Kota cantik Luang Prabang di sebelah utara Laos mendapatkan statusnya sebagai Situs Warisan Budaya Dunia pada tahun 1995. Luang Prabang menjadi istimewa karena warisan kekayaan arsitektur tradisional bangunan berusia ratusan tahun dan terawat baik yang banyak terlihat di setiap sudut kota, berdampingan harmonis dengan gaya bangunan kolonial abad 19. Pasar malam Luang Prabang menjadi salah satu favorit kami, selain
crêpe, jajanan pinggir jalan yang banyak ditemui selama disini. Sayangnya, kami terpaksa melewatkan ritual paling populer di Luang Prabang, yaitu
early morning alms giving ceremony karena harus mengejar pesawat untuk kembali ke Vientiane
. Sekilas tampak deretan orang-orang berdiri berjejer di tepi jalan dengan membawa bingkisan berupa buah, beras ataupun makanan lain untuk diberikan kepada rombongan biksu yang akan lewat, demi mendapat doa dan berkat dari mereka.
|
Panorama Luang Prabang |
Catatan perjalanan saya di Luang Prabang ini pernah dimuat di Majalah LIBURAN Edisi Khusus Juli 2012.
Pesona Luang Prabang
Perjalanan panjang dengan kereta api selama lima belas jam yang kami tempuh dari stasiun kereta api Hua Lamphong di Bangkok sampai stasiun Nong Khai, di perbatasan Thailand – Laos masih terus berlanjut. Tidak lama menunggu, dua gerbong kereta tak berkaca membawa kami ke stasiun Thanaleng yang sudah berada di wilayah Laos. Kini, perjalanan darat dari Bangkok menuju Vientiane dan sebaliknya semakin dipermudah dengan adanya jembatan penghubung Friendship Bridge yang melintasi sungai Mekong. Perjalanan dengan kereta melintasi perbatasan Thailand – Laos membutuhkan waktu lima belas menit, dan sesampainya di stasiun Thanaleng, kami bergegas menuju loket imigrasi. Pemegang paspor Indonesia tidak lagi memerlukan visa masuk ke Laos terhitung sejak bulan September 2011. Selesai melewati imigrasi, kami memutuskan untuk menggunakan taksi sampai Vientiane dengan harga 400 Baht. Pilihan lain yang lebih murah adalah menyewa kendaraan bersama-sama dengan calon penumpang lain ataupun menggunakan tuk-tuk dengan konsekuensi menunggu sedikit lebih lama. Perjalanan dari Thanaleng ke Vientiane sendiri ditempuh dalam waktu 45 menit.
Penerbangan domestik dari Vientiane ke Luang Prabang yang membutuhkan waktu 50 menit dengan pesawat ATR berlangsung lancar. Sesampainya di bandara internasional Luang Prabang, setelah membayar tiket seharga 50 ribu kip untuk dua orang, kami menumpang taksi berupa van dengan 3 orang penumpang lain untuk diantarkan ke penginapan kami, yaitu Sayo Guesthouse. Sore itu, kami disambut di kota cantik Luang Prabang dengan semburat oranye di langit dan matahari yang perlahan mulai terbenam, sungguh indah!
Kota Sejuta Kuil
|
Kuil kecil di kompleks Vat Xieng Thong yang dipenuhi rangkaian cerita bersejarah di dindingnya |
|
Patung Buddha di Royal Funerary Carriage House |
Suhu udara kota Luang Prabang di malam hari cukup dingin, yaitu sekitar 18 derajat. Secara geografis Luang Prabang terletak di daerah pegunungan sebelah utara Laos. Begitu banyak kuil yang terdapat di kota ini, sehingga badan PBB UNESCO menjadikan kota yang terkenal dengan sebutan kota sejuta kuil ini sebagai warisan budaya dunia. Julukan itu tidaklah salah, karena kemanapun kami pergi, hampir di setiap sudut terdapat kuil-kuil besar maupun kecil. Para biarawan yang tinggal di kompleks kuil kerap terlihat sedang berdoa atau bekerja membersihkan lingkungan kuil.
|
Pahatan gambar di dinding kuil utama kompleks Vat Xieng Thong |
Kuil pertama yang kami kunjungi adalah kuil terbesar yaitu Vat Xieng Thong, yang dibangun pada tahun 1560 oleh raja Setthathirath. Dengan harga tiket masuk seharga 20,000 kip per orang, kami mengawali kunjungan di sebuah bangunan indah dengan motif dominan emas tempat disimpannya kereta kerajaan pembawa peti mati setinggi kurang lebih duabelas meter. Di tempat ini juga terdapat banyak patung Buddha. Sayangnya, ketika kami datang, bangunan kuil utama sedang mengalami renovasi sehingga tidak banyak yang dapat kami lihat di dalam kuil. Hal lain di kompleks kuil yang menarik perhatian saya adalah sebuah bangunan kecil yang pada dindingnya tertempel susunan gambar dari pecahan kaca warna-warni, diantaranya berkisah tentang kehidupan sang Buddha.
