Tuesday 12 December 2006

Jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan

Acara akhir pekan saya di minggu ini adalah berkunjung ke kebun binatang. Bersama 2 orang sahabat saya, kami berencana untuk berjalan-jalan ke kebun binatang Ragunan, yang terletak di sebelah selatan kota Jakarta. Target utama kami adalah mengunjungi pusat primata Schmutzer, tempat dimana berbagai primata seperti makakak, orang utan, wau-wau, dan gorilla dapat dilihat dari dekat.

Kami berangkat pukul 10.15 pagi dan setelah kurang lebih selama 30 menit menghabiskan waktu di perjalanan, tibalah kami di kawasan Taman Margasatwa Ragunan. Kawasan ini, berbeda dengan kawasan lain di kota Jakarta, teduh, dan di sepanjang jalan masih terdapat banyak pohon rindang serta tanaman hias. Pohon-pohon palem berjejer disepanjang pembatas jalan menuju ke kebun binatang.

Setibanya di kebun binatang, yang letaknya berdekatan dengan terminal metro mini, dengan tiket masuk seharga lima ribu rupiah per orang, kami masuk melalui pintu gerbang utara, mengambil jalan ke kiri untuk melihat sekelompok burung pelikan bermain di kolam. Kemudian kami melanjutkan perjalanan untuk melihat gajah. Dua ekor gajah Sumatra jantan dan betina berada di tengah-tengah kandang berjalan kesana kemari. Beberapa pengunjung tampak antusias memanggil gajah-gajah tersebut agar membuka mulutnya dan kemudian melemparkan kacang ke mulut mereka.

Perjalanan dilanjutkan untuk melihat Binturong Jawa. Ada beberapa jenis binturong, yaitu Binturong Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Namun Binturong Jawalah yang paling menarik perhatian kami. Pada saat kami datang, Binturong tersebut sedang tidur siang di atas batang pohon. Beberapa saat mengamati, tiba-tiba dia terbangun, memandang kami yang sedang mengamati dengan gemas. Tak disangka-sangka, dia mengubah posisi dengan kepala berada di bawah, kemudian dia meneruskan tidurnya tanpa peduli dengan kehadiran kami. Tak lama kemudian, matanya membuka sedikit, tingkahnya persis seperti anak kecil yang masih mengantuk pada saat baru bangun tidur siang, lucu sekali!

Kandang  selanjutnya yang kami tuju adalah kandang orang utan. Ada satu orang utan dewasa yang tinggal disitu, sedang duduk melamun sambil bertopang dagu, sepertinya ada hal sulit yang dia pikirkan. Tak jauh dari kandang tersebut, ada rumah seorang wanita bernama Ulrike von Mengden yang halamannya dipenuhi dengan kandang orang utan dan burung-burung. Sedianya hari ini kami akan berkunjung ke rumah Nyonya Mengden, namun teman yang akan membawa kami kesana tidak dapat bergabung. Mungkin pada kunjungan berikutnya, kami akan mendapat kesempatan untuk berkunjung ke rumah tersebut. Rumah itu terletak di tengah-tengah area kebun binatang, dan menurut cerita teman saya, Nyonya Mengden tinggal disitu berdua saja bersama seorang pembantunya untuk mengurus “anak-anak” peliharaannya.

Tujuan berikutnya adalah melihat beruang. Satu hal yang menjadi pikiran saya, kacang tampaknya menjadi makanan hampir semua binatang disini. Bahkan beruangpun makan kacang cap Garuda! Perjalanan dilanjutkan untuk melihat komodo, singa yang sedang terkantuk-kantuk di bawah pohon dan harimau.


Di kandang komodo, ada beberapa komodo kecil yang bersembunyi di gorong-gorong buatan. Mereka diam bertumpuk satu sama lain seperti patung, tak bergerak sedikitpun. Mengagumkan sekali dapat melihat binatang purba ini dari dekat, walaupun bukan di habitat aslinya. Dalam hati saya berangan-angan untuk merencanakan perjalanan suatu hari nanti ke habitat asli hewan purba ini, di Taman Nasional Komodo.


Sebelum menuju kandang harimau, kami sempat beristirahat sejenak sambil menikmati makan siang yang terdiri dari pecel dan asinan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke kandang harimau dan melihat tiga ekor harimau yang gagah sedang bermain di rumput, dan dua ekor diantaranya sedang bertengkar memperebutkan tikus yang mereka temukan. Rute selanjutnya melewati kandang orang utan yang sedang bersantai. Salah satu dari orang utan itu rupanya sedang kepanasan. Ia sedang berbaring di atas rumput ketika kami datang, melirik ke arah pengunjung sekilas dan kemudian segera berganti pose bersantai. Tingkah laku orang utan ini benar-benar menyerupai manusia. Perjalanan dilanjutkan untuk melihat wau-wau dan beberapa jenis primata lain yang tampak tertekan (kami perhatikan bahwa ekspresi yang sama juga terlihat dari binatang-binatang lain yang terkurung dalam kandang sempit dan tidak nyaman). Tujuan berikutnya adalah reptil, dimana kami melihat buaya yang sedang membuka mulutnya (untuk mengurangi penguapan), ular sanca kembang yang besar, ular sanca coklat dan mangsanya, iguana, serta ular sanca putih albino yang sedang berganti kulit. Perjalanan dilanjutkan ke bagian ikan air tawar untuk melihat ikan belida, ikan tawes, ikan hantu, dan ikan piranha.

