Thursday 31 January 2013

Timur vs Barat

Berbicara seputar bayi, saya tertarik untuk membuat kesimpulan abal-abal tentang pertanyaan yang paling sering ditanyakan pertama kali ketika bayi menjadi topik pembicaraan, berdasarkan pengalaman pribadi :)

Budaya Timur:
- Bayinya sudah bisa apa dan apakah giginya sudah tumbuh?

Budaya Barat:
- Bayinya sudah bisa tidur sepanjang malam?

Dan daftar pertanyaan akan bertambah panjang lima menit setelah pembicaraan berlangsung, berlaku baik di Timur maupun Barat :).

Bagaimana pengalaman Anda?

Monday 21 January 2013

Ignorance is Annoying

Today, we attended the playgroup activity at one of the international pre-school in Thong Lo with a friend and her son. Following the registration, we entered a room which was already full with kids and their parents/nannies. We waited for the class to begin when a middle-age woman approached, looked at my friend, who happened to be a Caucasian, and greeted her without even bothered to do the same thing to me. She introduced herself as the principal of the school, started the conversation with my friend (yes, only with my friend and being ignorant to the fact that I was physically there, too), asked the age of her boy, and then the woman pointed out to my son who was asleep in the wrap, - I answered her but she did not even look at me in the eye - thinking that I might be the nanny, I guess. I tried to be involved in their conversation only to realise later on that it would not change the woman's attitude to me. From the way she acted, she looked down on me, and even later, when I asked her about the playgroup's schedule, she gave a piece of paper containing the schedule activities to my friend, only to her. So, I decided to go to the office and got another copy for myself.

Why does this thing matter? Was I offended because someone thought that I were a nanny? No, not at all. In Bangkok, hiring a nanny that speaks English might cost you a fortune so, why should I be offended? Being a nanny is not a shame, it is a decent job. I just feel sorry for that woman and I pity her attitude for being so ignorant to someone who has not the same skin colour as hers and my friend, that is me. I was wondering what is so difficult of being nice to someone, whether she is a nanny or a madame? whether she is Asian or Caucasian?

I might not be glossy, I might not have those madame looks, I might have dressed up like a nanny - in my pair of jeans and t-shirt, but at least I was taught how to respect people regardless their status. In the past, I used to think that citizens of developed countries are well-mannered. Apparently, it is not totally correct. The woman, whom I met is one of the examples. I kept telling myself that I should think twice before choosing the right pre-school for my son when the time comes and make sure that whoever leads the school is not a narrow-minded ignorant person like her.

Apart from this issue, the playgroup was good. So, it was a good way of starting the week and at the same time, learning how to deal with ignorant people :)

Have a blissful week, everyone!

Sunday 20 January 2013

Babies' Playdates in the Weekend

Unlike other weekends while my husband is away on business trip, today's schedule was full of appointment. It was more like baby's playdates, to be exact. Left the apartment at 08.30 a.m, we walked along Sukhumvit Road to meet our friends for breakfast at Cafe Tartine. Bangkok is at its best at this moment, kind of breezy. Arrived a bit earlier than expected -just 20 minutes walk from home to soi Ruam Rudee- we coincidentally met my husband's colleague with her husband and their 9-month old son. Last time we met them was about 5 months ago and we haven't met again since then. Their baby, only one month older than ours, is so sweet and healthy, a perfect mixture of his pretty American mother and Swiss father. We had a nice chat for at least 20 minutes before saying goodbye with the promise that we will meet up sometime once my husband is in town.

Later, our friends arrived and we made the order for breakfast. That morning, there was not many people in the cafe, just perfect to have a nice chat while having good meals. With croissant, pain au chocolat, coffee, and fresh orange juice, we spent the morning catching up the news since our first and last meeting in their cozy house in Honiara. This nice Indonesian-Canadian couple who recently moved to Thailand, once lived in the Solomon Islands while we still lived in Vanuatu back in 2010-2011. They have a 13-month old cute blond toddler, healthy, strong, and adventurous who loves eating and exploring the place. Later, I was told that they are currently expecting their second child, what a wonderful news! *suddenly I missed being pregnant :p* We talked about lots of things until around 11.00 a.m. It was so fun and we planned to do it again next time.

