Monday, 28 September 2015

Vientiane, Si Cantik di Tepi Mekong

Patuxay, simbol kota Vientiane

Wajah kota Vientiane masih tetap sama seperti empat tahun lalu ketika saya datang kesini pertama kalinya dalam perjalanan babymoon kami menuju Luang Prabang. Tak diduga, awal tahun 2015 kami kembali lagi untuk suatu urusan administratif, kali ini bersama anak-anak.
 
Sekilas, Vientiane mirip dengan Jakarta pada tahun 1980-an, setidaknya itu yang saya rasakan pada kunjungan pertama. Datang dari Bangkok, irama kehidupan di Vientiane sungguh berbeda, begitu santai dan waktu terasa berjalan lambat. Pengaruh Perancis cukup kuat di kota ini, mengingat Laos pernah diduduki Perancis pada abad 19. Dimulai dengan menyambangi toko roti Le Banneton atau Joma Bakery & Cafe demi mencicipi croissant renyah dan lezat ditemani secangkir coklat panas, hmm..rasanya siapapun akan siap mengawali hari. Belum lagi pemandangan para backpacker yang tekun membaca buku panduan tentang Laos sambil menikmati sarapan menegaskan bahwa ritme kehidupan sehari-hari Vientiane ini cocoknya untuk liburan, santai dan tidak tergesa-gesa.

Salah satu toko kelontong di pusat kota
Lalu lintas di salah satu jalan utama, Rue Setthathirath
Salah satu sudut pusat kota

Vientiane juga ramah terhadap pejalan muslim. Ada pilihan restoran halal di sepanjang jalan paralel dengan sungai Mekong dan mesjid besar di daerah Nam Phu (Vientiane Jamia Masjid). Ada banyak ragam akomodasi di kota ini, mulai dari yang sederhana sampai yang berkelas, seperti hotel-hotel bergaya kolonial klasik macam ini atau ini yang selalu kami lewati (sayangnya cuma bisa dilewati saja dan bukan diinapi :p). Hotel tempat kami menginap tepat di samping Nam Phu Fountain juga sangat strategis, meski di Vientiane, selama di dalam kota, jaraknya kemana-mana terhitung dekat.

Selain mengunjungi stupa That Luang yang merupakan simbol nasional Laos, Wat Sisaket, dan Patuxay, pasar malam di Vientiane juga tidak boleh dilewatkan. Sayangnya, kami belum berkesempatan mengunjungi That Luang, namun sempat memasuki Wat Sisaket, satu-satunya kuil yang bertahan setelah invasi pasukan Siam pada 1827-1828, dibangun oleh Chao Anouvong antara tahun 1819 - 1824.

Wat Sisaket
Bagian dalam Wat Sisaket

Lao National Museum

Presidential Palace, Vientiane

Patuxay, Victory Gate of Vientiane

Sungai Mekong diapit Thailand dan Laos tampak dari Friendship Bridge

Salah satu bank di Vientiane


Senja sempurna di tepi Mekong

Keramaian pasar malam di Vientiane yang setiap harinya diadakan di pelataran di tepi sungai Mekong dimulai sejak sore hari. Ruang terbuka ini juga digunakan warga Vientiane untuk berolahraga, bermain, atau sekedar jalan santai menikmati pemandangan senja.

Selfie dimana-mana :)

Berada di Vientiane kurang sempurna rasanya juga terus-terusan menyantap menu India/Melayu, dan sayapun mengutarakan keinginan mencicipi makanan khas Lao pada suami. Pergilah kami ke Amphone Restaurant yang saya dapat namanya secara tidak sengaja dari Google. Suatu kebetulan kalau lokasinya berdekatan dengan kantor suami dan iapun beberapa kali pernah makan disana. Berbekal rekomendasinya, saya memesan tofu larb, vegetable spring rolls, dan nasi ketan (sticky rice) yang disajikan dalam wadah bambu kecil (boboko kalau dalam bahasa Sunda). Larb adalah sejenis salad sayuran dengan taburan daun ketumbar, cabai rawit dibubuhi kecap ikan dan jeruk nipis, biasanya dicampur dengan daging sapi, bebek, babi atau jamur, yang lazim ditemui di Laos dan daerah Isan, timur laut Thailand yang berbatasan dengan Laos. Untuk versi vegetariannya, daging tersebut bisa diganti dengan tahu putih yang tidak kalah enaknya. Menu ini wajib dicoba kalau berkunjung ke Laos karena dianggap sebagai menu khas Laos.


Matahari mulai keluar dari persembunyiannya, siap memulai tugasnya hari itu. Pesawat berjalan perlahan di landasan dan tidak lama lagi akan mengudara membawa kami pulang ke Bangkok, meninggalkan ritme kehidupan Vientiane yang tenang dan damai di bawah teriknya matahari bulan Januari. Sampai jumpa lagi, Vientiane!

No comments:

Post a Comment