Setelah berjalan cukup jauh mengelilingi sebagian area kebun binatang, kami tak juga menemukan pusat primata yang menjadi tujuan utama kunjungan ke sini. Kami berjalan memutar menuju pintu keluar, dan kali ini mengambil rute ke arah kanan menuju area hutan wisata yang tampak sepi pengunjung. Acara jalan-jalan hari ini lumayan melelahkan, mungkin apabila dihitung-hitung, jarak perjalanan kami sudah berkilo-kilo meter jauhnya. Setelah beristirahat sebentar di pintu gerbang hutan wisata, kami bertanya pada salah seorang petugas yang kebetulan melintas tentang lokasi pusat primata yang dimaksud. Olala, ternyata tempatnya masih jauh!!! Ada satu hal yang saya perhatikan disini. Penunjuk jalan di area kebun binatang ini kurang jelas sehingga membingungkan pengunjung baru, seperti kami. Setelah melewati kandang jerapah, dan beristirahat sebentar untuk menikmati es kelapa yang segar, kami melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Sekitar 10 menit berjalan, terlihat patung gorilla dari kejauhan, dan tampaklah bangunan megah dengan tulisan “Pusat Primata Schmutzer” di muka kubahnya. Ini dia, tempat yang kami cari sejak tadi!!!!

Dengan tiket seharga tiga ribu rupiah per orang, kami masuk ke lokasi. Pintu masuknya terletak di atas, dan tepat di ujung anak tangga teratas, ada sebuah keran air minum. Perlu diketahui bahwa pengunjung tidak diperbolehkan untuk membawa makanan dan minuman ke dalam. Karena itu keran air minum untuk pengunjung yang kehausan tersedia di beberapa tempat. Kami bertiga sibuk berfoto sambil minum dari keran tersebut. Soalnya, kapan lagi bisa menemukan keran air minum di Jakarta, kalau bukan di Schmutzer? Pemandangan pertama yang kami lihat adalah gorilla yang sedang berbaring di rumput. Dari canopy bridge ini pengunjung dapat melihat gorilla yang sedang bermain, bermalas-malasan, atau sedang makan. Adapun jadwal gorilla makan adalah pukul 9 pagi, pukul 12 siang, dan pukul 3 sore. Kami berjalan-jalan mengitari area taman yang cukup luas, dan mengamati berbagai macam primata yang lucu-lucu dan menggemaskan. Beberapa saat berkeliling, kami melihat siamang yang sedang bergelantungan di pohon, owa, wau-wau, orang utan, makakak, dan terakhir, si “Mimin”, sejenis monyet daun (mitred leaf monkey) yang cantik. Pusat primata ini dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai habitat aslinya. Sebagian binatang ditempatkan dalam kandang yang dibuat mirip hutan, dan di beberapa tempat binatang-binatang itu hidup di luar kandang. Kami meneruskan perjalanan untuk bertualang ke dalam terowongan yang membawa kami masuk ke dunia orang utan. Terowongan itu dibangun dengan kaca disisi kiri dan kanan yang dilapisi dengan kaca film gelap. Ini bertujuan agar binatang-binatang tersebut tidak terganggu dengan kehadiran pengunjung namun pengunjung tetap dapat mengamati tingkah polah mereka. Desain terowongan yang menarik, dengan akar-akar pohon dan tanaman yang merambat dimana-mana, ditambah lantai tembus pandang yang terbuat dari acryllic di beberapa bagian menjadikan “petualangan masuk hutan” ini semakin seru.





Tak terasa, hampir 5 jam kami berada di kebun binatang ini. Acara diakhiri dengan mengunjungi museum primata yang terletak di sebelah kanan bawah canopy bridge. Penjelasan mengenai asal-usul primata dapat ditemui di museum ini, selain foto pendiri Schmutzer, Nyonya Pauline Schmutzer, bersama beberapa ekor orang utan yang lucu. Lelah memang, tapi hari ini benar-benar menyenangkan. Kami berencana untuk berkunjung lagi ke sini lain waktu agar puas berkeliling. Pusat primata Schmutzer yang diresmikan pada tahun 2002 ini dibuka setiap hari dari pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore.

Sampai bertemu kembali di kunjungan ke Kebun Binatang Ragunan berikutnya!!!

Tips berkunjung ke kebun binatang:

1.      Siapkan sunblock, payung kecil, kipas, topi, body cologne, makanan kecil dan botol minum.
2.      Jangan lupa membawa kamera dengan baterai terisi penuh beserta satu baterai cadangan dan memory card dengan kapasitas cukup besar.
3.      Usahakan berkunjung ke kebun binatang pada pagi hari. Selain udaranya masih segar, kita dapat berjalan-jalan dengan santai tanpa harus merasa kepanasan.
4.      Gunakan pakaian santai yang menyerap keringat dan sepatu kets yang nyaman karena Anda akan banyak berjalan kaki di area kebun binatang.
5.      Sediakan buku kecil untuk mencatat hal-hal yang penting, apabila diperlukan.
6.      Pastikan semua barang yang akan dibawa pada saat berkunjung ke kebun binatang sudah disiapkan pada malam sebelumnya.  
7.      Buanglah sampah makanan/minuman pada tempat yang disediakan dan jangan mengotori lingkungan.
8.   Selamat berwisata!!!