In the afternoon, we had another appointment with our neighbour next door, the lovely American-Thai couple with their pretty 7-month old daughter, which I talked about in the previous post. They also invite their friends whose wife is Indonesian and have a 6,5-month old baby daughter. See, today was really babies's meeting from morning to late afternoon. Following a nice chitchat at their home, off we went to the park for a stroll, spending sometime there before we finally got back home.

Playdate with the girls :)

Overall, it was such a lovely Sunday for both of us, and you, my little man, have been very good all the time during meeting your little friends. Can't wait to taking you for the next ones.

So, how about your Sunday?

Friday 18 January 2013

Wow...

Ketika saya hampir menyerah untuk tidak lagi-lagi melakukan perjalanan jauh dalam waktu dekat dengan si kecil (di perjalanan kami baru-baru ini, si kecil terjaga sepanjang penerbangan selama 12 jam), secara kebetulan saya bertemu seseorang yang bercerita tentang pengalamannya terbang seorang diri dengan tiga anak berusia 4 tahun, 2 tahun, dan 3 bulan selama 12 jam, belum lagi anaknya yang masih bayi muntah sebanyak 7 kali di pesawat yang salah satunya mengenai sepatu penumpang lain, membuat ia nyaris kapok dan berjanji tidak akan pernah mau terbang bersama anak-anak saja tanpa suaminya ikut serta. Faktanya, enam bulan kemudian, kejadian yang sama terulang, ia terbang selama belasan jam hanya dengan ketiga anaknya. Berbekal cerita heroik tersebut, sayapun bersemangat kembali. Jadi, perjalanan selanjutnya, siapa takut??? *singsingkan lengan baju*

Thursday 17 January 2013

Kenapa Sih?

Belasan tahun yang lalu, sewaktu masih menjadi remaja berseragam putih biru, beberapa kali saya menerima "nasihat" dari kerabat dekat "tuh, seperti si A atau si B, pintar, masuk sekolah/PTN favorit, dst." Hal remeh seperti ini saat itu terdengar mengesalkan untuk saya. Saya yakin tidak ada seorangpun yang senang dibanding-bandingkan bukan? Ketika saya menceritakan hal ini kepada ibu saya, dengan bijak beliau berkata "tidak perlu didengarkan, biarkan saja, malah justru jadikan pemicu". Alhamdulillah, di kemudian hari, saya menjadi yang pertama dari generasi kami dalam hal yang terkait dengan pencapaian akademis, dan komentar-komentar itupun lenyap dengan sendirinya.

Beberapa tahun yang lalu, ketika hampir saudara dan teman-teman dekat sudah menemukan tambatan hatinya, saya sering menerima komentar seperti "jangan pilih pilih" atau "jangan terlalu fokus bekerja, nanti keburu tua dan tidak laku" atau "mana pacarnya?". Awalnya saya bisa bersikap santai, tapi lama kelamaan dibombardir dengan pertanyaan seperti itu membuat kesabaran saya diuji. Saya sempat berada pada fase "malas datang ke acara-acara dimana sekiranya pertanyaan-pertanyaan serupa akan muncul". Ditengah-tengah komentar yang membuat gerah tersebut, ada komentar seseorang yang selalu saya ingat " tenang saja, tidak perlu khawatir, nanti saatnya akan datang juga". Yang terpenting, ibu saya sendiri saja tidak repot, kok malah orang lain yang repot???

Setahun yang lalu, ketika saya hamil dan bercita-cita ingin melahirkan secara alamiah tanpa menggunakan obat penghilang sakit apapun seperti epidural, saya menerima komentar "kenapa kok mau-maunya merasakan sakit padahal ada cara lain untuk menghindari itu?" dari seseorang yang merasa terselamatkan dengan adanya epidural. Ketika pada akhirnya, saya diberi kesempatan untuk melahirkan putra pertama kami sesuai dengan harapan, dan saya ditanya kembali apakah saya puas dengan semua yang dialami sewaktu proses melahirkan? Saya jawab puas dan tidak ada komentar lanjutan.

