Wednesday, 2 October 2013

Tentang Perjalanan: Menyerempet Bahaya

Gara-gara gagal berkali-kali mengakses aplikasi Travel Brain (TB) yang sebelumnya bebas masalah, akhirnya menyerah juga, jadi untuk sementara sampai ide lain datang, scorecard nan buram dan butut itu mau tidak mau dipertahankan dulu :(. Kenapa saya ngotot pakai TB? Karena analisisnya, berdasarkan rekaman perjalanan kita, bisa menunjukkan kita termasuk tipe traveller yang mana...lumayan untuk seru-seruan, bukan setipe aplikasi lain yang cuma kasih ulasan dan berapa banyak kota yang sudah kita kunjungi. Menurut analisis versi TB "I am an explorer that flirts with danger". Masa sih?

Kalau diingat-ingat, ada beberapa perjalanan saya yang memang menyerempet bahaya, itupun baru sadarnya belakangan. Sekarang, ingat saja nyali sudah menciut :p. Saya baru mulai jalan-jalan itu tahun 2005. Perjalanan pertama saya dengan beberapa teman ke Dataran Tinggi Dieng sangat berkesan, berkat seorang teman baik yang bersikeras membayari tiket pesawat saya, saya ikut serta. Waktu itu saya belum lama bekerja, jadi banyak pertimbangan sebelum mengeluarkan uang untuk kebutuhan tersier seperti jalan-jalan. Perjalanan perdana ke Dieng juga mempunyai kisah tersendiri. Ceritanya, bapak pemilik penginapan tempat kami tinggal begitu semangat membanggakan putranya dan mencoba mempromosikannya pada saya, hanya karena saya satu-satunya yang berasal dari kota Bandung, tempat dimana putranya itu sekarang tinggal. Setiap ada kesempatan, si bapak selalu mengajak ngobrol dan menyinggung putranya dan sulit untuk diinterupsi...sampai akhirnya keempat teman saya ikut nimbrung mengalihkan pembicaraan, hehehe...

Kembali ke soal bahaya, seserius apa kebodohan yang saya lakukan ketika travelling? Serius sekali. Misalnya, saya pernah naik kapal cepat di perairan Mentawai, waktu itu kami berada di laut lepas dan cuaca cerah, karena kami berlayar dengan penduduk setempat, saya percaya 100%. Saat itu tidak ada satupun dari kami yang menggunakan jaket pelampung. Alhamdulillah kami selamat tiba di pulau tanpa gangguan cuaca berarti. Beberapa tahun kemudian, kejadian ini berulang lagi. Waktu itu kapal cepat yang saya tumpangi berlayar mengelilingi pulau Gaua di Vanuatu. Kapal yang tadinya bermuatan tujuh orang bertambah menjadi empat belas orang karena ada beberapa penduduk desa yang kami lewati ikut menumpang (desa-desa di sekeliling pulau tersebut sangat terpencil dan sulit diakses karena pantainya yang berkarang dan ombaknya ganas). Di tengah perjalanan, cuaca memburuk, turun hujan deras dan kabut begitu tebal sehingga bibir pantaipun tidak terlihat sama sekali, dan bodohnya lagi, jaket pelampung disimpan di bagian depan kapal, sehingga tidak ada seorangpun yang mengenakannya. Disaat ombak semakin mengganas sampai mencapai ketinggian kurang lebih dua meter, mesin kapal mati sehingga kapal terombang-ambing, dan salah satu penumpang kapal terjatuh ke laut. Apa yang ada di pikiran saya ketika itu? kematian! Saya membatin, kalau memang hidup saya harus berakhir di sini, di tengah lautan, siapa yang mengetahui keberadaan kami? Suami saya memang memonitor kepergian kami, tapi selama beberapa hari di pulau, komunikasi terputus karena tidak ada sinyal telepon. Berbagai pikiran buruk muncul silih berganti, sambil saya berdoa tetap memohon keselamatan. Setelah entah berapa lama, badai mereda dan kami berhasil pulang dengan selamat, meskipun para penumpang kapal, termasuk saya,  masih shock dengan kejadian itu. Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk hidup.

Kejadian lain, waktu saya dan seorang teman kebetulan sedang transit di bandara JFK. Saya berniat bertemu dengan teman saya yang kebetulan sedang bertugas disana. Pesawat kami dari Guatemala City tiba malam hari dan pesawat berikutnya ke Heathrow baru berangkat keesokan paginya. Alhasil, kami pulang dari pusat kota saat dinihari menuju ke bandara. Di dalam gerbong subway yang kami tumpangi hanya ada beberapa orang, yang satu persatu kemudian turun di tujuan mereka masing-masing. Setengah perjalanan, ada seorang pria kulit hitam yang mulai menyapa kami, tampaknya dia sedikit mabuk. Teman saya yang berasal dari Kolombia, meskipun cukup terbiasa dengan situasi ini, tetap merasa takut, apalagi hanya tinggal kami bertiga di gerbong itu dan satu orang wanita kulit hitam yang tampak tidur di kursinya. Awalnya dia hanya memandang kami dari kejauhan, lama kelamaan mengajak bicara. Kami berdua berusaha tenang saat menjawab meskipun dalam hati takutnya setengah mati. Begitu pria itu mulai bicara dan berjalan mendekat, yang terpikir adalah turun dari kereta secara mendadak. Benar saja, pria itu tampak semakin berani, sambil mengeluarkan kata-kata kotor, ia berjalan mendekati tempat duduk kami di dekat pintu keluar. Kami yang sudah ketakutan masih pura-pura tenang dan tiba-tiba langsung lari keluar kereta sesaat sebelum pintu tertutup dan kereta melaju kembali membawa pergi si pria gila yang masih berteriak-teriak dari jendela. Di stasiun tempat kami turun hanya ada kami berdua dan seorang bapak petugas kebersihan yang sedang menyapu. Baru kali itu saya menginjakkan kaki di stasiun subway di New York, dan kesannya menyeramkan, apalagi pada jam 3 dini hari! Tidak lama menunggu, kami naik lagi kereta lain yang kebetulan diisi beberapa penumpang yang akan pergi ke bandara..legaaa...