Monday 4 December 2006

Berakhir Pekan di Ujung Genteng



Berawal dari rencana berlibur ke sebuah pulau kecil di ujung selatan pulau Sumatra yang dibatalkan pada saat-saat terakhir, ide untuk berwisata ke Ujung Genteng tiba-tiba terlintas sebagai gantinya. Berkat bantuan teman-teman saya yang bersusah payah mengatur rencana dan mengumpulkan informasi tentang perjalanan ke sana, pengalaman mengesankan tentang Ujung Genteng ini dapat saya tulis J.

Mengapa Ujung Genteng?
Beberapa minggu sebelumnya saya mendapat email dari seorang teman tentang acara wisata yang diadakan oleh kelompok wisatawan “backpacker” ke suatu daerah bernama Ujung Genteng. Walaupun namanya masih asing di telinga, namun agenda perjalanannya sangat menarik, diantaranya berjalan-jalan ke pantai, mengunjungi air terjun, dan melihat penyu bertelur!!!! Sayangnya, begitu saya menghubungi penyelenggara kegiatan, pendaftaran peserta sudah ditutup L, padahal saya sudah terlanjur mengajak teman-teman kantor untuk ikut serta. Wisata ke Ujung Genteng mungkin akan diadakan sekitar 2 bulan lagi, itu yang dikatakan oleh penyelenggara acara. Walaupun sedikit kecewa, namun sempat terlintas ide untuk mengatur sendiri perjalanan ke Ujung Genteng dalam waktu dekat bersama teman-teman kantor, meskipun sejujurnya, tidak ada bayangan sedikitpun tentang tempat yang akan dituju.  Singkat cerita, Ujung Genteng sudah terdaftar dalam benak saya sebagai tujuan liburan suatu hari nanti, entah kapan.


 Dua hari sebelum rencana keberangkatan, sahabat saya yang mengatur rencana perjalanan bersama seorang teman menjadwalkan keberangkatan dari Jakarta pada hari Jum’at pagi. Kami berempat berangkat dari Jakarta menuju Ujung Genteng, yang terletak di sebelah selatan kota Sukabumi, tepat di ujung, sekitar 500 km dari Jakarta. dengan menggunakan kendaraan Toyota Avanza pada pukul 10.30 pagi. Perjalanan Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cibadak – Jampang Kulon – Pelabuhan  Ratu - Surade – Ujung Genteng kami tempuh dalam waktu 9,5 jam. Normalnya perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu 6 jam, namun kami seringkali berhenti di beberapa tempat untuk melihat pemandangan alam yang fantastis, diantaranya adalah semburat pelangi yang besar dan sangat indah di sepanjang perjalanan antara Jampang Kulon dan Surade serta pemandangan sawah hijau dengan latar belakang laut selatan Pelabuhan Ratu yang berkilau tertimpa cahaya matahari sore.

Perjalanan kali ini cukup nekat karena kami hanya mengandalkan selembar peta dan informasi tentang penginapan yang ada di sekitar daerah tersebut.  Pada pukul 19.30, akhirnya kami tiba di Ujung Genteng. Setelah bertanya pada penduduk sekitar mengenai lokasi penginapan terdekat, kami melanjutkan perjalanan. Di luar dugaan, kondisi jalan menuju penginapan berbatu-batu, sempit dan gelap dengan sisi kiri kanan jalan dipenuhi ilalang dan tumbuhan liar. Perjalanan mencari penginapan ini serasa tak berakhir karena kami tak kunjung menemukan ujung jalan yang sepi dan gelap ini. Sayup-sayup terdengar suara ombak dan ternyata di sebelah kanan jalan yang kami lalui adalah pantai Ujung Genteng. Sampai akhirnya, dari kejauhan terdengar suara ramai orang-orang dan cahaya lampu yang berasal dari kendaraan – kendaraan yang lalu lalang di sekitar penginapan “Pondok Hexa”.

