Showing posts with label World Heritage Sites. Show all posts
Showing posts with label World Heritage Sites. Show all posts

Saturday, 24 June 2017

#World Heritage Sites: Historic Centre of Brugge

Pusat kota Bruges

Coklat, bir, dan kentang goreng atau lazim disebut French fries langsung terlintas dalam benak begitu mendengar nama Belgia. Tapi bukan itu alasan kami tertarik mendatangi negeri coklat ini, melainkan sebuah kota cantik yang dikelilingi kanal bernama Bruges, yang juga dikenal sebagai Venice of the North.

Bruges, Dulu dan Sekarang
Bruges dalam bahasa Inggris dan Perancis atau Brugge dalam bahasa Belanda adalah kota kanal yang terletak di sebelah barat daya Belgia, ibukota wilayah sekaligus kota terbesar di West Flanders. Bahasa yang digunakan di kota ini adalah Flemish, Belanda, dan Perancis. Dulunya, sekitar abad pertengahan, Bruges merupakan kota pelabuhan dan aktivitas perdagangan yang sibuk di Eropa, khususnya perdagangan tekstil. Layaknya kota perdagangan, kanal-kanal yang mengaliri kota ramai dilalui kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal penumpang bagi penduduk setempat. Pada masa kejayaannya di abad kelimabelas, Bruges dikenal sebagai gudangnya pemintal dan penenun terbaik dunia. Menginjak abad ketujuhbelas, kain pintal dan tenun mulai tergantikan kerajinan tangan berbahan dasar renda atau lace yang populer sebagai cinderamata khas Bruges hingga saat ini.

Kota Bruges diperkirakan telah ada sejak abad ketujuh, namun abad ketigabelas hingga empatbelas adalah periode keemasan Bruges sebagai kota pelabuhan internasional sekaligus pusat komersial utama di wilayah barat laut Eropa. Sempat menjadi daerah pendudukan Perancis selama 20 tahun, kemilau Bruges perlahan memudar hingga puncaknya menjadi salah satu kota termiskin di Eropa pada abad kesembilanbelas. Meski begitu, kekayaan budaya dan sejarah yang terdapat di Bruges tetap terjaga baik selama berabad-abad, menjadikan pusat historis kota Bruges terpilih sebagai situs warisan budaya dunia UNESCO pada tahun 2000.

Sekarang, dengan popularitasnya, Bruges menjadi kota tujuan untuk day-trip, khususnya pada akhir pekan dan hari libur. Tidak disangkal, Bruges memang dipadati turis. Walaupun begitu, keelokan kota ini tetap dapat saya nikmati saat menyusuri jalan-jalan berbatu khas abad pertengahan diapit bangunan-bangunannya yang fotogenik. Deretan toko coklat dengan aneka bentuk yang unik, toko kerajinan lace yang sedap dipandang mata meski harganya relatif mahal, hingga toko-toko cinderamata yang etalasenya saja begitu menggemaskan, mengukuhkan pesona Bruges sebagai kota tujuan wisatawan.

Deretan bangunan berwarna-warni ikonik dengan fasad segitiga berundak tampak menonjol dan segera mencuri perhatian saya begitu kami berada di Market Square. Dikelilingi bangunan tua berwarna-warni yang dulunya merupakan tempat tinggal para pedagang kaya di satu sisi, Provincial Court di sisi lain, di Market Square juga terdapat Bruges Beer Museum.  Sebagai kota turis, bisa dibayangkan bagaimana situasi Bruges di akhir pekan dan di hari libur.

Dari Perayaan Hari Nasional hingga Pencuri Cantik
Kami datang di pertengahan minggu, namun hari itu bertepatan dengan perayaan hari nasional Belgia yang jatuh pada 21 Juli, sehingga Bruges terbilang ramai. Berkesempatan menyaksikan upacara penghormatan kepada para veteran perang di Burg Square, kami bergabung dalam kerumunan pengunjung di depan balai kota Bruges, sebelum melangkahkan kaki ke Huidenvettersplein, salah satu dari empat tempat perhentian kapal yang membawa wisatawan menyusuri kanal-kanal di Bruges.