Sekarang, ketika saya sudah mempunyai anak, komentar yang berdatanganpun masih juga beragam seperti ini: "anaknya tidak diberi pisang/bubur susu? Anak saya dulu usia 4 bulan saya kasih pisang/bubur susu dan dia suka lho" padahal anak saya belum genap berusia 6 bulan ketika itu; "giginya belum tumbuh ya? belum bisa merangkak ya?" ketika tahu anak saya belum bergigi dan merangkak; "kasih biskuit (instan) anaknya" ketika anak saya tampak tertarik melihat orang lain makan; "umur segitu kenapa gak dikasih bubur susu/biskuit?" ketika sudah saya jelaskan bahwa anak saya sudah makan banyak variasi buah, sayur, dan serealia; "kenapa strollernya tidak dihadapkan ke jalan biar anaknya bisa lihat-lihat? kasihan tidak ada pemandangan kalau seperti itu" ketika melihat saya yang menggunakan rear-facing stroller; "lho kok menyusu terus?lapar ya?" ketika melihat anak saya -yang ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai sekarang-sedang menyusu (lagi); "jaman dulu saja bayi sudah kenal gula garam, buktinya sekarang gedenya tidak masalah" ketika mendengar prinsip saya yang berusaha untuk tidak mengenalkan gula garam sampai usia 1th dan meminimalkan pemberiannya setelah usia tersebut; "bayinya bau tangan ya?" ketika sekali waktu bayi saya menangis waktu disimpan di stroller pinjaman; "maunya sama ibunya terus nih" ketika bayi saya menangis saat digendong orang lain dan baru berhenti menangis ketika saya gendong; "kasih nonton acara-acara di TV yang khusus bayi itu lho biar anteng" ketika melihat bayi saya menangis meminta perhatian; dan masih banyak lagi. Rasanya, bekal sabar harus lebih ditingkatkan lagi ketika menghadapi pertanyaan dari orang-orang yang rata-rata kebetulan sudah lebih dulu (saya tidak mengatakan berpengalaman) mempunyai anak. Rasanya, saya ingin mengemukakan alasan-alasan saya terhadap semua pertanyaan tersebut berdasarkan apa yang saya baca dari buku dan konsultasi dengan dokter anak kami, tapi kemudian terpikir mungkin saya justru dianggap sok tahu dan tidak mau mendengar nasihat dari yang sudah "berpengalaman". Yang pasti, saya punya semua penjelasan rasional dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun apa gunanya jika malah memancing debat yang sebetulnya tidak perlu yang kemudian membuat suasana jadi tidak enak? Pada akhirnya, saya hanya menjawab seperlunya saja.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah mereka yang menanyakan hal-hal serupa seperti diatas itu tahu bahwa:

1. Lulus dari PTN favorit bukan jaminan kesuksesan. Kalaupun pintar secara akademis tetapi tidak matang secara emosional, apa gunanya?

2. Mencari dan memilih pasangan hidup itu tidak semudah mencari dan memilih pakaian dan tidak semua orang beruntung langsung dapat bertemu dengan jodohnya.

3. Setiap orang punya mimpi dan keinginannya masing-masing dalam segala hal dan tidak seorangpun dapat mengubahnya.

4. HARAM hukumnya membanding-bandingkan tumbuh kembang anak yang satu dengan anak yang lain, karena setiap anak itu UNIK. Hal ini perlu diingat baik-baik untuk diri sendiri dan juga sebelum memberikan masukan kepada orang lain.

5. Pengalaman apapun dari mereka yang telah "berpengalaman" belum tentu dapat diterapkan pada orang lain karena setiap orang mempunyai gaya masing-masing dalam membesarkan dan mengurus anak-anak mereka, persis seperti slogannya The Urban Mama

6. Apa yang dirasa baik untuk seseorang dalam satu hal, belum tentu dirasa baik oleh orang lain. Jadi, sebelum memberi masukan kepada orang lain, niatkan untuk hanya sekedar berbagi pengalaman. Perkara diterima atau tidak, itu hal lain.

7. Ilmu pengetahuan terus berkembang, jadi apa yang dianggap benar/baik di masa lalu mungkin saja berubah di masa sekarang. Sepantasnya menjadi orang yang berwawasan terbuka terhadap perkembangan ilmu dan temuan ilmiah yang terbaru.

Kenapa sih perhatian harus diwujudkan dalam bentuk pertanyaan/komentar/pernyataan seperti ini???