Tak disangka, pada saat yang sama, rombongan Bupati Sukabumi sedang berkunjung ke Ujung Genteng. Tidak heran, kami kesulitan mencari penginapan karena hampir semua penginapan yang ada dalam daftar kami sudah penuh disewa oleh rombongan bapak Bupati. Setelah berputar-putar melihat penginapan lainnya,  kami memutuskan untuk menyewa losmen kecil yang letaknya tak jauh dari Pondok Hexa.  Dengan harga dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk dua malam, kondisi losmen “Deddy” yang berdinding bilik dengan dua kamar dan satu kamar mandi itu tidak begitu buruk. Setelah menemukan penginapan, tujuan selanjutnya adalah mencari tempat makan. Mobil bergerak meninggalkan penginapan, menyusuri kembali jalan sempit yang gelap. Jalan yang kami lalui mengingatkan saya pada medan balap motor trail karena kondisinya yang sempit, bergelombang dan diapit oleh tanaman liar di sisi kiri dan kanan. Setelah beberapa saat kami menjadi pengguna tunggal jalan tersebut, mulai tampak beberapa buah motor dan mobil melintas, dan penduduk sekitar yang berjalan kaki beramai-ramai. Salah seorang teman kami menyebut mereka dengan istilah “pemuda-pemudi lokal”. Semakin dekat dengan tempat tujuan, suara ramai semakin jelas terdengar. Apa yang selanjutnya ada di depan mata saya sungguh mengejutkan, sebuah pasar malam di suatu tempat di ujung selatan pulau Jawa! Suasana malam itu cukup ramai, aneka barang dagangan digelar, ditambah lagi dengan adanya arena permainan komedi putar. Warung remang-remang dan warung biliar tampak di beberapa sudut, bersebelahan dengan warung nasi dan kedai mie instan. Kami memutuskan untuk makan malam di sebuah warung makan yang menjual ikan bakar. Menu kami malam itu terdiri dari sepiring nasi dengan ikan kerapu bakar, sambal kecap, dan segelas es kelapa. Setelah kenyang, kami berjalan-jalan sebentar melihat keramaian pasar malam, dan kemudian beranjak pulang, karena keesokan harinya kami harus pergi pagi-pagi untuk menyaksikan matahari terbit. Dalam perjalanan pulang, orang – orang semakin banyak berdatangan ke arena pasar malam, dengan tujuannya masing-masing. Setibanya di losmen, hal pertama yang dilakukan adalah mandi dan kemudian tidur!

Keesokan harinya, saya terbangun pukul lima pagi dan segera mandi. Air yang dingin dan segar mengingatkan saya akan suasana pagi di kota Bandung tercinta. Setelah kami berempat siap, pukul 5.30 pagi kami meninggalkan losmen ditemani seorang pemuda setempat yang direkrut sebagai “guide” dadakan selama kami tinggal di sini.  Tujuan pertama adalah pantai Sunrise, yang terletak di sebelah timur Ujung Genteng, dimana pemandangan indahnya dapat dinikmati pada saat matahari terbit. Saya sempat terkagum-kagum menyaksikan burung elang terbang dengan gagah melintasi langit pagi itu. Tempat selanjutnya adalah pantai Ujung Genteng, yang semalam sempat kami lalui dalam perjalanan mencari makan malam. Pada pagi hari, pemandangan di pantai ini indah sekali, teduh, dengan awan putih berarak membentuk garis abstrak yang sempurna di langit pagi yang bersih. Di sebelah kiri pantai terdapat sebuah dermaga tua dan cagar alam Ujung Genteng tampak dari kejauhan. Saya bermain-main di air dan berjalan menuju padang lamun yang terhampar di bawah air, sementara tiga orang teman lainnya asyik dengan kegiatannya masing-masing. Pada saat saya berada di tengah padang lamun, tiba-tiba mata saya menangkap ada seekor ular (setidaknya itu yang ada dalam pikiran saya ketika melihat binatang air tersebut) di tengah-tengah lamun. Saya mulai panik dan memanggil teman saya yang berdiri di bibir pantai. Ia bergegas menyuruh saya untuk bergerak perlahan meninggalkan padang lamun tersebut dengan langkah hati-hati agar tidak mengusik ketenangan binatang yang diduga adalah ular laut. Saat itu juga kami memutuskan untuk naik dan memilih untuk berjalan-jalan di sepanjang garis pantai saja. Di sepanjang pantai, kami menemukan beberapa kulit kerang dan cangkang binatang laut lainnya. Sejak perjalanan saya ke suatu pulau indah di ujung barat pulau Sumatra beberapa waktu lalu, saya menjadi tertarik untuk mengumpulkan aneka cangkang binatang laut. Terlebih lagi karena saya bersahabat dengan orang mempunyai pengetahuan sangat baik tentang laut dan isinya, saya semakin tertarik dengan ekosistem laut dan biotanya.

