Pertama kali mendengar sebuah tempat bernama Bukit Lawang beberapa tahun lalu gara-gara salah satu unit di kantor saya mempunyai proyek disana. Berbanding terbalik dengan tipikal unit saya yang kerjanya kebanyakan mengurusi
meeting,
workshop, conference ini itu yang jauh dari menarik, hampir semua lokasi proyek yang dikerjakan unit tetangga ini terdengar eksotis di telinga saya, termasuk Bukit Lawang. Saya sempat bercita-cita untuk pergi kesana tapi entah kapan, mengingat kesempatannya, dan juga biayanya sampai akhirnya saya pindah dari Indonesia.
Ketertarikan pada Bukit Lawang kembali muncul baru-baru ini karena baca-baca tulisan sang nyonya penggemar sepatu di
blognya. Walaupun begitu, belum ada bayangan sedikitpun untuk pergi kesana dalam waktu dekat. Siapa sangka, malam tahun baru malah kami lewatkan di Bukit Lawang! Semua berawal gara-gara menjelang akhir tahun, kami belum punya rencana liburan sama sekali. Mau liburan ke Thailand utara seperti Chiang Mai atau Chiang Rai, semua hotel dan tiket pesawat habis; mau backpacking ke Vietnam (HCMC, Dalat dan Hoi An) gagal karena tepat sebelum beli tiket online, kami baru sadar kalau suami perlu visa masuk ke Vietnam; mau ke Siam Reap, harga hotelnya mengerikan...eehh tiba-tiba si suami bilang kalau dia punya bagian miles yang akan hangus dalam lima bulan ke depan dan setelah dihitung-hitung jumlahnya cukup untuk dua orang SIN-KNO p.p. Jadilah, tiga hari sebelum hari H, kami baru beli tiket pesawat dan cari-cari akomodasi di tempat tujuan plus obrak-abrik blog Noni yang penuh dengan info yang kami butuhkan. Beruntung masih ada akomodasi yang kosong di tempat-tempat tujuan kami. Pokoknya, perjalanan kali ini benar-benar tanpa perencanaan matang, hehehe...mentang-mentang mau liburan ke negara sendiri ceritanya.
Di Medan sempat menginap satu malam dan keesokan paginya, kami menuju Bukit Lawang yang ditempuh dalam waktu 2 jam. Kami menginap di
Ecolodge, tapi karena persiapan yang serba mendadak, jadi gagal deh pesan via Noni demi mendapat diskon :(. Suasana Ecolodge di hari terakhir tahun 2013 cukup ramai dengan wisatawan domestik, selain wisatawan mancanegara yang memang berniat melakukan
jungle trekking. Sore itu kami melewatkan waktu di Ecolodge sambil menikmati pemandangan sungai Bohorok yang mulai dipenuhi pengunjung sekaligus mencari info untuk persiapan trekking besok. Suami dan mertua pernah ke Bukit Lawang tahun 2007, jadi untuk guide, kami menggunakan jasa guide yang sama yaitu pak Tomin yang juga adalah pegawai Taman Nasional sekaligus kenalan dari teman-teman baik kami.
|
Keramaian di tepi sungai Bohorok pada penghujung tahun 2013 |
|
Pondok informasi di Ecolodge |
|
|
Suasana Ecolodge | |
|
Restoran Ecolodge yang ikut didandani untuk acara makan malam | |
|
Hornbill room yang kami tempati |
Setelah makan malam, kami memutuskan beristirahat karena besok pukul 8 pagi sudah harus siap untuk trekking. Menjelang tengah malam, kegaduhan suara petasan, kembang api yang berasal dari seberang sungai Bohorok semakin keras terdengar dan mencapai puncaknya ketika tahun berganti. Yang ada di pikiran saya waktu itu, kasihan hewan-hewan di hutan, kita saja manusia sangat terganggu apalagi hewan-hewan yang terbiasa dengan suasana hutan yang senyap.
