Wednesday 28 November 2012

[Little Traveler]: Pengalaman Pertama Bepergian dengan Bayi

Seperti pada umumnya ibu baru, sempat terlintas sedikit perasaan khawatir ketika harus bepergian dengan membawa bayi untuk pertama kalinya.

Ketika usianya 17 hari, si kecil 'terpaksa' naik kereta ekonomi selama kurang lebih 3,5 jam dari Bangkok ke Kanchanaburi yang mengakibatkan ia mengalami kolik pada malam sesampainya kami disana. Dibilang terpaksa karena adanya kesalahan informasi yang kami terima mengenai jenis moda transportasi ke Kanchanaburi. Alhamdulillah, keesokan harinya kondisinya membaik sehingga kami bisa menikmati liburan dengan perasaan tenang. Perjalanan pulang kembali ke Bangkok dengan bis antar kota dilewati dengan baik tanpa kendala yang berarti dan liburan perdana kami dengan si kecil di Kanchanaburi juga menyenangkan.

Dengan hanya bermodalkan tips sederhana dari dokter anak kami yaitu jika bayi muda (infant) rewel selama perjalanan, peluk dan susui si bayi, sayapun cukup percaya diri membawa si kecil terbang ke Indonesia di usianya yang baru menginjak enam minggu. Beruntung, perjalanan perdana kami berdua dengan pesawat terbang ini, dengan satu kali transit di Singapura, juga ditemani oleh ibu saya tercinta. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Saya dapat menyusui si kecil yang terikat sabuk pengaman dengan nyaman meskipun baru pertama kali mencoba, dan berkat nursing apron plus nursing t-shirt yang saya kenakan, kegiatan menyusuipun aman nyaman dan saya bisa mengobrol tanpa canggung dengan pria asing yang duduk di sebelah. Meskipun si kecil tidak banyak tidur, ia sangat tenang selama berada di bassinet dan di pangkuan saya. Tampaknya ia dapat menikmati perjalanan udara pertamanya.

Dari bandar udara Soekarno-Hatta, kami menginap satu malam di Jakarta dan keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan dengan shuttle ke Bandung selama kurang lebih 4 jam karena macet. Lagi-lagi si kecil pun tenang dan tidak menangis barang sedikitpun. Barang bawaan kamipun termasuk sedikit, hanya satu buah baby bag untuk semua keperluan si kecil sampai membuat tante saya terkagum-kagum mengingat bahwa kami bepergian dengan bayi. Di usianya yang kesembilan minggu, yaitu ketika kami kembali ke Bangkok, si kecil sudah mencoba moda transportasi kereta ekonomi, skytrain, bus, pesawat terbang, shuttle bus, shuttle boat, tuk tuk, dan angkutan kota.

Tonggak penting dalam cerita perjalanan dengan si kecil adalah ketika kami harus terbang ke Perancis untuk menghadiri acara keluarga pada bulan Agustus 2012, tepatnya 20 Agustus 2012. Pada saat itu usianya baru 3 bulan 1 minggu. Penerbangan malam hari selama 8 jam dari Bangkok ke Kairo berjalan mulus, dimana si kecil tidur nyenyak dan bangun 2 jam sebelum mendarat di Kairo. Oiya, ada hal ganjil yang saya alami pada perjalanan kali ini. Maskapai penerbangan yang kami tumpangi ini sukses membuat dahi kami berkerut karena: 1) tidak memberikan sabuk pengaman untuk bayi dan permintaan kami dijawab dengan santai oleh pramugaranya "oh, tidak perlu. Pegang saja bayinya erat-erat" ????????????????, 2) beberapa detik setelah mendarat, pramugarinya langsung melepas sabuk pengaman dan langsung berdiri, 3) pramugari bukannya memastikan bahwa koper/tas tersimpan dengan rapi di kompartemen atas tapi kami melihat salah seorang pramugari memasukkan barang di kompartemen yang sudah penuh dan menutup pintu kompartemennya dengan paksa. Lha, kalau pintunya dibuka dan tas/kopernya jatuh menimpa kepala penumpang bagaimana?, 4) pramugarinya tidak menegur ketika ada satu orang penumpang di sebelah kami yang menyalakan ponsel begitu roda pesawat menyentuh landasan. Rasanya cukup sekali saja menggunakan maskapai ini. Di bandar udara internasional Kairo kami harus menunggu selama 4 jam dan kesan pertama saya terhadap bandara ini buruk. Pertama, kami melewati screening machine yang dijaga oleh dua orang petugas. Kedua petugas ini dengan santainya merokok di dalam ruang ber-AC dan jelas-jelas terpampang papan bertulisan besar di dinding belakang mereka "NO SMOKING". Konyol bukan? Kedua, prayer room di bandara ini sangat menyedihkan karena kotor dan ruangan tempat shalat berubah fungsi menjadi tempat tidur penumpang transit yang akan melanjutkan perjalanan ke Afrika. Lebih parahnya, bagian shalat untuk wanitapun dikuasai oleh pria-pria yang tidur sembarangan. Ketiga, fasilitas tempat duduk di dalam gedung bandara sangat sangat minim. Selama masa transit ini, si kecil tidur nyenyak sehingga ketika di pesawat, ia hanya tidur sebentar dan sempat menangis karena mengantuk beberapa saat sebelum mendarat di bandara Charles de Gaulle Paris.