Tempat menarik lainnya yang menurut saya wajib dikunjungi adalah Luang Prabang Royal Palace Museum. Dibangun pada tahun 1904 oleh raja Sisangvang Vong, museum ini pada awalnya merupakan istana tempat tinggal raja dan keluarganya – putera mahkota Sisavang Vatthana dan keluarganyalah yang terakhir mendiami istana ini - sebelum tampuk pemerintahan jatuh ke tangan komunis pada 1975. Kota Luang Prabang juga sempat menjadi ibukota kerajaan Laos sampai tahun 1560 sebelum akhirnya dipindahkan ke Vientiane.
|
Royal Palace |
Selepas kunjungan ke museum, perjalananpun dilanjutkan ke bukit Phou Si yang berlokasi tepat di depan museum nasional untuk melihat kota Luang Prabang dari ketinggian. Tiga ratus dua puluh delapan anak tangga yang harus ditempuh sungguh sebanding dengan pemandangan yang diperoleh ketika telah berada di puncak. Di puncak bukit juga terdapat kuil Wat Tham Phou Si dengan kubah berlapis emas yang kerap digunakan untuk berdoa ataupun bermeditasi.
|
Wat Phou Si |
Pasar Malam Luang Prabang
|
Kesibukan pasar malam dimulai menjelang sore hari |
Ketika sore menjelang, kesibukan di jalan utama Sisangvang vong terlihat berbeda. Jika sebelumnya, jalanan ramai dengan pejalan kaki dan pengendara sepeda, maka menjelang sore, tenda-tenda merah menghiasi sepanjang jalan. Ya, menjelang pukul lima sore, pasar malam Luang Prabang mulai menunjukkan geliatnya. Beraneka ragam produk khas Laos dijual disana seperti benda-benda seni, lampion, pakaian, aksesoris, perhiasan, dan berbagai varian produk yang terbuat dari kain khas Laos menggoda saya dan pengunjung lainnya untuk mampir, melihat-lihat dan kemudian biasanya berakhir dengan membawa pulang barang yang diinginkan. Sebagai bentuk kepedulian terhadap perlindungan barang-barang seni di Laos, khususnya Luang Prabang, sangat tidak dianjurkan kepada para wisatawan asing untuk membeli patung Buddha antik dan membawanya keluar dari negeri itu. Sebaliknya, wisatawan disarankan untuk membeli produk karya pengrajin setempat untuk meningkatkan aktivitas ekonomi lokal. Saya sendiri begitu terhipnotis dengan cantiknya paduan warna-warna kain dan tas khas Laos, meriah, unik dan nyeni. Pasar malam ini berlangsung dari pukul 5 sore sampai larut malam, dan selama tiga hari berturut-turut saya berkunjung kesana, semakin malam, pasar semakin ramai dipadati turis yang berkunjung dalam rangka liburan akhir tahun. Puas menyusuri pasar malam, eksplorasi dilanjutkan ke pasar lain, kali ini adalah pasar makanan atau food market. Pasar makanan ini terletak di salah satu gang kecil di belakang gedung Tourist Visitor Centre Luang Prabang, di ujung jalan Sisangvang vong. Aneka penganan kecil dan makanan dijual di kedai-kedai sepanjang gang yang dilengkapi dengan meja dan kursi sederhana. Dari pengamatan saya malam itu, hidangan yang paling banyak dipesan pengunjung di hampir semua kedai adalah ikan bakar yang rasanya memang sangat lezat.
|
Aneka kain khas Laos | | | | | | | | | | | | | | | | | |
|
|
|
Pilihan menu makanan di pasar malam |
|
Payung "geulis" khas Luang Prabang |
|
Suasana Pasar Malam Luang Prabang |
|
Suasana kota Luang Prabang |
|
Kotanya bersih sekali! |
|
Deretan rumah khas Laos |
Empat hari menikmati ritme kehidupan di Luang Prabang yang bersejarah, suasana kota yang apik dan tenang, serta keramahan penduduknya membuat saya jatuh cinta pada kota ini. Hari terakhir di Luang Prabang menjadi sempurna dengan berlayar menyusuri sungai ketujuh terpanjang di Asia yang melintasi enam negara, yaitu sungai Mekong. Pelayaran selama kurang lebih 45 menit seharga 60,000 kip per orang membawa kami melihat aktivitas masyarakat di sepanjang sungai dan sekaligus menikmati pemandangan matahari terbenam yang begitu indah.
|
Matahari terbenam di sungai Mekong |
No comments:
Post a Comment