Di lain waktu, saya bersama seorang teman menginap di satu hostel di kota Edinburgh. Kamar yang kami tempati itu adalah mix dorm. Saya lupa kenapa waktu itu kami pilih mix dorm, karena biasanya kalau jalan-jalan, kami selalu pilih female dorm. Namanya hostel, saat siang sampai malam hari pastinya selalu kosong, dan teman-teman sekamar kami baru pulang menjelang dini hari. Suatu malam, kami dan satu orang lagi sudah tidur ketika ada orang menggedor pintu kamar. Teman saya yang tidur di dekat pintu masuk otomatis terbangun dan membukakan pintu. Ternyata, orang yang menggedor pintu tersebut adalah salah satu penghuni kamar yang mabuk berat. Sambil marah-marah pada teman saya, dia berjalan menuju tempat tidurnya dan meracau sepanjang malam. Semalaman saya tidak bisa tidur karena takut terjadi apa-apa, meskipun di dalam kamar ada teman saya dan satu orang perempuan lagi. Untung saja, keesokan harinya kami sudah check out dari hostel itu. Tapi, setelah kejadian itu, kami tetap tidak kapok untuk menginap di hostel lagi, malah dalam perjalanan berikutnya di Derry, kami bertiga perempuan menginap dengan lima orang pria sebagai teman sekamar kami, yang kebetulan semuanya adalah orang baik-baik.

Pengalaman lain, waktu saya untuk pertama kalinya menumpang pesawat Cessna 207 berkapasitas 6 tempat duduk. Karena pesawatnya kecil, ketinggian jelajahpun rendah. Kalau cuaca cerah, pastinya asyik mengamati pulau-pulau dan air laut berwarna biru dan hijau di bawah. Sayangnya, waktu itu cuaca buruk, sehingga terpaan angin dan hujan deras sangat terasa menggoyang badan pesawat. Perjalanan selama 35 menitpun serasa seabad karena saya takut, meskipun pilotnya cukup meyakinkan.  Pengalaman pertama dan  terakhir (sampai detik ini) cukup berkesan meskipun saya akan pikir-pikir dulu kalau harus mengulanginya lagi sekarang.

Cerita lain yang kalau diingat lagi sekarang "kok bisaaa???" adalah waktu saya ikut mendaki gunung Santa Maria (3772 m) di Guatemala. Pendakian kurang lebih delapan jam di malam hari demi mendapat sunrise di puncak gunung. Saya bukanlah anggota pecinta alam, olahragawati, atau sejenisnya, tapi entah kekuatan darimana, akhirnya bisa juga saya mengikuti pendakian itu, padahal kami tidak diwajibkan untuk ikut pendakian. Sayang, karena udara dingin yang begitu menusuk memperparah sakit di lutut saya, sehingga begitu sampai puncak, yang ada bukannya semangat foto-foto, malah meringkuk kedinginan di dekat api unggun..menyesalll!!! Keesokan harinya, kami turun melalui jalan yang kami lewati tadi malam, dan ternyata medannya cukup berat..untung jalannya malam hari, kalau saja saya tahu kondisi medannya, mungkin saya sudah kalah sebelum perang.

Di Guatemala juga, saya trekking di gunung Pacaya dan berjalan di atas batuan yang hangat, seolah dapat merasakan lava bergolak di bawah kaki saya. Didampingi oleh staf dari otoritas setempat, kami dibawa ke tempat yang relatif aman untuk dikunjungi. Jenis lava yang keluar dari gunung ini adalah basaltik, yaitu lava yang mengalir pelan dengan kecepatan rata-rata 1 km/jam. Meskipun gunung tersebut berada dalam pengawasan otoritas setempat dan kunjungan kami juga didampingi oleh staf mereka, membayangkan dikejar-kejar aliran lava seperti di film-film membuat saya ingin cepat-cepat pulang.

Jadi, analisis TB bahwa saya suka menyerempet bahaya cukup realistis, bukan karena saya pemberani, tapi lebih karena nekad dan sedikit bodoh, hehehe...

Ada teman-teman yang punya pengalaman menegangkan sewaktu jalan-jalan? Cerita doong...

No comments:

Post a Comment