Tuesday 23 August 2016

TravelXpose Edisi Agustus: Terpikat Keindahan Danau Inle

Danau Inle adalah tempat favorit saya di Myanmar. Entah kenapa, pesona Yangon dengan bangunan kolonialnya, Bagan dengan ribuan kuilnya, atau Mandalay dengan Mingun dan jembatan U-bein belum mampu mengalahkan rasa betah dan keindahan alam yang saya nikmati di Inle. Lebih jauh tentang Inle, semuanya ada di majalah TravelXpose edisi bulan ini :)






Tuesday 16 August 2016

Banana Bread Praktis dan Enak

Satu lagi resep gampang yang saya dapat dari blognya mbak Ike disini. Mbak Ike ini teman di Bangkok yang jago masak dan tidak pelit berbagi ilmu. Untungnya hampir semua keinginan saat ngidam waktu hamil pertama dulu bisa terpenuhi karena tangan terampilnya mbak Ike. Kembali ke resep, berhubung tadi siang menemukan tiga buah pisang yang kematangan, langsung terpikir untuk membuat Banana Bread.

Bahan:
230 gr terigu all purpose
3/4 cup gula pasir
1 sdt baking powder
1/4 sdt soda kue (saya pakai baking soda)
1/4 sdt garam
3 butir telur ukuran sedang, kocok lepas
113 gr margarin (saya pakai unsalted butter), lelehkan, dinginkan
400 gr pisang matang (saya pakai 3 buah pisang ukuran sedang), haluskan dengan garpu
1 sdt essence vanilla (saya tidak pakai)
1 sdm susu bubuk (saya tambahkan sendiri)


Cara membuat:
1. Panaskan oven 180 derajat. Siapkan loyang loaf, lapisi dengan kertas roti yang sudah diolesi mentega. Sisihkan.
2. Dalam wadah, campur terigu, baking powder, baking soda dan garam, gula pasir, aduk rata. Sisihkan.
3. Dalam wadah lain, campur pisang, telur, mentega leleh. Aduh rata.
4. Buat lubang di tengah adonan tepung, lalu masukkan adonan cair (no. 3) ke dalam campuran tepung dan aduk perlahan dengan spatula karet, aduk hanya sampai tercampur basah saja.
5. Tuang ke dalam loyang. Panggang dalam oven selama 50-60 menit dengan api atas bawah sampai matang dan kecoklatan. Lakukan tes tusuk.

Beberapa kali membuat banana bread, terbukti resep ini sangat praktis, cepat membuatnya, dan anti gagal. Sekali lagi terima kasih untuk mbak Ike yang sudah berbagi resepnya. Tertarik mencoba?

Tuesday 9 August 2016

The City Less Traveled: Sepotong Kenangan di Honiara

Pemandangan kota Honiara dari atas pesawat

Pusat kota Honiara
Honiara, ibu kota Solomon Islands pernah saya kunjungi saat kami masih bermukim di Vanuatu 5-6 tahun lalu. Cerita tentang Honiara juga pernah saya tulis disini.

Siapapun pasti akan berpendapat bahwa negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan adalah surga tropis yang eksotis sehingga kerap menjadi tujuan para wisatawan berkantung tebal untuk melewatkan liburan mereka. Namun tidak seperti ibukota negara-negara Pasifik Selatan pada umumnya, Honiara, ibukota Kepulauan Solomon, mempunyai wajah berbeda.

Udara panas menyengat langsung terasa begitu kami keluar dari Bandara Internasional Honiara, dan sempat membuat semangat saya menciut untuk mengeksplorasi kota ini. Terletak di pulau Guadalcanal, pusat kota Honiara terletak pada salah satu sisi ruas jalan utama, sedangkan sisi lainnya adalah pelabuhan dengan tipikal pemandangan kontainer-kontainer berukuran raksasa dan gersang. Mungkin karena pola pertumbuhan pusat kotanya pula, pusat kota Honiara kurang nyaman untuk dieksplorasi hanya dengan berjalan kaki, seperti halnya di kota-kota Pasifik Selatan yang lain.

