Saturday, 18 January 2014

Sepotong Kisah Sedih dari Bukit Lawang

Perjalanan ke Bukit Lawang di awal tahun ini bisa dibilang membuat perasaan saya campur aduk. Mulanya, saya membayangkan sebuah kawasan taman nasional yang untuk mencapainya membutuhkan perjuangan, didominasi bentang alam dan bukan kawasan terbangun, serta tidak padat oleh pengunjung seperti halnya stasiun kereta api pada saat musim mudik tiba. Maklum baru sedikit taman nasional di Indonesia yang pernah saya kunjungi dan dari yang sedikit itu, rata-rata memenuhi bayangan saya, kecuali satu hal, bahwa saya berkunjung kesana bukan pada saat pergantian tahun.

Tempat kami menginap di Bukit Lawang terletak persis di seberang Sungai Bohorok, yang untuk mencapainya kami harus meniti jembatan gantung. Jadi kendaraan yang kami sewa diparkir dan diinapkan di restoran Rindu Alam dengan biaya IDR 30.000/malam sementara kami, backpacker gadungan pada perjalanan ini (disebut gadungan karena sudah tahu mau menginap disini, kami masih juga menggeret satu koper besar dan satu koper kecil melintasi jembatan gantung, bukannya bawa ransel 50L yang pasti bakal terlihat lebih keren ketika menyeberangi jembatan :D), menginap di Ecolodge. Sewaktu kami datang, di pinggir sungai sebelum menyeberang sudah terlihat banyak keluarga menggelar tikar untuk berpiknik dan mandi-mandi di sungai. Pemandangan yang wajar sekali, melewatkan waktu bersama keluarga ke tempat wisata yang tidak terlalu jauh secara jarak dan terjangkau harganya. Lalu dimana kisah sedihnya?

Ketika kami trekking, saya bercerita pada pak Tomin, bahwa saya tidak menyangka malam tahun baru di Bukit Lawang sangatlah hingar bingar. Suara petasan dan kembang api yang menandai pergantian tahun membuat pekak telinga, sampai saya terpikir bagaimana dengan hewan-hewan di hutan ya, apakah mereka terganggu atau tidak? Pak Tomin menjelaskan  kalau binatang-binatang harusnya tidak terganggu karena mereka tinggal jauh di dalam hutan. Tapi tetap saja, saya sangat menyayangkan kenapa kami harus dengar suara petasan di kawasan taman nasional alih-alih suara binatang malam. Setelah berjalan 2 jam lebih, sampailah kami di suatu tempat yang memungkinkan untuk melihat betapa bangunan-bangunan kokoh penginapan menjamur di kawasan Bukit Lawang.

Bangunan penginapan di Bukit Lawang bagai cendawan di musim hujan :(
Keprihatinan saya semakin bertambah setelah trekking selesai dan kami melewati bangunan-bangunan yang kami lihat sebelumnya dari arah hutan. Kalau sekarang bangunan beton sudah menjamur seperti ini, bagaimana kabarnya Bukit Lawang sepuluh atau duapuluh tahun lagi? Mengapa ijin membangun penginapan atau restoran begitu mudah diberikan hanya untuk mengakomodasi pengunjung? Mengapa tidak memberdayakan rumah-rumah penduduk sehingga menjadi cukup layak untuk dijadikan homestay pengunjung demi mendukung ecotourism? Menjelang siang itu, pengunjung mulai membanjiri Bukit Lawang sampai kami berjalan seperti di gang senggol, padat tanpa ruang dengan bonus asap rokok pula :(. Mulai dari remaja tanggung, keluarga, anak sekolah, semuanya seakan tumpah ruah disana. Jalan utama yang tidak begitu lebar diapit oleh kios-kios yang menjual pakaian dan cindera mata, dipadati pengunjung dari dua arah dan di sepanjang perjalanan saya sempat lihat ada beberapa kerumunan yang membuat jalan semakin sempit, ternyata setelah diamati, kerumunan itu adalah kumpulan orang yang menonton dan bermain judi :(.