Karena tempat duduk kami berada di belakang kelas bisnis, maka kamipun termasuk yang keluar lebih awal dari pesawat. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba seorang petugas memanggil dan menanyakan apakah kami penumpang kelas bisnis. Tentu saja kami jawab bukan, namun petugas tersebut tetap menyerahkan dua buah kartu berwarna ungu. Sebenarnya kartu ini hanya berlaku untuk penumpang kelas bisnis dari semua maskapai dan premium voyager Air France. Jadi, kali ini kami beruntung karena dengan pass tersebut, kami tidak perlu mengantri panjang di imigrasi dan terpisah antrian pula antara saya dan suami.


Sesampainya di Paris, petualangan belum berakhir. Setelah menggunakan fasilitas ruang ganti bayi di terminal 1, kami menumpang kereta CDGVAL menuju terminal 2, dimana TGV yang akan membawa kami ke stasiun St. Pierre-des-Corps menanti. Perjalanan selama 1,5 jam ini yang cukup menantang, mengingat si kecil sudah cukup lelah. Dua puluh menit menjelang ketibaan di St.Pierre-des-Corps si kecil menangis karena kelelahan. Kebetulan kami duduk di gerbong 1st class dan tertulis voiture silence atau dilarang berisik sehingga saya dan suami harus bergantian keluar agar tidak mengganggu penumpang yang lain dan berdiri di ruang antara dua gerbong untuk menenangkan si kecil. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 29 jam dari pintu ke pintu, kamipun sampai di tempat tujuan dan lega karena si kecil bersikap manis selama perjalanan panjang pertamanya, good baby boy!

Liburan kami selama tiga minggu di Perancis berjalan lancar dan menyenangkan. Si kecil juga menikmati perjalanan darat yang kami lakukan selama disana, kendalanya muncul pada saat kami sedang melaju sementara si kecil lapar dan beberapa kali kejadian dimana kami harus membiarkan ia menangis beberapa saat sebelum menemukan tempat parkir untuk berhenti.

Pada mulanya saya agak khawatir untuk perjalanan kembali ke Bangkok karena dari pengalaman teman/saudara, pelayanan maskapai Eropa jauh dibawah maskapai Asia atau Timur Tengah. Saya pribadi, belum pernah -dan jangan sampai- mempunyai pengalaman buruk dengan maskapai-maskapai tersebut. Kekhawatiran saya tidak terbukti. Awak pesawat yang kami tumpangi begitu ramah dan perhatian terhadap keperluan bayi kami. Selama 11 jam perjalanan dari Paris ke Bangkok, si kecil tertidur hampir selama setengah perjalanan dan sisanya ia bermain di bassinetnya.