Pagi hari tanggal 1 Januari, kami memulai trek dengan melintasi rute di belakang Ecolodge. Karena muka air sungai Bohorok yang meninggi akibat hujan terus menerus beberapa hari terakhir, penyeberangan melalui sungai untuk langsung menuju
feeding site tidak dapat dilakukan dan menurut petugas penginapan, kunjungan ke
feeding site selama dua hari terakhir ditiadakan. Karena kami, khususnya saya sangat ingin bertemu orang utan, pak Tomin mengajak kami untuk mengambil rute lain.
|
Sebelum perjalanan dimulai |
Saya sempat terheran-heran ketika melihat sebuah bangunan rumah yang kokoh dan cukup mewah. Menurut pak Tomin, rumah tersebut dimiliki oleh warganegara Perancis yang menikah dengan pria setempat. Mereka juga yang membangun jalan setapak yang kami lalui. Jalan setapak itu membawa kami memasuki areal perkebunan karet dan pak Tomin sempat berhenti sebentar untuk menjelaskan proses penyadapan getah karet. Trekking di alam bebas selalu menyenangkan untuk saya, meskipun kali ini trekking-nya sambil membawa gembolan seberat 12 kg di punggung saya. Sepanjang perjalanan, kami ditemani suara burung, suara
thomas leaf's monkey bersahut-sahutan, gemerisik daun yang tertiup angin, bau khas hutan hujan tropis yang segar...aahhh....surga!
|
Jalan setapak yang membelah perkebunan karet | | | | | |
|
Pohon karet yang disadap |
|
Belum setengah jam berjalan, ada yang ketiduran dibelai udara hutan yang segar :D |
|
Asyik menikmati makanan ringan |
Hampir 1,5 jam kami berjalan kaki sampai kami bertemu dengan rombongan lain yang tampaknya sedang berhenti mengamati sesuatu. Ternyata ada keluarga orang utan di atas pohon! Bukan main senangnya saya..di atas pohon terlihat 1 ekor orang utan jantan dan 1 orang utan betina sedang menggendong bayinya lengkap dengan sarang mereka di salah satu batang pohon. David yang tertidur tidak lama setelah kami memulai trek terbangun ketika kami berhenti. Rupanya ia juga tidak mau melewatkan pemandangan indah ini. Rasanya seperti mimpi menjadi kenyataan untuk saya, melihat orang utan di habitat aslinya. Terus apa yang mereka lakukan? asli, orang utan itu hidupnya santai sekali dan ekspresi mukanya menunjukkan kesantaian mereka. Dari papan informasi di Ecolodge, orangutan bangun pagi sekitar pukul 6 pagi, dan aktivitasnya sepanjang hari adalah, makan,
siesta, pindah dari satu pohon ke pohon lain, makan, membuat sarang, dan sekitar pukul 4 atau 5 sore sudah tidur lagi. Geli deh melihat ekspresi muka orang utan jantan yang memandangi kami di bawah..apa ya yang ada di pikirannya melihat sekelompok manusia mengamati tingkah laku mereka? Menurut pak Tomin, karena pada umumnya orang utan adalah hewan soliter yang hidup menyendiri, beruntung kami bisa melihat keluarga orang utan sekaligus.
|
Family of three vs Family of three :) (Foto: Pak Tomin) |
|
In action |
|
Orang utan jantan dewasa (Foto: Pak Tomin) |
|
Coba perhatikan lirikan matanya :p |
|
Duduk melamun |
Mengutip penjelasan dari papan informasi yang kami baca di Ecolodge, orang utan hanya terdapat di Borneo (Kalimantan dan sebagian Malaysia) dan Sumatra. Orang utan Sumatra sendiri saat ini hanya terdapat di Sumatra Utara dan Aceh dalam wilayah yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser dengan jumlah total 6,600 ekor dan 85% dari jumlah tersebut berada di Bukit Lawang. Orang utan berada dalam daftar merah IUCN (Internasional Union for Conservation of Nature) sebagai
Critically endangered species atau spesies yang terancam punah. Orangutan betina melahirkan sekali dalam 8 tahun, jadi dapat dibayangkan betapa kritisnya kelangsungan hidup mereka.