Selepas konflik etnis yang terjadi antara masyarakat Guadalcanal dan Malaita pada tahun 1998, keamanan di Solomon Islands menjadi isu penting, sehingga membuat semua negara Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum merekomendasikan penugasan kesatuan militer RAMSI (Regional Assistance Mission for Solomon Islands) dengan personel yang didatangkan dari Australia sejak tahun 2003 sampai saat ini dengan Honiara sebagai basisnya.  Faktor keamanan ditambah dengan terbatasnya koneksi penerbangan internasional dari dan ke Honiara membuat Solomon Islands bagaikan intan yang belum terasah. Karena faktor keamanan itu pula, maka jangan heran jika di kota, kasir-kasir di semua toko berada di balik jeruji besi, mungkin pada saat konflik terjadi, toko-toko tersebut banyak yang diserbu dan dijarah. Hal lain yang saya rasakan berbeda, biasa ketika saya berkunjung ke satu tempat menguntit suami bertugas, pada saat jam kerja saya akan berkeliaran menjelajah kota sendirian, namun di Honiara, selain tidak disarankan, saya juga merasa lebih aman berada di rumah saja dan menunggu diantar jemput layaknya anak manja :p. Meski begitu, saya pernah sekali mencoba naik angkutan umum ketika pulang dari National Referral Hospital ke pusat kota. Lumayan deg-degan pada awalnya, tapi berbekal doa dan percaya diri, akhirnya dibawa santai dan tahu-tahu sudah sampai di tempat tujuan.

Solomon Islands mendapatkan namanya ketika ditemukan oleh penjelajah Spanyol Alvaro de Mendana pada tahun 1568. Mendana menemukan emas yang dipercaya sebagai milik Raja Solomon. Memiliki hampir seribu pulau yang tersebar antara Papua Nugini dan Vanuatu, masyarakat Solomon Islands menggunakan bahasa Inggris dan Pijin sebagai bahasa komunikasi sehari-hari dengan dialek yang berbeda-beda di setiap pulau. Bahasa Pijin sendiri berakar dari bahasa Inggris yang bercampur dengan pelafalan masyarakat setempat dan lazim digunakan oleh masyarakat di wilayah Pasifik Selatan.

Lantas, apa yang menarik dari Honiara? Hal menarik pertama yang saya perhatikan di kota ini adalah bahwa hampir semua orang, baik laki-laki maupun perempuan mengunyah buah sirih. Mengunyah sirih, menurut masyarakat setempat, dipercaya akan mengurangi rasa lapar selama seharian penuh. Karena kebiasaan “nasional” itulah, selalu terpasang peringatan dilarang mengunyah dan meludah di hampir semua tempat-tempat publik. Kios penjual buah sirih tersebar di hampir setiap ruas jalan, sehingga tidak heran apabila noda-noda merah bekas mengunyah sirihpun dapat ditemui di hampir semua jalan utama yang saya lalui.

Berikutnya, dan tidak saya ketahui sebelum datang ke Honiara, adalah fakta bahwa Solomon Islands menyimpan begitu banyak bukti sejarah dari sisa-sisa Perang Dunia II terutama bangkai kapal perang, kargo, dan tank, bahkan mungkin yang terbanyak di Pasifik Selatan. Pada masa Perang Dunia II, kekuatan Jepang mulai menancapkan kukunya di Solomon Islands, yang dianggap sebagai wilayah strategis untuk membangun kekuatan di wilayah Pasifik Selatan. Pasukan Sekutu dimotori Amerika Serikat  berusaha mengatasi ancaman itu dengan melancarkan serangan terhadap Jepang dalam perang yang dikenal sebagai Guadalcanal Campaign pada periode 1942 – 1943 yang berakhir dengan kekalahan di pihak Jepang. Kronologis lengkap tentang rangkaian pertempuran Guadalcanal terdokumentasi di U.S. War Memorial yang berlokasi di Skyline Ridge. Dari tempat ini, kita dapat menikmati pemandangan kota Honiara, dan apabila cuaca cerah, pulau Florida akan nampak di kejauhan. Di tempat lain sebelah timur kota, Japanese War Memorial juga didirikan untuk mengenang para serdadu Jepang yang tewas, namun kondisinya sama sekali berbeda. Monumen tersebut terletak di sebuah bukit dan tampak tidak terawat, bahkan plakat monumennya pun hilang entah kemana.