Si bayi petualang  :).
Di usia 5 bulan 1 hari, kami pulang lagi ke Indonesia, kali ini hanya saya berdua dengan si kecil. Perjalanan selama kurang lebih 3 jam lancar tanpa kendala berarti. Di Indonesia, si kecil kami bawa ke Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Pada kunjungannya kali ini, si kecil mencoba moda transportasi baru, yaitu becak di Bandung dan Yogyakarta.

Petualangan si kecil masih terus berlanjut, insya Allah. Bulan Desember 2012 si kecil akan kembali berpetualang, merasakan musim dingin pertamanya bersama Oma dan Opa dan insya Allah kembali lagi kesana untuk merasakan musim semi sekaligus merayakan ulang tahunnya yang pertama, dan satu perjalanan mengunjungi Enin dan Kakek diantaranya.

Jadi, siapa bilang bepergian membawa bayi itu sulit? Selama kondisi fisik si bayi sehat, ijin dari dokter sudah di tangan, tidak perlu ragu untuk berangkat. Yang terpenting, jika orangtua menikmati perjalanannya bersama si kecil, si kecilpun akan mempunyai perasaan yang sama.

Selamat bepergian!

Monday 26 November 2012

My Pregnancy Story

Two thousand eleven was a year that we will never forget as so many things happened in that particular year. Following my two miscarriages on 14th February and 28th June, I myself was a bit traumatic and of course, sad. We had no idea whether the loss was due to travel’s fatigue or else because the second loss occurred when we were in Honiara, just few days after we traveled back from Pentecost Island. The doctor at Honiara Referral Hospital told me to undertake further examination in Nouméa, New Caledonia as I planned to go there the following month. In Nouméa, the doctor at CHT Nouméa could not find any particular reasons for my situation, thus he suggested me to do thorough check up in Bangkok -our next destination-, considering the availability of more advanced equipments in Bangkok hospitals.
It was not until October 2011 when I set my feet for the first time in Bangkok. I had counted that the first day of my last period was on 6th August 2011 but because of the previous loss’ trauma, I decided to take this indicator easily by not doing any pregnancy tests at all but still thoroughly examining the calendars for any possibilities of pregnancy. So, between July and October, I acted as if I were not pregnant. We did a fabulous road trip in New Zealand, then I had to travel by myself all the way from Vanuatu to France for about 36 hours in total with transit in Sydney and Singapore. Even though my feeling told me that I was already about 4-week pregnant at that time, I tried to be at ease and not to think about all the risks of long haul travel at the first trimester of pregnancy. Thankfully, everything went well except that I had swollen feet afterwards, things that never happened to me before on long haul flights. We stayed in France for almost a month and when I was about 9-week pregnant I had to travel from Paris to Bangkok again. On this trip, few chunks of palm sugar or gula merah in Indonesian helped me a lot in overcoming the sickness.
Few days after our arrival in Bangkok, on 7th October 2011 I took a pregnancy test with positive result and the next day we went to Samitivej Hospital in Sukhumvit soi 49 and there, via transvaginal ultrasound, it was confirmed that the little pea was already 9 weeks, Alhamdulillah. We were more than thrilled but decided not to tell anyone about this, except my mother. On my 10th and 13th week pregnancy, I had a return trip to Indonesia with no particular issues on my physical condition. Finally, upon our return from Indonesia, we shared this wonderful news with family and close friends and expected the very best for this pregnancy.
Since then, we came to the hospital every month for check up. So, after our first visit to confirm my pregnancy, the second visit was on 5th November 2011 when I was 13th week pregnant in order to undertake abdomen ultrasound and Nuchal Translucency (NT) screening test. The NT screening test is intended to assess the fetus’s risk of having Down Syndrome. More about NT screening can be read here. The third visit was on the 17th week, that is 3rd December 2011 to check the vaginal cleanness and bump measurement. We also decided to change the Ob/Gyn purely for the reason of preference and it turned out that our choice was right. On 18th December 2011, the day that I would never forget, I felt a very soft movement on my tummy...how wonderful! When I was 20-week pregnant, we went to Laos by night train, plane and took the overnight bus on our way back from Nong Khai to Bangkok. I felt okay albeit a little bit tired. I even managed to climb more than 300 steps to reach Mount Phou Si in Luang Prabang. We went again to the hospital for the fourth visit on 3 January 2012 for Morphology ultrasound on the 21st week of pregnancy where we found out that I had a low-lying placenta previa. The news had made me slightly nervous as I wanted to have natural birth but the doctor then said that the position of placenta would possibly go upwards along the pregnancy and the decision of whether I could have natural birth or not would depend on its position in the 32nd week. As soon as I got the news, I did everything I could in order to help changing the position of the placenta. From many sources I have read, the bowing position is considered effective thus I do that everyday. In February 2012, I had gestational diabetes screening test and received a very good result, so there was nothing to worry about. All in all, I had four ultrasounds during my pregnancy, with the last one on 17th March 2012 (32nd week). The ultrasound result showed that my placenta was no longer low-lying, therefore my wish of having natural birth was likely possible, thanks to God.
Approaching the due date which was approximated on 12th May 2012, I came every two weeks and from the 38th week, I came once a week for check up. About two weeks before the due date, we showed our birth plan to our Ob/Gyn, to which she said OK for most of the issues we highlighted on the plan.
The story continued here as the baby decided to stay a bit longer in my womb.