Kurang lebih pukul sembilan pagi, setelah puas bermain di pantai Ujung Genteng, kami kembali ke losmen untuk mandi dan makan pagi. Setelah menyantap mie instan dan teh manis hangat, kami berangkat menuju Curug Cikaso. Perjalanan ke Curug Cikaso ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam lima belas menit, mengambil rute yang sama pada waktu kami menuju Ujung Genteng, hanya saja saat ini kami berada pada arah sebaliknya. Jalan menuju Curug Cikaso ini relatif berliku namun kondisi jalan terbilang baik sehingga tidak begitu menyulitkan, kecuali pada bagian akhir perjalanan, dimana jalannya mulai berbatu-batu. Di sepanjang jalan menuju Curug Cikaso, mata kami puas memandang hamparan sawah yang hijau dan berundak lengkap dengan pohon kelapa, orang-orangan sawah, saung petani, petani dan kerbau yang sedang membajak sawah. Pemandangan serupa juga kami temukan di sepanjang jalan menuju Ujung Genteng, dimulai dari daerah Jampang Kulon.  Saya teringat pelajaran yang diberikan pada saat duduk di bangku sekolah dasar, bahwa Indonesia ini negeri yang indah permai loh jinawi, dan hal itu memang benar adanya. Tidak heran kalau kami berempat tak henti-hentinya berdecak kagum setiap kali melihat pemandangan yang kami temukan selama perjalanan. Perjalanan ke Curug Cikaso ini dilanjutkan dengan menyewa perahu yang membawa kami menyeberangi sungai Cikaso yang lebar. Pemandangan sepanjang sungai inipun tidak kalah menarik, benar-benar indah! Begitu perahu merapat, terdengar suara gemuruh air terjun, kamipun sampai di Curug Cikaso. Curug ini, yang dalam bahasa Sunda berarti air terjun, mempunyai tiga buah air terjun yang sangat indah. Deretan air terjun ini mengalir membentuk kolam bening berwarna hijau muda dan selanjutnya mengalir melewati bebatuan menuju ke sungai Cikaso. Puas berfoto –foto dan bermain di bawah air terjun, kami mengakhiri kunjungan dan melanjutkan perjalanan ke Tanah Lot Amanda Ratu pada pukul 11.00. Amanda Ratu adalah penginapan yang paling mewah di kawasan Ujung Genteng. Di sepanjang jalan masuk menuju Amanda Ratu, tampak barisan pohon kelapa dan sekelompok sapi yang sedang merumput. Hari itu, ada acara yang juga dihadiri oleh bapak Bupati di hotel Amanda Ratu. Menurut informasi dari pemandu kami, ternyata hari ini bertepatan dengan perayaan hari nelayan yang berlangsung satu tahun sekali. Tidak heran, Ujung Genteng tampak lebih meriah dari yang kami bayangkan sebelumnya. Menurut penduduk sekitar, pada hari-hari biasa, bahkan malam minggu sekalipun, kawasan Ujung Genteng ini terbilang sepi, namun apa yang kami lihat selama kami berada disana sangat jauh berbeda. Perjalanan kami kali ini memang sangat menyenangkan dan kami merasa beruntung telah datang di saat yang tepat. Di tengah-tengah barisan pohon kelapa tersebut, terdapat rumah-rumah dan beberapa peralatan sederhana. Dari penjelasan sang pemandu, ternyata rumah itu ditempati oleh petani gula kelapa. Sayang sekali, kami tidak sempat mampir sebentar untuk menikmati gula kelapa langsung dari pohonnya L. Apabila lain waktu saya berkesempatan untuk berkunjung kesini lagi, saya tidak akan melewatkan kesempatan mencicipi kelapa muda dan gula kelapanya. Kawasan hotel Amanda Ratu terletak di pertemuan muara sungai dengan Laut Selatan, yang mempunyai ciri khas ombaknya yang ganas dan tidak mempunyai pantai karena langsung berhadapan dengan laut dalam. Di tengah-tengah pertemuan muara sungai dan laut tersebut terdapat karang yang menyerupai Tanah Lot di Bali. Kami tak henti-hentinya mengagumi ombak yang menghempas karang dengan keras. Laut Selatan memang terkenal dengan ombaknya yang indah namun ganas.

Menjelang pukul satu siang, kami pulang untuk makan siang dan bersiap-siap dengan agenda berikutnya, Batu Besar, Pantai Cipanarikan, dan Pantai Pangumbahan. Makan siang kami kali ini terdiri dari ikan bawal dan cumi bakar plus sambal kecap dan segelas es kelapa…hmmm…lezzaatt J. Kami makan siang sambil mengamati keramaian yang sekarang semakin riuh karena adanya kereta keliling yang melintas di jalanan sepanjang area pasar malam. Kurang lebih pukul 14.30, dengan menggunakan empat buah ojek, kami memulai perjalanan ke pantai Batu Besar, yang terkenal di kalangan peselancar karena ombaknya yang indah. Di kawasan Ujung Genteng ini banyak terdapat pantai yang digemari peselancar karena keindahan ombaknya, diantaranya pantai Ombak Tujuh dan pantai Batu Besar. Pada kunjungan kali ini, kami tidak sempat mengunjungi Ombak Tujuh karena keterbatasan waktu, namun kami berkesempatan menikmati Batu Besar yang juga tidak kalah menarik. Perjalanan menuju ke Batu Besar ditempuh melalui jalan setapak yang kecil selama kurang lebih 10 menit. Pada saat kami tiba di pantai, ada beberapa peselancar, dua orang diantaranya berkebangsaan Jepang yang sedang mengamati ombak dan bersiap-siap untuk memamerkan keahliannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh pemandu kami, ombak di Batu Besar ini indah, bergulung tinggi dan berwarna hijau terang, selain itu pantainya juga bersih dan alami. Tak lama kemudian, kami segera bergegas menuju pantai Cipanarikan karena tak ingin melewatkan pemandangan saat matahari terbenam. Perjalanan menuju Muara Cipanarikan ini relatif lebih sulit dan lama dibandingkan dengan perjalanan ke Batu Besar. Ojek-ojek kami melaju menembus jalan-jalan setapak yang kecil, melewati sekumpulan sapi-sapi besar dan kecil yang sedang digembalakan oleh petani, meniti jembatan kayu yang sempit, tanah becek, dan padang ilalang. Akhirnya, kamipun tiba di suatu pelataran bangunan kosong. Rupanya perjalanan ke Muara Cipanarikan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kami berjalan melewati kebun bakau dan melihat banyak lubang-lubang besar di tanah. Tadinya saya kira itu adalah lubang semut, tapi ternyata dugaan saya salah. Lubang itu adalah lubang kepiting besar, yang sempat saya lihat sedang bersembunyi di salah satu lubang. Setelah melewati kebun, kami masuk ke area yang berbukit, sampai akhirnya pantai Cipanarikan yang indah tampak di hadapan mata kami.  Pemandu kami menjanjikan akan menjemput kami pada pukul setengah enam sore, setelah matahari berangsur-angsur terbenam. Selama 1,5 jam, kami bermain di pantai Cipanarikan. Pada saat itu, tidak ada siapapun kecuali kami berempat yang ada di pantai tersebut.  Setelah puas berkejar-kejaran dengan ombak, berlari-lari, saya duduk di tepi pantai mengamati laut luas dan ombak yang bergulung-gulung. Alangkah luas dan indahnya dunia ini, dan betapa kecilnya kita, manusia, dibandingkan dengan alam semesta ciptaan-Nya, subhanallah…

