Sukhothai, bekas ibukota kerajaan Siam yang terakhir jauh lebih bagus. Sampai saat ini saya masih puas dengan Ayutthaya, mungkin kalau suatu hari nanti berkesempatan mengunjungi Sukhothai, baru saya bisa membandingkan. Dari sisi jarak, Ayutthaya hanya berjarak dua jam perjalanan mobil dari Bangkok sementara ke Sukhothai membutuhkan waktu kurang lebih 5-6 jam. Jika berminat untuk mengunjungi Ayutthaya namun malas mengurus perjalanan sendiri, banyak biro perjalanan di Bangkok yang menawarkan paket ke Ayutthaya, tinggal pilih yang sesuai dengan keinginan.