Monday 19 November 2012

Benjasiri di hari Sabtu

Ketika seorang teman baik datang ke Bangkok, kamipun merencanakan piknik di salah satu taman kota disini. Pilihan jatuh ke taman Benjasiri karena kebetulan bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah. Lokasinya yang  tidak jauh dari keramaian jalan utama Sukhumvit Road dan pusat perbelanjaan mewah Emporium membuat Benjasiri benar-benar menjadi oase di tengah hutan beton. Ditemani muffin pisang buatan sendiri, keripik kentang, roti, keju, dan buah-buahan, kamipun menggelar tikar dan menikmati sore sambil mengamati tingkah laku tupai-tupai mungil dan orang yang lalu lalang. Ah, piknik memang selalu menyenangkan :)

Piknik dengan bayi? Seru dan menyenangkan!

Terima kasih madame Sophie untuk foto-fotonya dan jangan bosan tengok kami ya :)

Thursday 15 November 2012

Sukses Membuat Bolu Gulung Perdana

Tergiur dengan resep kue di blog sang ibu kreatif yang ini, saya minta kursus langsung dengan gurunya, dan kemudian coba-coba sendiri di rumah. Resep yang saya pakai persis seperti yang ditulis di blog kecuali saya tidak pakai emulsifier dan vanilla essence. Sebagai pengganti emulsifier, saya tambah dua kuning telur ekstra ke dalam adonan.

Semoga berhasil...

Penampakan si bolu isi nutella setelah digulung

Dulu sekali, saya pernah coba buat bolu gulung namun gagal total pas menggulung. Ternyata ada tekniknya yaitu gulung bolu selagi panas dan untuk menggulung, gunakan serbet kain sambil ditekan-tekan lembut untuk memadatkan gulungan. Jangan gunakan kertas roti karena berisiko membuat kulit si bolu terkelupas.

Selamat menikmati :)

Terima kasih mbak Ike sudah berbagi ilmunya, terutama trik pintarnya supaya si bolu tidak retak saat digulung. Gara-gara mencari aktivitas pengalih rasa tidak nyaman akibat kontraksi saat itu, jadilah bolu gulung ini :).

Saturday 10 November 2012

Mengukur Jalan

Di suatu hari yang cerah, saya berniat mengunjungi toko perlengkapan bayi yang terletak di Grands Boulevards, demi menggunakan voucher belanja hadiah kelahiran si kecil. Iseng-iseng saya berjalan kaki dari hotel kami di rue d'Alesia mengingat cukup repot naik turun metro dengan membawa bayi dan stroller. Yang kemudian terjadi adalah ini:

Rute perjalanan pulang pergi sejauh 12 kilometer

Setelah dipikir-pikir, hanya orang kurang kerjaan yang melakukan hal ini, seperti saya :).