*Pengingat untuk diri sendiri agar tidak melakukan hal yang serupa*

Wednesday 16 January 2013

Tentang Tidur Bayi

Bicara tentang anak, memang tidak akan ada habisnya, termasuk untuk kami, si orangtua baru. Menutup tahun 2012 kemarin, si kecil memberikan kejutan manis untuk kami berdua dalam hal tidur :). Sebelum mengungkap apa kejutannya, saya ingin membuat kilas balik dari awal.

Bulan pertama kelahirannya, secara umum si kecil tidak mengalami jadwal tidur terbalik walaupun beberapa kali membuat kami terjaga dini hari karena ia tidak mau tidur lagi setelah menyusu. Dalam bulan pertama ini, rata-rata ia terbangun 2-3 kali untuk menyusu.

Bulan kedua sampai bulan ketujuh, ia hanya bangun satu kali dalam semalam. Namun, ada pula saat-saat dimana ia terbangun berkali-kali dalam semalam, biasanya ketika kami sedang bepergian jauh dari rumah.

Nah, yang menjadi tantangan terbesar bagi kami adalah ketika menidurkannya pada malam hari. Si kecil kerap menangis sebelum tertidur. Berbagai cara sudah kami lakukan, mulai dari menimang, menggendong dengan kain samping, menyanyikan nina bobo, sampai memijat demi membuatnya nyaman sebelum tidur. Di bulan kedua, seringkali 1-2 jam dihabiskan untuk menidurkan si kecil. Belum lagi kalau ia sudah tampak lelap di pangkuan, begitu diletakkan di boks..eeh, menangis dan bangun lagi. Memasuki usia tiga bulan, frekuensi menangis sebelum tidurnya mulai berkurang sedikit demi sedikit dan ia bisa tertidur kembali setelah selesai menyusu. Kami juga mulai mencoba menerapkan sleep training untuk bayi kami dengan harapan ia dapat belajar tidur tanpa harus selalu digendong. Di Indonesia, bayi usia muda ditidurkan dengan digendong atau ditimang-timang adalah lazim, namun tidak demikian halnya di Perancis, negara asal suami saya. Karena perbedaan budaya inilah, maka kami berkompromi dalam menerapkan sleep training. Dimulai dari menemani si kecil di pinggir boksnya sampai ia jatuh tertidur, ditimang/digendong dengan kain samping, sampai dibiarkan menangis selama beberapa saat sebelum akhirnya kami datangi, semuanya kami coba. Terus terang, saya sendiri kesulitan dalam menerapkan metode ini karena saya khawatir dengan dampak jangka panjang yang akan terjadi bila anak dibiarkan menangis. Di sisi lain, saya juga khawatir dengan sleep training, saya tidak akan berkesempatan untuk menimangnya sebelum tidur, dan kekhawatiran-kekhawatiran lainnya yang berkaitan dengan kepribadian si anak kelak. Tapi, dengan beberapa pertimbangan, akhirnya saya menetapkan hati untuk menerapkan metode Ferber yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan kami sebagai berikut:

1. Setelah selesai disusui, dalam keadaan mengantuk namun masih sadar, bayi disimpan di boksnya. Sesuai saran dari dokter anak kami, pastikan popok bayi dalam kondisi kering, bayi tidak demam, dalam keadaan kenyang dan tidak kepanasan/kedinginan. Kami usahakan selalu meletakkan bayi di boks pada saat dia terlihat mengantuk, yaitu ketika ia menguap, mulai menggosok mata, tidak mau diam ketika digendong, dan menarik-narik telinganya. Ketika tanda-tanda mengantuk itu mulai terlihat, berdasarkan pengalaman, lebih mudah membuatnya tidur tanpa tangisan berarti.

2. Bila bayi menangis sesaat setelah diletakkan di boks, datangi segera dan ucapkan kata-kata untuk menenangkannya selama tidak lebih dari 1 menit, setelah itu tinggalkan. Bila masih menangis, datangi 2 menit kemudian dan biasanya saya ucapkan kalimat afirmasi bahwa ia bisa tidur sendiri dan bahwa bapak ibunya ada di dekat dia, kemudian tinggalkan lagi. Bila masih menangis terus, datangi 5 menit kemudian, kalau masih menangis juga, datangi 10 menit kemudian dan lakukan hal yang sama. Dengan cara ini, perlahan bayi kami tertidur sebelum 5 menit kedua berakhir. Jika ia tidak kunjung berhenti menangis setelah 10 menit yang ketiga, kami akan mengambilnya dari boks dan menimangnya sampai tertidur.

