Tuesday 20 May 2014

Cerita tentang Mudik

Gambar pinjam dari sini
Tidak terasa, sebentar lagi sudah memasuki bulan Ramadhan dan disambung dengan perayaan Idul Fitri. Kalau di Indonesia, Hari Raya pastilah identik dengan mudik. Idealnya, kegiatan mudik ke kampung halaman menjadi saat-saat yang menyenangkan bagi siapapun yang merantau, apalagi kalau lama tidak pulang ke tanah air sendiri.

Kalau di Thailand, libur panjang itu ada di bulan April dalam rangka perayaan tahun baru Songkran yang bisa disetarakan dengan libur Lebaran. Dari cerita teman-teman yang mudik bulan lalu, ada banyak cerita yang mereka bawa. Terinspirasi dari obrolan ringan dengan teman-teman itu, saya jadi teringat kembali beberapa pengalaman tidak mengasyikkan ketika mudik.

Petugas yang sok
Pengalaman mudik tentunya berawal pada saat kedatangan kita di tanah air. Nah, petugas yang saya maksud itu siapa lagi kalau bukan petugas imigrasi. Dari semua pelayanan petugas imigrasi sepanjang ingatan saya, hanya ada dua kejadian yang tidak menyenangkan dan oknum ini merasa seolah-olah kuasa di tangan mereka sehingga mereka bisa bersikap seenaknya. Anehnya, oknum sejenis ini bisa begitu ramah ketika berhadapan dengan orang asing, namun malah memasang muka masam ketika melayani rekan sebangsa. Dari dua kejadian, yang paling membekas adalah ketika mudik beberapa tahun lalu. Waktu itu mengisi kartu kedatangan masih diberlakukan dan setiap kali tidak pernah ada masalah di bandara Soekarno-Hatta ketika saya menyerahkan kartu kedatangan dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, tergantung potongan kartu mana yang saya miliki saat itu atau yang dibagikan oleh kru di dalam pesawat. Karena suatu urusan, saya terbang ke Denpasar dan bukan ke Jakarta. Begitu sampai meja imigrasi, petugasnya menegur saya dengan nada tidak mengenakkan, lalu dibilang sok karena pakai kartu kedatangan berbahasa Inggris (kebetulan cuma kartu berbahasa Inggris yang dibagikan di dalam pesawat sebelum mendarat), pokoknya dicecar habis-habisan oleh si oknum. Dengan perasaan dongkol luar biasa tapi juga tidak punya cukup keberanian untuk membalas, saya akhirnya mengganti kartu kedatangan dengan form yang berbahasa Indonesia dan kembali mengantri. Terus terang, saya heran dengan orang yang tampak bangga jika menjalankan peran sebagai bad guy. Kalau memang saya salah, kan bisa diberitahu baik-baik tanpa langsung berkomentar yang gak penting. Bersikap baik tidak ada ruginya sama sekali, lho!

Asap rokok gratis
Asap rokok dan perokok yang tidak punya otak adalah musuh besar saya dari dulu. Sayangnya, dari pengamatan kecil-kecilan saya, para perokok di Indonesia kebanyakan egois dan memang tidak punya otak! Unek-unek saya tentang perokok pernah saya tulis disini. Meskipun tanda larangan merokok sudah mulai dipasang di ruang publik, laki-laki, perempuan, tua, muda, dengan batang rokoknya tetap merajalela seolah mereka itu buta, buta mata dan buta hati. Bahkan kalaupun ditegur, orang yang melanggar peraturan malah lebih galak dan tidak terima ditegur daripada orang yang berusaha menegakkan peraturan :( :( :(

Buang sampah sembarangan
Saya paling gemas kalau melihat orang membuang sampah sembarangan. Tampaknya untuk soal yang satu itu, sama halnya dengan merokok, sudah menjadi hal yang "dianggap" sebagian orang adalah biasa dan tidak merugikan. Tidak jarang, sampah meluncur keluar dari jendela mobil mewah atau orang seenaknya menyelipkan sampah bekas makanan di bawah kursi angkutan umum tanpa perasaan bersalah. Apa susahnya sih menyimpan sampah tersebut di tas yang mereka bawa sampai menemukan tempat sampah???

Nasib buruk menjadi pejalan kaki
Ketika teman-teman saya yang baru kembali mudik bercerita betapa "mengerikannya" naik kendaraan umum di kota besar seperti Jakarta atau Bandung, dengan taksi sekalipun, saya hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Sebagai orang yang tidak pernah punya kendaraan pribadi dari dulu hingga sekarang, dan kemana-mana selalu mengandalkan transportasi umum, apa yang mereka ceritakan bukanlah masalah besar untuk saya. Justru yang kerap mengganggu saya adalah toleransi para pengguna kendaraan pribadi tersebut. Pernah beberapa kali saya terciprat air gara-gara ada mobil yang tidak mengurangi kecepatannya ketika melintasi genangan air...benar-benar apes :( :(. Belum lagi pengendara sepeda motor yang merebut hak pejalan kaki dengan menggunakan trotoar, seringkali sambil ngebut pula seolah trotoar adalah milik mereka seorang :(.

Menggertak dengan menggunakan nama orang lain
Paling malas kalau harus berurusan dengan orang yang suka sekali mengeluarkan kalimat "Saya anggota ...." atau "Jangan macam-macam, saya kenal dengan xxx (orang dengan jabatan penting di pemerintahan ataupun militer)". Suatu kali, saya pernah berhadapan dengan orang seperti ini dan pria tua itu "mengingatkan" saya dengan bilang bahwa kalau saya bersikap macam-macam, dia berhubungan baik dengan orang penting dari satu lembaga. Lalu kenapa? Kalau dia sendiri orang tersebut bolehlah bangga, tapi kalau orang lain yang ia maksud, apa hebatnya? Sepertinya, dalam kultur masyarakat kita, masih ada segelintir orang yang menganggap bahwa kedudukan penting seseorang bisa digunakan untuk menekan/menakut-nakuti orang lain. Berhubung segelintir orang tersebut biasanya hanyalah orang biasa dan bukan orang penting yang punya kedudukan, jadinya mereka menggertak orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka menggunakan nama orang lain, baik yang kenal dekat ataupun hanya sekedar tahu nama saja, tindakan pengecut yang menyebalkan!

Materi, materi, dan materi
Anggapan bahwa tinggal di luar negeri itu pasti makmur gemah ripah loh jinawi adalah lumrah, meskipun faktanya tidak semua orang suka menunjukkan kemakmurannya. Pertanyaan dari orang-orang yang hanya kenal selewatpun misalnya bisa seintim  "Enak ya di luar negeri, gajinya dollar dong?" Duh, gak usah kerja di luar negeri, di Indonesia pun berserakan kok orang yang digaji dengan $$$$. Belum lagi kalau bersuamikan orang asing, di mata sebagian orang terasa ganjil kalau sang istri tidak tampil wah dan menenteng barang-barang bermerek. Jawaban untuk menghadapi tipe orang seperti ini adalah tergantung suasana hati saat itu, kalau sedang baik dibalas dengan jawaban iseng, kalau sedang tidak baik, dibalas setengah hati dengan bahasa tubuh yang menunjukkan tidak ingin melanjutkan topik pembicaraan tersebut.

Memang seenak apapun tinggal di negeri orang, pastilah akan selalu kangen dengan negeri sendiri. Cuma kadang, pengalaman-pengalaman diataslah yang kadang membuat serunya acara mudik jadi sedikit tercoreng.

Ada yang punya pengalaman mudik serupa?

No comments:

Post a Comment