Thursday 8 November 2012

Anak-Anak Multibahasa

Pertama kali tahu tentang buku ini dari forum The Urban Mama, sayapun bergegas mencarinya di toko buku. Beberapa toko saya datangi namun tidak satupun mempunyai persediaan buku yang ditulis oleh Santi Dharmaputra, dkk ini. Dua tahun berselang, saya bertemu teman baru sesama orang Indonesia di Bangkok yang berbaik hati meminjamkan buku yang dimaksud. Lucunya lagi, ternyata teman baru saya ini adalah teman dekat salah satu penulis buku tersebut.


Buku ini menceritakan pengalaman sembilan wanita Indonesia yang pernah dan sedang tinggal di luar negeri dalam membesarkan anak-anak mereka secara bilingual dengan tetap mempertahankan penggunaan bahasa ibu, yaitu bahasa Indonesia. Buku ini menjadi menarik karena relevan dengan situasi kami sekarang, yaitu bagaimana membesarkan anak dengan bahasa ayah dan ibu berbeda ditambah dengan bahasa lingkungan yang juga berbeda dari bahasa ayah dan ibu.

Sedari awal, kami sepakat untuk menggunakan bahasa ibu masing-masing dalam berbicara dengan anak. Saya berpendapat bahwa bahasa Indonesia sangatlah penting mengingat itulah cara terbaik untuk berkomunikasi dengan keluarga dari pihak saya dan alasan yang sama berlaku pula untuk penggunaan bahasa Perancis. Menurut buku ini, ada lima langkah dasar yang perlu diingat dalam membesarkan anak multibahasa.

Pertama, tetapkan tujuan dan motivasi. Untuk keluarga kecil kami, kebutuhan bermultibahasa muncul karena anak kami adalah hasil pernikahan campuran Indonesia – Perancis. Meskipun begitu, anak dari pasangan sesama orang Indonesia pun, dapat tetap menjadi bilingual, seperti pengalaman beberapa ibu di buku ini. Jangan lupa, multibahasa tidak terbatas pada bahasa asing, penguasaan bahasa daerah yang baik juga merupakan bentuk kemampuan multibahasa. Tujuan dan motivasi kami menerapkan multibahasa pada anak adalah agar anak mampu berkomunikasi dengan baik ketika berada di lingkungan salah satu keluarga besarnya.

Kedua, buat strategi yang tepat. Strategi yang banyak dipakai dalam buku ini adalah OPOL (One Parent One Language) dan ML@H (Minority Language at Home). Strategi yang pertama adalah setiap orang tua berbicara dalam bahasa ibu masing-masing dengan anak dan tidak mencampur adukkan penggunaannya. Strategi kedua adalah menggunakan bahasa minoritas dalam lingkungan keluarga untuk tetap menjamin penguasaan si anak atas bahasa tersebut. Menurut saya, strategi ini tepat untuk keluarga yang tinggal di luar negeri. Jika keluarga tersebut tinggal di Indonesia namun ingin tetap bermultibahasa disamping bahasa Indonesia, misalnya bahasa Inggris, dapat saja dilakukan pada waktu tertentu yang telah disepakati bersama dengan catatan salah satu atau kedua orangtua mempunyai pemahaman tata bahasa Inggris yang sangat baik agar dapat memperbaiki jika anak keliru. Di sisi lain, bahasa Indonesia akan tetap menjadi bahasa utama yang digunakan. Strategi ini dapat divariasikan ketika anak sudah cukup pandai bicara dan memahami bahwa ia dapat bicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Misalnya, anak berbicara bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, berbicara bahasa Inggris pada saat makan malam atau akhir pekan, dan berbicara bahasa daerah dengan kakek-neneknya.