Setiap perjalanan selalu menorehkan kisah tersendiri yang berbeda untuk setiap orang, entah itu kisah lucu, sedih, mengharukan atau bahkan mengesalkan. Tidak pernah terbayangkan jika di kota inilah saya nyaris kecopetan untuk pertama kalinya. Awalnya, ketika kami sedang mengantri membeli tiket, sekilas saya sempat memperhatikan dua orang wanita muda berpakaian kasual dan berparas cantik yang salah satunya sedang hamil besar berdiri tidak jauh dari antrian. Entah kenapa, dari sekian banyaknya turis yang lalu lalang pagi itu, ingatan saya tentang dua perempuan muda tersebut cukup melekat, sampai akhirnya kami dipersilakan naik ke atas kapal dan tur selama 30 menit itupun dimulai. Lama setelah tur selesai, kami berkeliling kota, menyusuri trotoar sambil sesekali berhenti mendaratkan pandangan di etalase toko-toko coklat yang terlalu menarik untuk diabaikan. Tiba-tiba, saya merasa ada gerakan pada tas punggung dan seketika menoleh ke sumber gerakan. Benar saja, resleting tas punggung saya sudah setengah terbuka dan pada saat bersamaan memergoki salah satu dari perempuan muda yang sebelumnya saya lihat di dekat antrian kapal berdiri tepat di belakang saya segera menghentikan aksinya. Dengan wajah tanpa dosa, perempuan hamil yang satunya lagi sigap menyapa akrab teman di samping saya sambil menunjuk salah satu coklat berbentuk tak lazim di etalase toko, kemudian mendahului kami dan dengan cepat menghilang, mungkin mencari mangsa lain. Untungnya tidak ada barang yang sempat berpindah tangan, namun pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bahwa tangan jahil itu tidak memandang tempat dan tidak mempunyai stereotip. Siapa yang mengira jika di Bruges, tangan jahil tersebut berwujud dua perempuan muda cantik jelita dan salah satunya sedang hamil besar?

Urusan dengan tangan jahil ini tentunya tidak lantas membuat kami kehilangan semangat mengeksplorasi kota yang konon disebut-sebut sebagai salah satu kota dengan rupa bak negeri dongeng di Eropa ini. Panorama kota Bruges terlalu cantik untuk diabaikan dalam perjalanan singkat kami.

Yang Menarik untuk Dikunjungi di Bruges
Namun, kunjungan ke Bruges tidaklah sahih tanpa mendatangi langsung tengaran-tengaran penting dari berabad-abad lalu. Perhentian pertama tentunya adalah Market Square, dimana terdapat bangunan ikonik Bruges, yaitu deretan rumah pedagang di masa lalu dengan fasad segitiga berundak berwarna-warni yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kedai kopi atau restoran. Waktu makan siang masih beberapa jam lagi, namun di sudut meja salah satu kedai, tampak satu keluarga dengan anak-anak yang masing-masing sedang menikmati sepiring besar wafel yang tampak lezat. Jangan lewatkan Bruges tanpa mencoba moules frites atau remis yang dimasak dengan bawang bombay, jahe, persil, disajikan bersama kentang goreng dan ditutup dengan wafel dengan aneka topping buah-buahan segar seperti pisang, stroberi, atau kiwi dan krim atau es krim, hmmm…dijamin perut akan puas dan bahagia! Usai urusan kuliner, bangunan historis di sekeliling Market Square seperti Provincial Court yang kokoh dan menara Belfry yang menjulang serta Bruges Beer Museum sudah menunggu untuk disambangi. Walaupun kebanyakan turis memilih berjalan kaki di Bruges, pilihan lain yang menarik tapi harus merogoh kantong lebih dalam adalah menumpang kereta kuda nan gagah dari Market Square seharga 50 Euro untuk 30 menit berkeliling pusat kota historis, dikusiri pemandu profesional.