Berada di Pantai Cipanarikan ini serasa berada di suatu tempat yang maha luas, sunyi, indah, namun juga sedikit menakutkan bagi saya, karena jauh dari permukiman penduduk. Walaupun begitu, saya tetap dapat menikmati keindahan di tempat ini. Tak terasa, matahari mulai terbenam, namun bias cahayanya sedikit tertutup oleh awan. Kami memutuskan untuk segera pergi dari pantai Cipanarikan sebelum hari gelap. Tepat pukul 18 :00, kami tiba di tempat penangkaran penyu di Pantai Pangumbahan untuk melihat penyu bertelur. Kami berempat memutuskan untuk menunggu di pantai karena menurut petugas di sana, jika beruntung, penyu baru akan naik ke pantai sekitar pukul 8 malam, seperti malam-malam sebelumnya. Sambil menunggu, kami berbaring di pasir sambil menatap langit dan bulan separuh. Bintang-bintang perlahan mulai menampakkan kerlipnya di langit malam. Saya suka sekali mengamati bintang di langit, namun ini kali pertama saya memandang bintang seraya tidur berbaring di atas pasir di pantai. Benar-benar hal yang menakjubkan J. Selama 3,5 jam kami menunggu sampai akhirnya petugas penangkaran memanggil kami ke tempat penyu bertelur. Rupanya satu ekor penyu telah menemukan tempat untuk bertelur. Perlu diketahui bahwa penyu-penyu ini tidak jadi bertelur dan bahkan kembali lagi ke laut apabila melihat cahaya, mendengar suara gaduh yang menimbulkan rasa tidak aman baginya. Oleh karena itu, penggunaan lampu blitz, senter dan cahaya yang berlebihan dilarang.

Ketika kami tiba di tempat penyu tersebut bertelur, saya melihat ia mengeluarkan telurnya yang terakhir, kemudian induk penyu menutupi telur-telurnya dengan tanah secara perlahan. Jumlah telurnya kurang lebih mencapai 80 – 100 buah, dan induk penyu yang bertelur itu berukuran cukup besar, dengan panjang kurang lebih 1 meter (menurut petugas, masih ada penyu yang berukuran lebih besar daripada penyu yang baru saja kami lihat !!). Setelah puas mengamati sang induk, saya melemparkan pandangan ke sekeliling. Dari arah laut, tampak seekor penyu berjalan perlahan kearah pantai untuk mencari tampat bertelur. Namun karena pada saat itu cukup banyak orang dan menimbulkan suara gaduh, penyu tersebut berbalik arah kembali ke laut L

Kami beranjak pulang dari pantai Pangumbahan dengan perasaan senang karena berhasil melihat penyu bertelur, suatu kesempatan yang langka dan menarik. Menjelang pukul 23:00, kami tiba di kawasan pasar malam. Sedianya kami ingin mencari makan malam di tempat yang sama, yaitu warung ikan bakar pak Gundul, namun arus lalu lintas menuju tempat makan tersebut bukan main padatnya, puluhan bahkan ratusan motor bercampur dengan orang –orang yang lalu lalang membuat ojek kami sama sekali tidak dapat bergerak. Kami terjebak di tengah – tengah keramaian. Akhirnya, kami memutuskan untuk berbalik arah dan mencari rumah makan yang tidak begitu padat.  Selesai makan malam, kami segera kembali ke losmen, mandi, dan langsung tidur pulas karena kelelahan.

Kami berencana untuk kembali ke Jakarta pada hari minggu pagi sehingga masih punya waktu beristirahat setibanya di Jakarta. Setelah bersiap-siap dan pamit pada pengurus losmen, kami bertolak pada pukul 6.45. Rute yang kami tempuh dalam perjalanan kembali ke Jakarta kali ini adalah melalui Pelabuhan Ratu, karena kami berencana untuk makan pagi di Pelabuhan Ratu apabila waktu memungkinkan. Perjalanan pulang melalui Pelabuhan Ratu ini melewati perkebunan teh, perumahan penduduk, dengan kondisi jalan yang relatif lebih baik dibandingkan kondisi jalan pada saat kami berangkat.  Dalam waktu kurang lebih 2,5 jam kami tiba di Pelabuhan Ratu. Kami melintasi tempat pelelangan ikan, dan pelabuhan kapal-kapal nelayan, sampai saya melihat papan penunjuk jalan yang menyebutkan nama daerah Cisolok, sekitar 16 km dari Pelabuhan Ratu. Saya langsung teringat percakapan dengan atasan saya di kantor yang mengatakan bahwa pemandangan sepanjang Cisolok sangatlah indah. Saya mencoba mengusulkan untuk menyusuri Cisolok yang disambut baik oleh teman –teman dengan pertimbangan bahwa jarak 16 km tidak akan menjadi masalah apabila kondisi jalannya bagus. Alhasil, kami menyusuri jalan raya Cisolok dan memang benar, pemandangan sepanjang jalan yang kami lalui sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Pemandangan sawah yang hijau, permukiman penduduk dengan latar belakang garis pantai yang meliuk-liuk dan air laut yang berwarna hijau kebiruan ditingkahi ombak yang bergulung-gulung benar-benar mengesankan. Perjalanan dilanjutkan ke pantai wisata Cibangban yang juga indah, walaupun pasirnya berwarna hitam. Penduduk di sekitar pantai Cibangban suka melakukan penambangan emas secara tradisional apabila hasil panen mereka tidak memuaskan.

