Wednesday, 4 December 2013

Third-Culture Kids: Growing Up among Worlds

credit: www.lyonalacarte.com

Setelah pasrah dikomentari suami karena buku ini selalu saya bawa kemanapun kami pergi tapi belum selesai-selesai, sampai keriting sampulnya, akhirnya saya gunting pita juga :)

Ada banyak hal menarik yang dibahas dalam buku ini, diantaranya pengalaman orang-orang yang dibesarkan di luar budaya kedua orangtua. Definisi third culture kids (TCK) menurut penulis buku ini adalah seseorang yang menghabiskan sebagian dari masa kecil dan remajanya diluar lingkup budaya kedua orangtua. Definisi lain bisa dilihat disini. Agak sedikit berbeda dengan kasus yang banyak ditemui sekarang, karena pada jaman dulu, ketika orangtua harus pindah kota atau negara untuk alasan pekerjaan, anak, meskipun baru berusia 6-8 tahun, umumnya akan dikirim ke asrama atau dititipkan pada keluarga di daerah asal, sementara sekarang lazimnya, jika orangtua harus bertugas berpindah-pindah antar kota ataupun antar negara, maka anak-anak di bawah umur selalu dibawa serta.

Ternyata, dari pengakuan para narasumber yang dahulunya adalah TCK (Adult TCK atau ATCK), disamping segudang keuntungan menjadi TCK, ada banyak tantangan yang apabila tidak ditangani dengan baik, dapat menjadi bumerang bagi mereka saat dewasa kelak. Apa saja sih tantangannya?

1. Kesulitan untuk menentukan nilai-nilai dan norma dalam proses pembentukan jati diri karena seringkali ada nilai dan norma yang saling bertentangan dalam budaya asal dan budaya di tempat tinggal.

2. Kuatnya ikatan batin dengan tempat mereka dibesarkan membuat para ATCK dapat turut merasakan kesedihan dan kesusahan jika ada peristiwa buruk terjadi di tempat tersebut atau pada orang-orang yang tinggal dimana mereka dibesarkan. Konflik berpotensi muncul dalam diri ATCK ketika lingkungan sekitar tidak mempunyai sensitivitas atau kepedulian yang sama dengan mereka.

3. Terabaikannya budaya asal pada keluarga dengan TCK karena sekian lama dipengaruhi oleh budaya di tempat tinggal yang seringkali berujung pada kejadian memalukan akibat tidak pahamnya TCK dengan situasi dan norma yang berlaku ketika kembali atau sedang berkunjung di daerah asalnya.

4. Pada sebagian ATCK, dampak dari siklus kehilangan yang berulang dari masa kecil mereka (misalnya: pergi meninggalkan rumah pada pertama kalinya, meninggalkan teman-teman dan sekolah untuk pindah ke tempat baru, ditinggal orangtua bertugas, secara reguler harus selalu beradaptasi dengan lingkungan baru) berperan pada aksi/reaksi mereka yang datar dalam membina suatu hubungan kelak, baik itu pertemanan ataupun pernikahan. Sikap datar atau cuek itu sebenarnya merupakan bentuk perlindungan diri dari kekhawatiran jika suatu saat mereka harus pergi/berpisah lagi dari tempat/orang yang berarti untuk mereka.

Nah, lalu bagaimana menjawab tantangan itu? Diantara sekian banyak pesan dari buku ini, saya menangkap bahwa orangtua memegang peranan utama dalam menjaga hubungan anak dengan keluarga besar di daerah asal, membantu anak menjalani masa transisi dari tempat tinggal lama ke tempat tinggal yang baru dalam segala hal, memastikan anak paham dan tidak melupakan budaya asalnya, serta selalu melibatkan anak (terutama anak yang lebih besar) dalam setiap rencana kepindahan dari tempat asal sehingga anak tidak merasa keberadaannya diabaikan.

Parents raising global nomads, with the unique challenges, numerous transitions, and extraordinary opportunities presented by travel, must be mindful that their job carries an added layer of responsibility from day one.
As the Dalai Lama says in his famous guide for living, The Art of Happiness, "A tree with strong roots can withstand the most violent storm, but the tree can't grow roots just as the storm appears on the horizon." It's a wise lesson for expat parents to keep in mind throughout the process of raising their children abroad
. - Robin Pascoe, from Raising Global Nomads

bersambung...

No comments:

Post a Comment