Masih tentang Perang Guadalcanal, sekitar 12 km dari pusat kota, terdapat pantai Bonegi 1, dimana bangkai kapal kargo milik Jepang Hirokawa Maru berada. Bagi saya yang gemar snorkeling dan bukan penyelam ulung, tempat ini sangatlah cocok. Terletak mulai dari tiga meter di bawah air sampai dengan kedalaman sekitar 50 meter, bangkai kapal kargo sepanjang kurang lebih 172 meter ini ditumbuhi karang beraneka warna yang indah dan menjadi habitat ikan-ikan laut nan cantik. Saya sudah cukup puas snorkeling disekeliling bangkai sementara beberapa orang penyelam yang saya temui pagi itu akan mengeksplorasi bagian dalam bangkai kapal. Untuk masuk ke pantai Bonegi 1, dikenakan biaya masuk yang biasa disebut custom fee sebesar SBD 25/orang untuk snorkeling. Mayoritas tanah di negara ini merupakan milik adat, karena itu siapapun yang memasuki wilayah kekuasaan adat haruslah meminta ijin atau membayar uang masuk.

Di pusat kota Honiara sendiri, ada Honiara Central Market yang cukup unik, mengingat pasar ini adalah pasar terpadat yang pernah saya kunjungi. Di pasar ini, saya menemukan mulai dari penjual sayuran dan buah-buahan lokal, ikan segar, pernak-pernik dan aksesoris khas setempat, pakaian, sampai makanan siap saji fish and chips. O ya, fish and chips versi Solomon Islands sedikit berbeda karena menggunakan ubi goreng sebagain pengganti kentang goreng dan disetiap penyajiannya selalu disisipi oleh satu batang daun bawang.

Meskipun pemerintah Solomon Islands mulai aktif mempromosikan negaranya sebagai tujuan wisata Honiara tampaknya belum mendapatkan porsi cukup. Sebagian besar wisatawan mengunjungi Honiara sebagai tempat persinggahan sebelum menuju pulau-pulau lain untuk menyelam. Padahal, dengan potensinya yang menyimpan banyak peninggalan dari Perang Dunia II, Honiara adalah museum sejarah yang menarik untuk dikunjungi.

Walaupun hanya seminggu saya disana, tapi Honiara meninggalkan kesan mendalam untuk saya. Mulai dari Lime Lounge, cafe tempat sarapan, makan siang, makan malam sekaligus minum kopi yang sangat populer di kalangan ekspatriat; Hakubai Japanese restaurant, satu-satunya restoran Jepang di Honiara yang berlokasi di Solomon Kitano Mendana Hotel, dimana saya mencicipi set meal terenak yang pernah saya makan (hm, mungkin juga karena saya belum pernah mencicipi makanan Jepang langsung di negaranya ya?); snorkeling di sekeliling bangkai kapal kargo dengan kedalaman 3-5 meter, biasanya 1-2 meter saja sudah lebih dari cukup untuk si penakut ini; Pertama kalinya mendatangi rumah sakit setempat yaitu National Referral Hospital dan ternyata saya saja yang bukan penduduk tidak dikenakan biaya apapun untuk pelayanan yang saya dapatkan, makanya tidak heran rumah sakit ini begitu padat; Dan, yang paling mendalam tentunya saat untuk kedua kalinya saya kehilangan calon bayi kami pada usia 8 minggu yang menjadi alasan saya datang ke rumah sakit setempat. Sampai saat ini, saya belum kangen kembali ke Honiara lagi, tapi suatu hari nanti, siapa tahu?

Pelangi di suatu sore di langit Honiara