Yang ini padatnya masih normal..setelahnya abnormal!!

Pernah ke kawasan wisata gunung Tangkuban Perahu? kurang lebih suasananya sama, dengan penjual cindera mata disisi kiri dan kanan, hanya saja di Bukit Lawang, jauh lebih parah, terutama saat musim libur akhir tahun.

Semoga cerita keprihatinan saya di Bukit Lawang hanya terjadi pada musim libur tahun baru saja atau paling parah, setiap musim libur sekolah, namun di luar musim tersebut, Bukit Lawang kembali tenang tenteram seperti seharusnya kawasan taman nasional.

Melihat pemandangan di sepanjang jalan dari Medan ke Bukit Lawang, ditambah melihat kondisi sebagian kecil Bukit Lawang secara langsung, saya jadi teringat sebuah peribahasa bagus untuk diingat kita semua yang peduli dengan lingkungan dan keberlanjutan hidup anak-cucu di masa depan.

“When all the trees have been cut down,
when all the animals have been hunted,
when all the waters are polluted,
when all the air is unsafe to breathe,
only then will you discover you cannot eat money.”


― Cree Prophecy

4 comments:

  1. Pungky, ini yang bikin si Matt ogah jalan ke Bukit Lawang, ampe sekarang dia belon pernah kesana dan males pergi katanya. Menurut orang Ecolodge paling rame dan kacaw plus bikin hutan kotor itu yah pas musim libur dan weekend, dimana pada saat itu banyak turis domestik datang dan masuk hutan trus "nyampah" hari senin biasanya guide pas masuk hutan sekalian bersih2. Kalo bosnya si Matt datang dari Swiss (ibu Regina Fey) dia bisa ngamuk2 kalo liat ada kotoran di hutan dan guide2 itu bisa terkencing2 ketakutan bersiin haha. Sebenarnya sih kalo menurut aku turis2 "goblok" itu harus dibasmi atau kalau perlu gak boleh bawa apa2 ke hutan selain minuman (tapi ada botol ya huhu) plus buah2an untuk cemilan. SEmentara hotel2 dan warung2 itu emang ganggu banget kan ya, aku gak lewatin daerah yang kamu ceritain itu kemaren Pung, soalnya males ngeliatnya haha. Jadi dari Ecolodge aku langsung pulang atau yah masuk hutan aja dari halaman belakang. NGeliat foto kamu itu bener2 deh ya :( . SEdih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Loh, jadi Matt itu belum pernah ke BL? terus neliti primatanya dimana Non? Kebayang, saya aja yang bukan conservationist keselll banget liat kondisi disana, apalagi Matt dan bosnya ya, pasti murka! Itulah jeleknya masyarakat kita, menganggap lingkungan sekitar adalah tempat sampah, padahal apa susahnya dibawa di tas masing-masing dan dibuang kalau nemu tempat sampah? Terus, bukannya kontra pengembangan ekonomi lokal, tapi kehadiran kios, hotel, warung disana kok sepertinya bener-bener tidak terkontrol, asli bikin ilfeel setelah sebelumnya bangga bukan main dengan kekayaan alam yang Indonesia punya.

      Delete
  2. saya shock loh baca ternyata kondisi bukit lawang tuh parah bangat ya?
    soalnya tahun lalu saya datang pas bln Februari dan sepi, tenang bgt. di hutan juga cuma satu grup yg saya temuin ps lg trekking.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, mbak Rekha beruntung kalau begitu bisa menikmati Bukit Lawang yang tenang. Tapi bagaimana dengan kios penjual yang berderet-deret? ada jugakah waktu mbak kesana? Mungkin karena kedatangan kami juga bertepatan dengan malam pergantian tahun. Pelajaran untuk besok-besok kalau mau jalan-jalan ke Taman Nasional lagi, lebih baik pergi di bulan yang sepi pengunjung. Oia, salam kenal dari saya, terima kasih sudah mampir :)

      Delete