Ke arah timur dari Market Square, terdapat Burg Square dimana City Hall atau Balaikota Bruges berada. Hanya ada dua kesempatan untuk memasuki Balaikota, yaitu bila akan menikah atau jika kita diundang teman/kerabat yang menikah disana. Jadi kalau ingin masuk ke dalam gedung bersejarah tersebut, tinggal pilih momen mana yang paling cocok untuk Anda.

Sedikit menjauh dari pusat historis ke arah selatan, berlokasi tepat di tepi kanal Minnewater, terdapat kompleks bangunan didominasi warna putih dinaungi pohon besar yang rindang dan rumput hijau. Suasana syahdu terasa seketika begitu saya menginjakkan kaki di halamannya. Itulah Béguinage atau Begijnhof yang merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bekerja para penghuninya. Berbeda dengan biara, penghuni Béguinage bukanlah biarawati melainkan wanita biasa yang semata ingin mengabdikan dirinya untuk Tuhan.

Sebagai kota seni, Bruges juga mempunyai banyak museum terkemuka, seperti Groeninge Museum, tempat dipamerkannya karya pelukis besar Belgia Hans Memling dan Jan van Eyck. Sedangkan penggemar batu berharga berlian bisa mengayunkan langkah ke Diamond Museum, yang terletak tidak jauh dari Begijnhof. Tidak lupa, coklat dan kentang goreng yang merupakan ciri khas negara Belgia juga mempunyai museumnya masing-masing, yakni Choco-story atau Chocolate Museum dan Friet Museum, dimana pengunjung dapat mengetahui sejarah asal-muasal coklat maupun kentang goreng sekaligus mencicipinya disana. Untuk pelancong keluarga dengan anak-anak, kunjungan ke dua museum ini tentunya akan sangat menyenangkan seluruh anggota keluarga.

Penikmat sejarah, budaya, dan arsitektur dijamin betah berada di kota indah ini. Selain tengaran seperti balai kota atau gedung-gedung pemerintahan, interior bangunan peribadatan di Bruges juga sangat menarik. Mulai dari Jeruzalemkerk atau kapel yang didirikan pada abad kelimabelas oleh seorang pedagang kaya yang baru kembali berziarah dari Jerusalem, biara Carmelites, kapel Orthodoks, hingga biara untuk pastor Jesuit.

Salah satu yang wajib dilakukan pelancong ketika berada di Bruges adalah mengikuti tur melalui kanal-kanal dengan menumpang kapal berkapasitas kurang lebih 25 orang. Dengan tiket seharga 8 Euro per orang, kami bergabung dengan calon penumpang lain, siap menikmati panorama Bruges dari kanal. Perjalanan selama 30 menit ini nyaris tidak terasa, apalagi banyak bangunan sepanjang kanal yang teramat menarik. Sekawanan angsa dan bebek yang berpapasan dengan kapal kami menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Selain mengikuti tur keliling kanal, menumpang kereta kuda, atau menyewa sepeda, Bruges sangat nyaman dijelajahi dengan berjalan kaki. Pusat kota Bruges cukup kecil untuk dinikmati sambil mengayunkan langkah, bahkan bagi mereka yang tidak gemar menjelajahi kota dengan berjalan sekalipun.

Yummmyyyy!!!
  

Kerajinan lace khas Bruges

Cantiknya kota Bruges
 











Bruges hanya berjarak 1 jam perjalanan dengan kereta dari Gare du Midi di Brussels, 1,5 jam dari Antwerpen, dan hanya 30 menit berkereta dari Gent.Sementara dengan kota-kota besar lainnya di Eropa, Bruges dapat dicapai dari Lille, kota terdekat di Perancis selama 1 jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Dari stasiun Paris-Nord, Bruges berjarak 2,5 jam perjalanan kereta, sedangkan dengan kota-kota lain seperti London dan Dover di Inggris, Amsterdam di Belanda, dan Koln di Jerman, Bruges berjarak 1,5 – 4 jam perjalanan dengan moda transportasi kereta ataupun kapal feri. Sebagai kota turis, tipe akomodasi di Bruges cukup bervariasi yang dapat dipilih sesuai anggaran, dengan pilihan terbanyak berupa hotel dan chambre d’hôtes atau kamar yang disewakan di rumah penduduk. Pilihan kedua lebih menarik dari sisi pengalaman karena selain bisa berinteraksi dengan tuan rumah, tamu dapat menikmati hidangan seperti layaknya di rumah. Berkeliling Bruges paling seru dilakukan dengan mengendarai sepeda yang banyak terdapat di sudut kota. Yang pasti, jangan lewatkan Bruges kalau suatu hari berkunjung ke Belgia. It is definitely worth a visit!