3. Kami mulai sleep training secara bertahap pada saat usia si kecil 3 bulan setelah berhasil menepis perasaan ragu-ragu dan maju mundur mengingat banyaknya kontroversi tentang usia yang tepat untuk memulai sleep training. Belum lagi dengan adanya no-cry sleep solution methods membuat saya sendiri semakin gamang. Tapi setelah membaca beberapa sumber, bayi menangis ketika akan tidur adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Dokter anak kamipun menegaskan bahwa itu adalah hal yang wajar *maklum orangtua baru yang belum berpengalaman ini paling tidak tahan mendengar si kecil menangis keras sebelum tidur*

4. Metode ini hanya kami terapkan ketika sedang berada di rumah dan hanya pada saat tidur malam hari. Ketika sedang bepergian, semuanya menjadi fleksibel. Ketika ia bangun dan menangis karena lapar saat dini hari, saya tidak pernah menerapkan metode ini. Yang saya lakukan adalah langsung mengambilnya dan menyusuinya.

5. Keberhasilan sleep training pada setiap bayi berbeda-beda. Dalam kasus kami, kurang lebih setelah dicoba selama dua bulan secara konsisten, baru menampakkan hasil yang signifikan.

6. Sebagaimana umumnya bayi yang kerap bersuara bahkan pada saat tidur sekalipun, kami berusaha untuk tidak langsung mengambilnya begitu mendengar suaranya. Dari awal, kami pastikan bahwa memang si kecil terbangun karena haus/basah, bukan karena dia ber'bicara' dalam tidurnya. Justru apabila ia ber'bicara' dalam tidurnya dan kita kemudian menggendongnya, maka ia akan terbangun dan jadinya malah cranky karena tidurnya terganggu. Memasuki usia 6 bulan dan mulai MPASI, ketika si kecil bangun di malam/dini hari, kami coba menunggu beberapa saat sebelum mengambilnya. Apabila ia haus, ia akan terus menangis, tapi seringkali ia terbangun, berceloteh/menangis beberapa saat, dan jatuh tertidur kembali.

Selain itu, berdasarkan apa yang kami dengar dan kami baca, kami juga berusaha menerapkan rutinitas sehari-hari pada si kecil. Karena kami tinggal di apartemen dimana akses terhadap sinar matahari dan udara segar terbatas, dari sejak ia lahir, setiap pagi, kami membawanya berjemur di taman dekat apartemen atau di pinggir kolam renang apartemen. Dari pengalaman kami, sangat terasa bedanya ketika ia dibawa keluar pada pagi hari, tidur malamnya menjadi lebih mudah dibandingkan jika ia berada sepanjang hari di dalam rumah. Saya juga selalu membawa si kecil kemanapun saya pergi. Jadi, dalam kamus kami tidak ada istilah "tidak keluar rumah sampai bayi berusia 40 hari". Tentunya saya keluar rumah karena memang ada keperluan, bukan semata hanya untuk window shopping. Sekarang, frekuensi mengunjungi tamanpun bertambah menjadi dua kali sehari, pagi dan sore hari. Alhamdulillah, banyaknya aktivitas si kecil di luar rumah sangat membantu mengatasi tantangan menidurkan si kecil.

Bagaimana dengan tidur siang? Nah, untuk tidur siang masih menjadi PR besar, karena si kecil hanya bisa tidur siang sebentar, kalaupun bisa sampai 1 jam, itu karena ada saya di sampingnya. Paling tidak, saya memakai kesempatan ini juga untuk beristirahat. Pada awalnya, saya sempat khawatir karena si kecil termasuk ke dalam golongan bayi yang tidurnya sedikit namun setelah berkonsultasi dengan dokternya, saya bisa lebih lega mendapat penjelasan bahwa tidak semua bayi mempunyai jumlah jam tidur yang sama.