Setelah puas mengamati tingkah laku mereka, kami melanjutkan perjalanan menuju
feeding site. Perjalanan sempat terhenti karena mengamati 1 ekor orang utan betina beserta bayinya yang sedang bersantai di pohon. Idealnya, bila sungai Bohorok dapat diseberangi,
feeding site atau tempat pemberian makan orang utan dapat dicapai dengan naik perahu kemudian berjalan kaki. Kami mengambil jalan belakang yang lebih jauh dan naik turun, namun bonusnya melihat banyak orang utan,
macaque,
thomas leaf monkey, dan suasana hutan yang damai dan segar, terus menyeberangi sungai kecil berair bening. Tidak sebesar dan seindah Sungai Landak yang dilalui Noni waktu trekking ke sini, tapi lumayan menyegarkan.
|
Meniti turunan yang licin |
|
Sungai kecil berair jernih dan segar |
Kami tiba di
feeding site menjelang siang ketika orang-orang bergerak turun.
Feeding dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 8.00 dan pukul 15.00. Ketika sampai di atas, hanya ada sepasang suami-istri. Di hadapan mereka, duduk di atas landasan berupa kayu-kayu seekor orang utan betina dengan bayi menggelayut di tubuhnya yang sedang asyik makan pisang. Ada betina lain dengan bayinya di tempat itu, namun agak jauh dari tempat kami berada. Sekitar setengah jam kami habiskan disitu sampai akhirnya kedua betina dan bayi mereka masing-masing pergi meninggalkan kami. Berbeda dengan orang utan Borneo, orang utan Sumatra hidup di atas pohon, karena itu
feeding site dikondisikan sesuai dengan kebiasaan mereka sehingga dibangun palang - palang kayu di ketinggian sebagai tempat mereka berpijak. Oya, jarak aman untuk mengamati orang utan adalah 7-10 meter.
|
Orang utan betina dan bayinya (Foto: Pak Tomin) |
|
Nyam nyam nyam... | |
|
Menggelayut manja pada induknya..menggemaskan! |
|
Apa lihat-lihat? Mau pisang juga ya? :D |
Dalam perjalanan pulang, kami menyeberangi sungai Bohorok yang berarus deras dengan menggunakan perahu yang ditarik tali tambang di sisi lain sungai. Arus sungainya deras sekali sampai saya nyaris terjengkang di perahu dengan David di pelukan saya...pfiuuuhhhh...menegangkan meskipun cuma beberapa detik! Ketika sampai seberang, seorang pemuda yang bertugas menarik tali tambang bilang ke saya "Kakak jangan panik, kalau kakak panik, kami lebih panik lagi" :D. Gimana gak panik dik, belum ambil posisi untuk duduk, tiba-tiba perahu sudah oleng saja dipermainkan arus sungai yang tanpa ampun kencangnya :(..Sepertinya saya tidak berbakat untuk ikut rafting, tubing, atau kegiatan sejenis, bisa-bisa gemetaran duluan sebelum mencoba. Syukurlah, kami tiba di seberang sungai dengan selamat dan bergegas pulang melawan arus pengunjung yang membanjiri kawasan Bukit Lawang di hari pertama tahun 2014.