Monday, 25 April 2016

#World Heritages Sites: My Son Sanctuary, Vietnam

Sekitar 55 kilometer dari kota Hoi An, sekitar satu jam perjalanan, terdapat Situs Warisan Dunia UNESCO lainnya, yaitu My Son (dibaca: mi son) Sanctuary. Yang menarik, situs ini merupakan peninggalan kerajaan Champa yang berasal dari tanah Jawa. Banyak hotel menawarkan paket wisata sehari seharga USD 10 per orang, termasuk transportasi bis pulang pergi dan tiket masuk situs My Son. Demi memberikan pengalaman berbeda untuk anak-anak, kami memutuskan membayar ekstra USD 5 per orang untuk kembali ke Hoi An dengan menumpang kapal.

Nguyen, pemandu rombongan kami menjelaskan bahwa situs peninggalan kerajaan Cham pada abad ke empat belas ini mengandung banyak misteri yang belum terpecahkan. Diresmikan menjadi Situs Warisan Budaya Dunia pada 1999, My Son Sanctuary merupakan reruntuhan kompleks candi pemujaan umat Hindu Tao yang dibangun bangsa Champa dari abad 4 - 13. Meski nama Champa ini pernah dibahas dalam mata pelajaran Sejarah di bangku sekolah, tetap saja saya terkagum-kagum ketika tahu bangsa Champa itu berasal dari Jawa Tengah, Indonesia yang datang untuk melakukan perdagangan dengan bangsa Vietnam. Sekarang, diperkirakan ada sekitar 100,000 orang keturunan Champa yang bertempat tinggal di delta Mekong di sebelah selatan Vietnam.

Kompleks candi ini dikelilingi perbukitan lebat dan tidak diketahui keberadaannya sampai tahun 1885, ketika Henri Parmentier, seorang arkeolog Perancis, menemukan situs My Son. Ada 71 bangunan candi yang berhasil diidentifikasi dan bangunan dengan kondisi yang relatif masih baik berada di grup B, C, dan D, tidak sepenuhnya hancur saat dibom oleh tentara Amerika pada 1969.

Meski seringkali dibandingkan dengan situs-situs lain yang jauh lebih besar seperti Angkor Wat, Borobudur, Bagan, atau Ayutthaya, My Son mempunyai nilai historisnya sendiri karena merupakan salah satu bukti peradaban Asia yang telah punah.


Dua lubang bekas ranjau saat perang

Reruntuhan candi dengan penyangga disana-sini










Bayangkan dulunya candi ini terkubur di tengah hutan belantara





Tuesday, 29 March 2016

Menyusuri Sejarah Siam di Sukhothai

Setelah lama absen, alhamdulillah akhirnya saya bisa kembali menulis catatan perjalanan lagi. Kali ini, redaksi majalah TravelXpose yang berbaik hati memberikan kesempatan bagi tulisan saya dimuat di edisi Maret 2016.






Terima kasih pada editor majalah yang sudah mengedit tulisan saya plus melengkapinya dengan foto-foto yang baguuss :).

Thursday, 3 March 2016

#World Heritage Sites: Central Sector of the Imperial Citadel of Thang Long - Hanoi

Doan Gate

Terletak di pusat kota Hanoi, The Central Sector of the Imperial Citadel of Thang Long - Hanoi merupakan ibukota Dai Viet antara abad ke-11 hingga abad ke-18, pusat Forbidden City dan Imperial Citadel of Thang Long yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja para raja dan keluarga kerajaan selama masa kekuasaan lima dinasti. 