Lalu, apa kejutannya? Terhitung sejak tanggal 25 Desember 2012 pada usia 7,5 bulan, si kecil sudah bisa tidur sepanjang malam, dari jam 19.30-20.00 sampai jam 05.00 keesokan harinya...horeeee! Setelah sempat makan hati menerima komentar kenapa bayi kami belum juga bisa tidur sepanjang malam, Alhamdulillah akhirnya si kecil menunjukkan kemampuannya. Sekarang tangisan menjelang tidurpun sudah jaraaaang sekali, seringnya ketika ia mulai mengantuk, kami bawa ke kamar, ditimang-timang sambil dibacakan do'a tidur dan diciumi, terus diletakkan deh di boks. Biasanya ia akan menangis beberapa detik sambil mencari posisi yang enak sebelum benar-benar tidur atau malah begitu disimpan, langsung memejamkan mata. Jadi, meskipun menerapkan metode ini, kami masih tetap dapat menimangnya sebelum tidur, mendendangkan lagu pengantar tidur dan kami berdua dapat bergiliran menidurkannya. Ya, suami saya berkeras ingin bisa menidurkan anak kami karena berkaca dari pengalaman seorang teman yang merasa tidak berdaya sebab putri semata wayang mereka hanya bisa tidur jika ditemani ibunya. Dalam hal ini, saya diuntungkan, karena jika suami sedang tidak bertugas ke luar kota, maka setiap malam dialah yang dengan senang hati akan menidurkan si kecil :).

Kami sadar bahwa akan ada banyak perubahan dalam siklus pertumbuhkembangan bayi, termasuk pola tidurnya. Namun, kami optimis, apapun perubahannya nanti dapat dipelajari dan dipahami, tentunya dengan penuh kasih sayang. Yang jelas, saya bersyukur dapat menikmati tidur malam selama 6-8 jam kembali seperti dulu, terima kasih anakku sayang :).

Saturday 12 January 2013

Sang Tetangga

Akhir pekan ini kami mengundang tetangga sebelah untuk minum teh di rumah. Sebagai konsekuensi tinggal di apartemen, intensitas bertemu dengan tetangga termasuk jarang, bahkan yang satu lantai sekalipun. Saya sendiri sudah beberapa kali melihat pasangan muda dengan bayi perempuan mereka yang cantik ini di taman dekat apartemen sampai suatu hari kami berpapasan. Ternyata mereka tinggal di unit tepat sebelah unit kami. Setelah beberapa kali kesempatan berpapasan dan sekedar menyapa, akhirnya kami bisa juga mengobrol panjang lebar dan kebetulan, kami sama-sama mempunyai bayi yang sebaya..jadi obrolan sesama orangtua barupun semakin seru!

Pada awalnya, pasangan muda ini menarik perhatian saya karena mereka selalu bersama-sama ketika membawa bayi mereka jalan-jalan di taman di pagi atau sore hari. Tentu saja saya penasaran dan sedikit iri, karena selama ini hanya saya yang menemani si kecil jalan-jalan di taman, kecuali pada akhir pekan. Dari obrolan kemarin, rasa penasaran saya terjawab sudah. Pasangan muda simpatik yang berasal dari Amerika Serikat ini termasuk beruntung karena keduanya bekerja di perusahaan di Amerika sana namun memungkinkan mereka untuk melakukan pekerjaannya dari jarak jauh. Karena itu pula, mereka dapat sekaligus mengurus putri kecilnya tanpa bantuan siapapun walau keduanya bekerja. Wuiiihh..saya iri mendengarnya..saya iri untuk teman-teman saya, para ibu bekerja yang harus berjuang setengah mati membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan, belum lagi mengingat susahnya mencari tenaga pengasuh yang bisa diandalkan untuk anak-anak mereka.

Tentunya selalu ada konsekuensi dari jenis pekerjaan apapun, dan untuk tetangga kami ini, intensitas interaksi dengan dunia luar relatif terbatas. Itu juga sebabnya kami tidak pernah melihat mereka sebelumnya karena sebelum putrinya lahir, mereka mengaku jarang sekali keluar dari apartemen.

Hm, kira-kira kapan ya perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat memberlakukan kebijakan seperti ini? Saat ini sih saya masih menikmati saat-saat menjadi ibu rumah tangga, namun kalau suatu hari nanti ingin kembali bekerja, hal-hal yang menjadi dilema ibu bekerja otomatis akan menjadi bagian hidup saya.

Tetangga oh tetangga, kalian sungguh beruntung :)