Meminjam topik yang dibahas di grup WA baru-baru ini, yaitu pro kontra dwikewarganegaraan (DK) untuk WNI, saya jadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang untung rugi kepemilikan DK. Indonesia sampai saat ini baru mengakui kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil pernikahan antar bangsa sesuai UU Kewarganegaraan no. 2 tahun 2006.
Sebagai salah satu pihak yang berkepentingan, saya tentunya pro dengan ide ini, dan berharap dalam 18 tahun ke depan, ketika anak kami harus memilih kewarganegaraannya, peraturan sudah berubah sehingga ia tidak harus memilih antara menjadi WN Indonesia atau WN Perancis.
Faktanya banyak negara yang tidak mengakui DK karena beragam faktor, misalnya berkaitan dengan hak memilih (voting), pengenaan pajak, masalah keamanan, dan lain-lain. Sekilas dari pihak yang kontra, muncul argumen senada bahwa DK mengancam lunturnya nasionalisme, menguntungkan golongan tertentu, dan membuka jalan bagi orang untuk berbuat kejahatan dan kemudian lari berlindung dibalik status DK-nya.
Menurut saya, nasionalisme tidak ditentukan oleh status kewarganegaraan dan lokasi geografis seseorang. Ada banyak orang yang mengaku Warga Negara Indonesia namun melakukan perbuatan yang jelas-jelas mempermalukan negaranya sendiri, banyak orang Indonesia yang tinggal di Indonesia namun secara nyata memuja-muja kebudayaan Barat. Sebaliknya, tidak sedikit orang Indonesia yang tinggal di luar Indonesia kemudian mengukir prestasi, melakukan sesuatu yang membawa harum nama Indonesia, dan berkontribusi terhadap kemajuan negara ini meskipun dari jauh. Saya sendiri baru merasakan rasa cinta dan bangga yang begitu besar terhadap Indonesia justru ketika saya untuk pertama kalinya keluar dari Indonesia beberapa tahun lalu. Barulah muncul penyesalan kenapa dulu tidak tekun mempelajari kesenian tradisional Indonesia atau belajar memasak masakan khas Indonesia atau mempelajari sejarah Indonesia sehingga saya tidak perlu tergagap ketika orang-orang meminta saya menjelaskan tentang hal-hal yang menarik dari negara saya.
Dibilang dengan adanya DK akan menguntungkan golongan tertentu dan membuka jalan bagi orang untuk berbuat kejahatan, bagi saya pribadi kembali ke orangnya. Siapapun, orang dengan status DK atau tidak, kalau memang berniat jahat, ya cara apapun akan dilakukan. Contohnya, para koruptor yang tidak memiliki status DK saja bisa lari ke luar negeri untuk menghindari kejaran hukum.
Yang menarik untuk diperhatikan, status DK ini diajukan untuk diberlakukan bukan hanya bagi anak hasil pernikahan antar bangsa tetapi juga untuk warga negara Indonesia yang telah menetap lama di luar negeri. Kira-kira apa ya alasan Pemerintah kita untuk tidak mengakui DK? Dilihat dari sisi positifnya, sebenarnya apa sih keuntungan dengan mengakui DK? Pertama, Indonesia tidak akan kehilangan putra-putra terbaik bangsanya meskipun mereka tinggal di luar negeri, justru diharapkan terjadi alih teknologi/ilmu pengetahuan dari mereka pada rakyat Indonesia secara umum. Kedua, meningkatnya peluang investasi di Indonesia. Kalau memang UU Agraria no. 5 tahun 1960 dibuat sebagai upaya pencegahan pemilikan tanah oleh pihak asing yaitu kolonial Belanda ketika itu, rasanya Undang-Undang tersebut sudah masanya untuk diperbarui pada saat ini. Kepemilikan tanah/properti tidak bergerak oleh pihak asing (individu) tidak otomatis menjadi ancaman bagi rakyat Indonesia. Faktanya adalah kepemilikan tanah di Indonesia mayoritas masih tetap dipegang oleh warga negara Indonesia sendiri dan bukan warga asing. Ketiga, pada umumnya anak-anak hasil pernikahan antar bangsa mendapatkan pendidikan yang relatif lebih baik sehingga di masa depan anak-anak ini dapat menjadi tumpuan harapan yang turut memajukan bangsa dan negara kita. Nah, kalau mereka disuruh memilih dan misalnya mereka memilih kewarganegaraan selain Indonesia, berarti hilanglah calon-calon potensial yang diharapkan dapat membangun negeri ini.
Dari sudut pandang saya yang awam ini, muncul pertanyaan dapatkah pemerintah kita mengadopsi kebijakan pemerintah negara lain seperti Pakistan atau Perancis? Salah satu teman di grup yang bersuamikan warga negara Pakistan mengatakan bahwa Pakistan tidak mengakui DK. Meskipun begitu, anak hasil pernikahan yang bapak/ibunya berkewarganegaraan Pakistan mempunyai semacam kartu identitas seumur hidup dan mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga negara Pakistan dalam hal kepemilikan properti, membayar pajak, dan lain-lain kecuali satu, yaitu tidak dapat mencalonkan diri menjadi Perdana Menteri. Sedangkan di mata pemerintah Perancis yang mengakui DK, status kewarganegaraan seseorang tidak dapat dihapuskan karena alasan apapun kecuali terbukti berkhianat kepada negara. Jadi, jika seorang anak terlahir dari bapak/ibu warga negara Perancis, maka sampai kapanpun dan meskipun anak tersebut memilih menjadi warga negara lain, dimata pemerintah Perancis, didasarkan dengan bukti dokumen resmi yang sah dimata hukum seperti akte kelahiran dan livre de famille atau buku catatan keluarga, anak tersebut adalah warga negara Perancis.
Yang ironis, dari pembahasan di grup muncullah pengakuan bahwa ternyata banyak teman yang belum membuatkan paspor Indonesia untuk anak-anak mereka. Sangat disayangkan bahwa kebijakan masing-masing perwakilan kedutaan besar di setiap negara tidak seragam, contohnya teman saya tidak membuatkan paspor Indonesia untuk anaknya karena staf konsuler di negara tempat anaknya lahir bilang tidak perlu sebab sudah ada affidavit, padahal fungsi affidavit dan paspor jelas berbeda. Teman yang lain mengeluh belum membuatkan paspor untuk ketiga anaknya karena harus memenuhi persyaratan-persyaratan lain terlebih dahulu yang membutuhkan waktu. Belum lagi kalau dihadapkan dengan staf sesama bangsa Indonesia yang anehnya sangat tidak kooperatif dengan kita sebagai teman sebangsa setanah air, menjadi alasan pendukung kenapa teman-teman ini mengurungkan niatnya membuatkan paspor Indonesia untuk anak-anak mereka.
Kembali lagi ke masalah DK, ada yang mau berbagi pendapat atau pengalaman tentang untung ruginya mempunyai dua kewarganegaraan?
No comments:
Post a Comment