Thursday, 17 January 2013

Kenapa Sih?

Belasan tahun yang lalu, sewaktu masih menjadi remaja berseragam putih biru, beberapa kali saya menerima "nasihat" dari kerabat dekat "tuh, seperti si A atau si B, pintar, masuk sekolah/PTN favorit, dst." Hal remeh seperti ini saat itu terdengar mengesalkan untuk saya. Saya yakin tidak ada seorangpun yang senang dibanding-bandingkan bukan? Ketika saya menceritakan hal ini kepada ibu saya, dengan bijak beliau berkata "tidak perlu didengarkan, biarkan saja, malah justru jadikan pemicu". Alhamdulillah, di kemudian hari, saya menjadi yang pertama dari generasi kami dalam hal yang terkait dengan pencapaian akademis, dan komentar-komentar itupun lenyap dengan sendirinya.

Beberapa tahun yang lalu, ketika hampir saudara dan teman-teman dekat sudah menemukan tambatan hatinya, saya sering menerima komentar seperti "jangan pilih pilih" atau "jangan terlalu fokus bekerja, nanti keburu tua dan tidak laku" atau "mana pacarnya?". Awalnya saya bisa bersikap santai, tapi lama kelamaan dibombardir dengan pertanyaan seperti itu membuat kesabaran saya diuji. Saya sempat berada pada fase "malas datang ke acara-acara dimana sekiranya pertanyaan-pertanyaan serupa akan muncul". Ditengah-tengah komentar yang membuat gerah tersebut, ada komentar seseorang yang selalu saya ingat " tenang saja, tidak perlu khawatir, nanti saatnya akan datang juga". Yang terpenting, ibu saya sendiri saja tidak repot, kok malah orang lain yang repot???

Setahun yang lalu, ketika saya hamil dan bercita-cita ingin melahirkan secara alamiah tanpa menggunakan obat penghilang sakit apapun seperti epidural, saya menerima komentar "kenapa kok mau-maunya merasakan sakit padahal ada cara lain untuk menghindari itu?" dari seseorang yang merasa terselamatkan dengan adanya epidural. Ketika pada akhirnya, saya diberi kesempatan untuk melahirkan putra pertama kami sesuai dengan harapan, dan saya ditanya kembali apakah saya puas dengan semua yang dialami sewaktu proses melahirkan? Saya jawab puas dan tidak ada komentar lanjutan.

Sekarang, ketika saya sudah mempunyai anak, komentar yang berdatanganpun masih juga beragam seperti ini: "anaknya tidak diberi pisang/bubur susu? Anak saya dulu usia 4 bulan saya kasih pisang/bubur susu dan dia suka lho" padahal anak saya belum genap berusia 6 bulan ketika itu; "giginya belum tumbuh ya? belum bisa merangkak ya?" ketika tahu anak saya belum bergigi dan merangkak; "kasih biskuit (instan) anaknya" ketika anak saya tampak tertarik melihat orang lain makan; "umur segitu kenapa gak dikasih bubur susu/biskuit?" ketika sudah saya jelaskan bahwa anak saya sudah makan banyak variasi buah, sayur, dan serealia; "kenapa strollernya tidak dihadapkan ke jalan biar anaknya bisa lihat-lihat? kasihan tidak ada pemandangan kalau seperti itu" ketika melihat saya yang menggunakan rear-facing stroller; "lho kok menyusu terus?lapar ya?" ketika melihat anak saya -yang ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai sekarang-sedang menyusu (lagi); "jaman dulu saja bayi sudah kenal gula garam, buktinya sekarang gedenya tidak masalah" ketika mendengar prinsip saya yang berusaha untuk tidak mengenalkan gula garam sampai usia 1th dan meminimalkan pemberiannya setelah usia tersebut; "bayinya bau tangan ya?" ketika sekali waktu bayi saya menangis waktu disimpan di stroller pinjaman; "maunya sama ibunya terus nih" ketika bayi saya menangis saat digendong orang lain dan baru berhenti menangis ketika saya gendong; "kasih nonton acara-acara di TV yang khusus bayi itu lho biar anteng" ketika melihat bayi saya menangis meminta perhatian; dan masih banyak lagi. Rasanya, bekal sabar harus lebih ditingkatkan lagi ketika menghadapi pertanyaan dari orang-orang yang rata-rata kebetulan sudah lebih dulu (saya tidak mengatakan berpengalaman) mempunyai anak. Rasanya, saya ingin mengemukakan alasan-alasan saya terhadap semua pertanyaan tersebut berdasarkan apa yang saya baca dari buku dan konsultasi dengan dokter anak kami, tapi kemudian terpikir mungkin saya justru dianggap sok tahu dan tidak mau mendengar nasihat dari yang sudah "berpengalaman". Yang pasti, saya punya semua penjelasan rasional dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun apa gunanya jika malah memancing debat yang sebetulnya tidak perlu yang kemudian membuat suasana jadi tidak enak? Pada akhirnya, saya hanya menjawab seperlunya saja.