Pertama kali kami datang, rencana mengunjungi tempat ini gagal waktu menjelang pukul 11.30. Ternyata jam buka situs ini dari jam 08.30 - 11.30 dan jam 14.00 - 17.00 setiap harinya. Daripada harus kembali lagi pukul 14.00, kami memilih pergi ke tempat lain dan kembali keesokan hari. Besok paginya, dengan tiket masuk VND 30,000/orang dan gratis untuk anak-anak di bawah 15 tahun, kami memulai perjalanan dari Doan Gate yang megah. 

Situs Arkeologis 18 Hoang Dieu dari abad ke-7

Menurut sumber ini, sebagai pusat kekuasaan politik regional selama hampir 13 abad berturut-turut, bangunan dalam kompleks Citadel dan sisa-sisa reruntuhan di Situs Arkeologis 18 Hoang Dieu mewakili budaya Asia Tenggara yang unik, khususnya di lembah Sungai Merah, persimpangan antara pengaruh Cina dari utara dan Kerajaan Champa kuno dari selatan. Diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO pada 2010, tempat ini tentunya masuk dalam daftar kunjungan kami ke Vietnam :). 
 
Bonsai yang dibuat dengan miniatur kompleks kuil
 

    

Another WHS: checked!

Saturday, 30 January 2016

#World Heritage Sites: Complex of Hué Monuments

Bagian depan Citadel Hue
Pesawat Vietnam Airlines yang membawa kami melintasi jarak sejauh 573 kilometer dari Hanoi dalam waktu 1 jam 10 menit mendarat mulus di Hue sesaat sebelum malam tiba setelah mengalami penundaan selama hampir dua jam. Pernah menjadi pusat pemerintahan dan pusat budaya 13 raja dari dinasti Nguyen selama kurun waktu 1802 - 1945, Hue menjadi saksi bertahtanya dinasti feodal terakhir di Vietnam. Berada di bagian tengah Vietnam, The Complex of Hue Monuments terdiri dari Citadel yang melingkupi Hoang Thanh (Imperial City) dan Tu Cam Thanh (Forbidden Purple City) serta beberapa monumen penting lainnya. 


Monumen-monumen penting yang layak dikunjungi dalam kompleks ini terletak di hulu sungai Perfume (penasaran mengapa sungai ini dinamai Perfume River), diantaranya Thien Mu Pagoda dan tiga mausoleum kaisar-kaisar Vietnam, yaitu Tu Duc Tomb, Minh Mang Tomb, dan Khai Dinh Tomb. Diresmikan sebagai situs Warisan Budaya Dunia UNESCO pada 1993, The Complex of Hue Monuments  merupakan gabungan keindahan alam dan karya arsitektur serta seni budaya Vietnam. Tiket masuk bisa dibeli dalam bentuk paket seharga VND 360,000 untuk kelima tempat tersebut atau dibeli per tempat seharga VND 150,000 untuk Imperial City, dan VND 100,000 untuk masing-masing makam (Tomb).

Satu hari kami lewatkan di kawasan Citadel yang luas. Sebenarnya ada kendaraan elektrik yang bisa disewa guna berkeliling kawasan, hanya saja kami memilih berjalan santai dibawah teduhnya pepohonan untuk menjelajahi kawasan ini. Sedangkan, esoknya kami gunakan untuk mengunjungi salah satu makam, yaitu Khai Dinh Tomb dalam perjalanan menuju Hoi An. Berada di ketinggian, makam dan sekaligus istana kaisar Khai Dinh, kaisar terakhir Vietnam, dapat dicapai setelah meniti kurang lebih 127 anak tangga. Di kedua sisi gerbang masuk menuju makam terdapat duabelas patung penjaga dari batu yang berdiri berbaris dalam posisi takzim.



Sayang, kami tidak mempunyai cukup waktu untuk mengunjungi semua monumen bersejarah di Hue, namun melihat langsung Citadel dan salah satu makam kaisar Vietnam cukup memberikan sedikit gambaran tentang masa jaya kekaisaran Vietnam di masa lalu.



















Sebagian anak tangga menuju makam kaisar Khai Dinh

Patung penjaga di kedua sisi pintu masuk makam




Singgasana kaisar

Kaisar Khai Dinh