Perjalanan ke pantai Cibangban mengakhiri acara wisata kami kali ini. Kami langsung pulang menuju Jakarta dengan membawa pengalaman wisata yang sangat berkesan bagi saya, khususnya. Selama perjalanan ini, begitu banyak hal indah yang kami nikmati dan tidak dapat lagi kami peroleh di kota besar. Sungguh suatu pengalaman yang sangat menarik dan mengesankan.  

Informasi penting:
Alternatif penginapan selama di Ujung Genteng
-          Pondok Hexa, dengan harga berkisar 350.000/malam untuk menyewa rumah dengan 2 kamar
-          Losmen Deddy, dengan harga 125.000/malam untuk rumah dengan 2 kamar
-          Mamas Losmen, 250.000/malam untuk menyewa rumah dengan 2 kamar.

Alternatif rumah makan di Ujung Genteng
-          warung nasi “Mandiri”
-          warung ikan bakar “Pak Gundul” (es kelapa mudanya enak)

Thursday 9 November 2006

Intriguing Sojourn at Green Canyon

Being inspired by an article I found in the Internet, I planned to visit Green Canyon with my friends in the week before Ramadhan festive season this year. The Green Canyon trip was finally realized on the third week of September. Since there were only four persons confirmed their participation at the beginning, we were hesitant of carrying the plan on. Few days prior to departure, other three friends joined in and another one decided to join in the last minute, four hours before we left for Tasikmalaya.

We left the office at around 17:30 on Friday afternoon with two taxis en route for Kampung Rambutan bus station. We took the super-executive “Budiman” bus to Tasikmalaya, which costs Rp. 50,000 each. Despite the high price of the ticket, the decision was right. The bus departed the station at 20:00 and we were stuck in the traffic toward the entrance of Cikampek toll road for about one hour. It took approximately 6 hours ride from Jakarta to Tasikmalaya. We were so tired that we slept along the way until the bus stopped in a small town for temporary break. It was almost midnight when the bus continued the trip to Tasik. Finally, at 02:30 on Saturday morning, we arrived at Tasikmalaya and directly went to the hotel by renting public transportation (commonly known as “angkot”). We arrived at 03:00 in the morning where there was nobody in the front office!!! What should we do then? Sleep in the lobby??? Fortunately, few minutes later, the receptionist came out and gave us the room keys.

At 06.30 a.m. on Saturday morning, most of us were ready at the dining table to have early breakfast with nasi goreng telur and hot tea…hmm…appetizing! Half an hour later, we were already on the bus routing Tasikmalaya – Cijulang. It cost us about Rp. 30,000 each. Since none of us has been to Green Canyon, I felt that it was really a never-ending bus ride. After three-hour fast ride passing the villages and Pangandaran beach, we arrived at Cijulang bus station. We rented eight ojek which costs Rp 3,000 each to take us to the destination. Green Canyon, here we come!!! There was an accident on this trip, when Charlene’s skin was burnt by the ojek’s tailpipe. No wonder, it was her first time riding ojek, therefore she did not have any idea where the tailpipe is.

Using two boats which cost Rp 70,000 each, we crossed a natural jade-colored Cijulang river. Several biawak were seen sunbathing at the river’s edge…such an amazing scenery! It took us around fifteen minutes till we saw a huge cave with big rocks in between and natural green-colored water flowing over them. Two boat operators accompanied us and became our guide to show the paths as all of us got into the fresh water. We were swimming along the river towards the upstream and saw a small but beautiful waterfall. It was a real excitement swimming in such natural place like Green Canyon, among the bulky rocks with small waterfalls here and there…what a splendid place…


Close to the waterfall, there was a five-metre high huge rock where you can jump into the 3-metre deep water. Helen, Julie, and Charlene were very interested to try but they were hesitant to jump in due to the distance between the rock and the water ... but all of a sudden, Charlene jumped into the water…splasshh!!! Wow, what a brave girl! At the end, she admitted that it was good she could not see the distance clearly as she did not wear her glasses, therefore she did not think twice of made the leap. Viva Charlene…

We had much fun there… swimming back and forth against the water flows, splashing the water, climbing the rocks, getting down to the river, posing on the rocks, taking pictures, laying down on the water, and jumping into the water. We spent almost 3 hours there before deciding to continue other agenda. Compared to the excitement we had there, extra Rp 130,000 for both the boat rents and the guide’s fee was nothing. One of the guides told us that Green Canyon was always occupied by domestic as well as foreign tourists on the weekends and holiday seasons, therefore they limited the visiting time to the Canyon up to 15 minutes only per boat. Following the tsunami occurrence in Pangandaran, the tourists’s visits were drastically declined, thus inevitably affecting their income. On the other hand, we were very lucky coming to the place at the right time since we have a lot more than 15 minutes to enjoy its natural landscape. It was 14:30 p.m. when we decided to have late lunch in one warung close to Green Canyon entrance gate. We ordered sweet-sour spicy squids, grilled fish and kangkung ca for the lunch, hmm… mouthwatering…sluurrrppp!!