Saya jadi bertanya-tanya, apakah mereka yang menanyakan hal-hal serupa seperti diatas itu tahu bahwa:

1. Lulus dari PTN favorit bukan jaminan kesuksesan. Kalaupun pintar secara akademis tetapi tidak matang secara emosional, apa gunanya?

2. Mencari dan memilih pasangan hidup itu tidak semudah mencari dan memilih pakaian dan tidak semua orang beruntung langsung dapat bertemu dengan jodohnya.

3. Setiap orang punya mimpi dan keinginannya masing-masing dalam segala hal dan tidak seorangpun dapat mengubahnya.

4. HARAM hukumnya membanding-bandingkan tumbuh kembang anak yang satu dengan anak yang lain, karena setiap anak itu UNIK. Hal ini perlu diingat baik-baik untuk diri sendiri dan juga sebelum memberikan masukan kepada orang lain.

5. Pengalaman apapun dari mereka yang telah "berpengalaman" belum tentu dapat diterapkan pada orang lain karena setiap orang mempunyai gaya masing-masing dalam membesarkan dan mengurus anak-anak mereka, persis seperti slogannya The Urban Mama

6. Apa yang dirasa baik untuk seseorang dalam satu hal, belum tentu dirasa baik oleh orang lain. Jadi, sebelum memberi masukan kepada orang lain, niatkan untuk hanya sekedar berbagi pengalaman. Perkara diterima atau tidak, itu hal lain.

7. Ilmu pengetahuan terus berkembang, jadi apa yang dianggap benar/baik di masa lalu mungkin saja berubah di masa sekarang. Sepantasnya menjadi orang yang berwawasan terbuka terhadap perkembangan ilmu dan temuan ilmiah yang terbaru.

Kenapa sih perhatian harus diwujudkan dalam bentuk pertanyaan/komentar/pernyataan seperti ini???

*Pengingat untuk diri sendiri agar tidak melakukan hal yang serupa*

4 comments:

  1. Waktu masih sekolah, rasanya gak afdol gak sekolah di tempat favorite. Tapi setelah di dunia kerja, apalagi sekarang makin menyadari bahwa gak ada rumus pasti dalam kehidupan ini.
    Bahwa sekolah uduk-uduk bakalan kerja di perusahan uduk-uduk, duduk di posisi uduk-uduk.
    Bahwa sekolah negeri favorite bakalan kerja di perusahaan mentereng, duduk di posisi bergengsi.
    Ternyata semua itu gak dijamin 100% kebenarannya.
    Rezeki sudah ada yang ngatur. *tumben aku wise gini ya*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener sekali Indah, sejalan dengan waktu dan pengalaman, ternyata banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam hidup, bukan hanya terbatas pada "dulu sekolah dimana?" :). Hihi, bukannya memang hampir setiap saat wise ya bu? *setidaknya itu yang terlihat dari postingan2mu :)*

      Delete
  2. I feel you Pungky, apalagi aku anak pertama, segala sesuatunya kudu perfect buat orangtuaku. At least Pungky bisa berlindung dibalik ibu, klo aku dulu udah sampai ke tahap orangtua pun sudah tidak sabar menunggu si jodoh datang ;). Anyway, at least you know how to handle it and end it beautifully :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya Ki, terbayang beratnya 'beban' jadi anak pertama karena jadi contoh buat adik-adik juga. Hihi, ibu jadi tameng saya dalam menghadapi 'social pressure' dari lingkungan sekitar. Yes, we are indeed lucky to have coped with it, aren't we?

      Delete