Ketiga, konsisten dan berkesinambungan. Menerapkan kebiasaan bermultibahasa di rumah membutuhkan konsistensi dari pelakunya, dalam hal ini orangtua, sampai anak paham bahwa bahasa-bahasa yang mereka pelajari mempunyai tata bahasa berlainan. Konsistensi dan kesinambungan ini membantu anak untuk dapat menguasai bahasa yang dipelajari secara benar dan menyeluruh. Biasakan bermultibahasa dalam setiap kesempatan dan manfaatkan media seperti CD/DVD, musik, televisi untuk mengasah kemampuan anak dalam bahasa yang sedang dipelajari. Dalam hal penerapan OPOL, orangtua harus konsisten menggunakan bahasa ibu ketika berbicara dengan anak sehingga anak dapat mengasosiasikan bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan salah satu orangtua.

Keempat, hindarkan mencampur bahasa. Menurut buku ini, pada setiap pelaku multibahasa seringkali ditemui bahwa mereka menyelipkan istilah atau kalimat dalam bahasa asing di percakapan sehari-hari yang merupakan hal wajar. Yang terpenting adalah tidak mencampurkan bahasa dalam satu kalimat. Pastikan orangtua memberi contoh kepada anak dengan mengucapkan satu kalimat utuh dalam satu bahasa saja.

Kelima, gunakan bahasa yang paling dikuasai. Dalam hal orangtua ingin menerapkan multibahasa pada anak, hendaknya orangtua menggunakan bahasa yang paling dikuasai untuk berbicara dengan anak. Anak dapat tetap menjadi bilingual dengan bantuan media atau bahkan belajar langsung pada penutur aslinya.

Ada satu pengalaman yang selalu teringat di benak saya. Sekitar dua tahun lalu, saya dan dua teman menonton pagelaran seni dalam bahasa Sunda yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Lingkung Seni Sunda – Institut Teknologi Bandung (LSS-ITB) ini menggunakan pengantar bahasa Sunda dari awal hingga akhir acara. Tidak berapa lama setelah acara berlangsung dan penonton mulai tertawa mendengar percakapan para pemain di panggung, saya mendengar suara seorang anak usia SD di belakang kami yang mulai ribut bertanya kepada orangtuanya apa maksud dari kalimat-kalimat yang dilontarkan para pemain. Yang membuat saya heran, si anak terus bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris sementara orangtuanya menjawab dalam bahasa Indonesia. Hal ini menjadi sangat mengganggu karena suara si anak cukup keras dan terus-menerus bertanya hampir sepanjang acara berlangsung. Begitu acara usai, saya melihat satu keluarga Indonesia (saya hampir yakin bahwa orangtuanya mampu berbahasa Indonesia dan Sunda) dengan tiga orang anak, dan hanya satu anak saja yang berbahasa Inggris, yaitu anak yang merusak kenikmatan kami menonton pagelaran tadi. Saya amati dua anak yang lain bisa berbahasa Indonesia dengan sangat lancar (tentu saja, mereka orang Indonesia dan tinggal di Indonesia!). Sungguh mengherankan, di satu sisi orangtua berniat baik (mungkin) ingin mengenalkan budaya Sunda kepada anak-anaknya dengan menonton pagelaran tersebut, namun disisi lain, ke'tidakmampuan' si anak berbicara bahasa Indonesia disikapi sebagai suatu kebanggaan tersendiri. Membingungkan bukan?

Sayangnya, masih ada orang Indonesia yang merasa bahwa bahasa Indonesia tidaklah penting dan orangtua malah bangga ketika anaknya berbahasa Inggris dan tidak bisa berbahasa Indonesia padahal kedua orangtuanya adalah orang Indonesia dan mereka tinggal di Indonesia. Di berbagai kesempatan, sering pula saya temui orangtua yang berbahasa asing dengan anak balitanya, namun sepotong-sepotong, dalam arti orangtua hanya menggunakan beberapa patah kata asing dalam kalimat yang secara keseluruhan menggunakan tatabahasa Indonesia. Perjalanan kami sendiri membesarkan anak bilingual masih sangat panjang karena penerapan metode OPOL ini baru dilakukan selama lima bulan terakhir. Namun satu hal yang pasti untuk saya, mampu bermultibahasa adalah suatu hal yang sangat positif, tetapi tidak berarti bahasa ibu terlupakan atau mencampur adukkan penggunaan bahasa dapat dilakukan. Bagaimana menurut Anda?