After having finished our lunch, some friends talked about the ideas of visiting Pangandaran beach before going back to Tasikmalaya and moreover, my other friend wanted to see her parents’ house which was destroyed by earthquakes and tsunami waves. So, we thumbed a lift of a pick-up minibus to take us to Cijulang bus station and later took the bus leading toward Pangandaran. Arriving at Pangandaran bus station, we rented three pedicabs to take us for sightseeing at Pasir Putih. It was funny that rather than going through the common path to Pasir Putih, we climbed the rocks to reach the place which, in some ways, was much more difficult! The water was very chilly when we stepped into the water for swimming. We stayed there to see the sunset and waited until other two friends joined us at Pasir Putih.

We had dinner at one food stall in Pangandaran. In the aftermath of tsunami occurred last July, we saw quite a lot of temporary shelters established few kilometers from the coastal plain. The current situation was completely different from previous years when Pangandaran was occupied with domestic tourists every weekend and holiday season. On the way back to the bus station, we saw damaged buildings and falling debris everywhere due to the impacts of earthquake that hit the area. It was obvious that tsunami gave serious impacts toward the tourism activities in Pangandaran. Even though it was Saturday night, not many hotels were occupied and not many people were hanging around. We reached the bus station at 19:30 and rented a minibus to take us back to the hotel. We arrived at the hotel at around 22:30 and directly went to our own rooms for taking a shower and later going to bed. My roommates, Alia and Julie fell asleep few minutes later while I still woke up until around 00:30 a.m., thinking about tomorrow’s agenda to visit Galunggung volcano.

The next morning, we went out of the hotel
at 07:00 a.m. toward the western part  of Tasikmalaya, where Galunggung volcano is located. We rented angkot, but unfortunately the driver was not quite trustworthy as we the rental price was quite costly. Therefore we decided not to take the same angkot on the way back. Instead of taking ojek to go uphill, we chose to walk. In the middle of the trip, my friend could not walk due to her twisted ankle. We got an ojek for her. Unexpectedly, another seven ojek came by and sounding their motor engines near us. I and my friend chose to take ojek as we were too tired to continue walking, while the others chose to walk up to the mountain. I felt very sorry for them the since the ojek drivers kept following with their noisy and smoky motor engines and insisted the to ride the ojek. My friends were very upset and warned them to leave...sorry guys for this terrible incident         

The Galunggung trip was started by walking over 620 stairs before reaching the upper plain
and later went down to the lake. When I decided to explore some parts of the lake, I did not think that the trekking condition would be very difficult. Walking up on the black-sandy paths on the way back was not quite an easy task, especially for me. Every time I tried to walk one step forward, I went back two steps behind. It took approximately one hour to go up and later went down the stairs, pfiuhhh…very tiring!!!!. We had had instant noodles and hot tea for lunch before we left Galunggung. It was already late noon when we were on the way back to the hotel. We packed our luggage and were ready to go to the bus station.  

It was time to go back to Jakarta. We took “Budiman” bus routing Tasikmalaya – Jakarta through Garut, with scenery of beautiful villages and paddy-fields along the road. Having spent almost 6 hours on the bus, the bus arrived safely at Kampung Rambutan terminal at 22:00 p.m. After visiting Green Canyon, it crossed in mind to organize a second trip there…someday. We really had a great weekend…great places, great companions, and great trip for sure

Thanks to my lovely travel companions: Alia Febriana, Charlene Tan, Helen Langenhorst, Herve Gazeau, Julie Calafat, Nicola Bugatti, and Siti Rachmania (Itot) who made this miraculous weekend trip happen.

Best time to visit Green Canyon: May – September (prior to rainy season)

Where to stay:
Hotel Mandalawangi, Jl. LLRE Martadinata 177 Tasikmalaya Jawa Barat
Ph (0265) 331 347 Fax (0265) 332 920
Price: Rp. 80,000 – Rp 150,000/night

start blogging

It has been quite some time ago since I had the intention to upgrade my language competencies. Despite the fact that I apply the languages in my every day life, I do feel the needs to improve my writing ability as well. Furthermore, I am fond of reading, and therefore I think highly of those who could put across their ideas and experiences into such interesting and enjoyable narratives. One thing then came up in mind, if they can, why can’t I?

Finally, I have made a start thanks to my dear friend, Niloofar for having encouraged me to write, write, and write. Besides, I also learned how to create my own blog. The following parts will be the utterance to my thoughts and experiences, which I also would like to share with my dearest friends and… you!

So here I am, with my blog. Enjoy…