|
Perahu yang diikat tali pada kedua sisi sungai |
|
Sungai Bohorok |
Saya tidak menyangka sisi sungai Bohorok ini sangat terbangun, ada banyak warung, penginapan, kios-kios dan volume pengunjung yang datang hari itu...wuiihhh...seperti suasana pasar Tanah Abang menjelang Hari Raya..padat sepadat-padatnya! Pak Tomin sempat bercerita kalau penginapan-penginapan yang kami lalui itu rata-rata dibangun oleh warga negara asing (dan kebetulan berasal dari Perancis) yang menikah dengan pria setempat (jadi ingat cerita kamu, Non :p). Jadi anggapan bahwa pria Perancis itu romantis perlu dipertanyakan lagi, buktinya perempuan Perancis (setidaknya beberapa) malah lebih memilih pria Indonesia. Tidak percaya? Lihat saja di Bukit Lawang :)
|
Penginapan-penginapan di kawasan Bukit Lawang |
|
Pengunjung mulai ramai berdatangan |
|
Salah satu penginapan di Bukit Lawang |
|
Kawasan penginapan tampak dari arah hutan |
Trekking kami hari itu berakhir sudah dan kami puas..tidak sia-sia berjalan berjam-jam demi bertemu orang utan. Padahal malam sebelumnya, Bukit Lawang diguyur hujan deras sekali dan saya (yang sedang belajar untuk menjadi
wise traveler ini) berpikir kalaupun tidak memungkinkan untuk trekking keesokan harinya, paling tidak saya dapat berjalan-jalan menikmati alam bebas di dekat penginapan. Sementara suami sudah pernah melihat orang utan dan David apalagi, dia sih santai saja tidak begitu peduli mau dibawa kemana dan lihat apa karena main dengan semut di lantai beranda kamarpun, senangnya setengah mati. Bahkan pak Tomin tidak mau menjanjikan apakah bisa atau tidak trekking dilakukan, tergantung apakah hujan turun terus menerus semalam suntuk dan berlanjut sampai pagi atau tidak.
Alhamdulillah, pagi-pagi ketika bangun, langit cerah dan ketika pak Tomin datang jam 8 pagi, beliau bilang kami bisa trekking.
Menutup petualangan hari itu, kami juga berkesempatan mengunjungi
visitor center TNGL-Bukit Lawang. Ternyata kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan hutan terbesar di Sumatra ini adalah rumah dari spesies langka selain orangutan, yaitu gajah Sumatra, badak Sumatra, dan harimau Sumatra. Hebat bukan? Betapa kayanya keanekaragaman hayati Indonesia. Kalau sudah begini, siapa yang tidak bangga jadi orang Indonesia?
|
Panel informasi di Visitor Center |
|
Salah satu kekayaan hayati Indonesia |
Seperti doa dan harapan saya di setiap akhir perjalanan, semoga suatu hari nanti kami bisa berkunjung lagi kesini, dan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, termasuk orang utan dan hewan-hewan hutan lainnya yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia tersebut dapat terus terjaga kelestarian serta keberlangsungan hidupnya dan tidak menjadi korban pembangunan maupun pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.
Akomodasi:
www.ecolodgebukitlawang.com
Phone: +62 812 607 99 83
Email: info@ecolodgebukitlawang.com
Reservation: reservation@ecolodgebukitlawang.com
Guide: Pak Tomin (0812 654 2408)
|
Sampai jumpa lagi, TNGL :) |
beruntung banget kamu ketemu banyak hehe tapi katanya kalo abis ujan sih biasanya mereka emang masih main2 dibawah hutan :)
ReplyDeleteOh, gitu ya Non? Iya, rasanya kayak mimpi ketemu mereka. Berarti memang keikhlasan membawa berkah ya, ikhlas kalau seandainya udah jauh-jauh ke BL terus gak ketemu orang utan, mengingat hujan malam sebelumnya bener-bener seperti tumpah dari langit dan gak berhenti sampai menjelang tengah malam.
DeleteSalut bgt Pungky, trekking bawa baby.
ReplyDeleteHehe, medannya juga tidak terlalu berat kok mbak Linda, kebanyakan treknya datar :)
DeleteJempol Buat Anda.....Saya suka dengan Jiwa petualangan anda
ReplyDeleteHalo mba, saya rencana mau kesana dgn biaya low budget (bacpacker paspasan) hehe.saya mau tau informasinya
ReplyDelete1.dari medan ke bukit lawang transportasi apa ya ?
2.penginapan dibawah 100k ada ga ya mba (syukur* dapet 50k :D)
3.trekking pake local guide feenya brp ya mba ? Kalo beruntung bisa barengan sama polisi hutan (bisa gratis hehe)
Trims mba