Thursday 22 June 2017

[Menjadi Ibu]: Saya Mau Jadi Ibu yang ...

Duluuu sekali, waktu belum menjadi ibu, saya pernah khilaf menilai (dalam hati, tentu saja) para ibu (yang ada di lingkungan sekitar dan saya kenal secara pribadi) dalam mengurus anaknya. Setelah menjadi ibu, saya belajar bahwa dinilai, apalagi dikomentari bagaimana seharusnya menangani anak sendiri itu rasanya GAK ENAK! Saya sendiri tipe orang yang lebih memilih diam atau mengiyakan kalau dikomentari atau dikasih saran demi menghormati yang bicara. Hampir bisa dipastikan, kalau menerima komentar kurang atau tidak menyenangkan, saya sebatas tersenyum basa-basi terhadap si pemberi komentar meski hati dongkol setengah mati, atau kalau benar-benar malas, saya akan pura-pura tidak mendengar. Tidak sopan? Memang, tapi yang bicara juga seringkali tidak mempertimbangkan perasaan orang yang dikomentari/dinasihati, sih.

Pengalaman pribadi ini juga sekaligus mengingatkan saya sendiri agar tidak melakukan kesalahan yang sama pada orang lain. Sekarang saya juga belajar menghilangkan perasaan tidak enak terhadap si pemberi nasihat/komentar, kalau memang nasihat/komentarnya dirasa "mengganggu", saya akan mengutarakan keberatan saya, tidak cukup dengan hanya tersenyum sopan basa-basi mengiyakan.

Nah, pas baca postingannya Rika disini, saya otomatis membatin "Ih, ternyata saya gak sendiri" dan suatu kebetulan yang sama, berkaca dari pengalaman, mayoritas pemberi nasihat/komentar itu adalah teman sebangsa. Hm, entah kebetulan, atau sebagian besar orang kita memang tipe yang "perhatian" :D

Kembali ke judul postingan ini, berkaca dari pengalaman pribadi tadi, saya berniat mau jadi ibu yang:

1. Tidak Asal Komentar

Kenyang rasanya mendengar aneka komentar dari sekeliling tentang anak sendiri. Karakter pemberi komentarpun macam-macam, dari yang muda sampai yang senior, dari yang punya anak dewasa hingga yang belum punya anak, dari yang sering bertemu sampai yang baru sekali bertemu. Tentunya saya ingat komentar-komentar mereka ini karena saya tidak suka mendengarnya, dan tidak mau saya mengucapkan hal sama pada orang lain, makanya ditulis disini sebagai pengingat.

- Anaknya gak mau makan/gak suka "X" ya?
Komentar ini muncul ketika melihat anak saya SATU kali (iya, cuma satu kali dan langsung mengambil kesimpulan) menutup mulutnya saat saya menyuapkan puree brokoli kentang keju bekal dari rumah. Si ibu yang cukup senior dengan santainya berkomentar seperti di atas. Reaksi pertama saya adalah mengabaikannya, pura-pura gak dengar. Tidak lama, bekal makan siang yang saya siapkan sudah tandas dihabiskan si kecil *melirik sebal si ibu*

- Anaknya gak biasa dibawa ke tempat ramai/bepergian sih, jadi rewel
Anak-anak kami terbiasa berada di lingkungan yang sunyi dan tenang semenjak mereka lahir. Bukannya dibiasakan, tapi karena memang di rumah jarang ada suara keras. Kalaupun ada suara, bukan suara gaduh, teriakan, ataupun jeritan, ketawa cekikikan yang biasa mereka dengar. Komentarpun mulai berdatangan kalau si kecil mulai rewel seperti "Gak biasa dibawa ke tempat ramai ya?" atau "Di rumah sepi ya? Coba diperdengarkan Murattal, seperti anaknya B" zzzzzz..... 

- Bayinya haus mungkin, gak dikasih susu?
Komentar ini saya dapat lima tahun yang lalu dan masih saya ingat sampai sekarang.Waktu itu saya datang ke acara syukuran tempat tinggal teman yang baru, dan kami baru pulang mudik sehari sebelumnya. Faktor jetlag dan ramai mungkin menjadi kombinasi ketidaknyamanan si kecil. Begitu terbangun dari tidurnya, seorang teman lain langsung ambil si kecil dan mencoba menggendongnya, yang berujung si bayi ngamuk tanpa henti. Saat saya lagi pamit mau pulang sama tuan rumah sambil menggendong bayi yang nangis keras, ada seorang mbak dengan santai berkomentar "Mau susu, mungkin?" Zzzzzzz.... (Mbak gak tau ya, kalau anak nangis, yang pertama kali saya sodorin adalah, apalagi kalau bukan PD. Kalau gak tau, lebih baik disimpan aja komentarnya mbak, gak membantu sama sekali. Lagipula, saya juga baru sekali itu ketemu mbaknya, jadi terima kasih sarannya, tapi saya gak perlu).

- Gak pakai stroller? Biar anaknya bisa lihat-lihat pemandangan, gak bosen digendong terus
 Ini masalah pilihan dan kepraktisan, masing-masing orang punya pertimbangannya masing-masing. Cukup bertanya "gak pakai stroller?" setelah itu terima saja apa jawaban si empunya anak, titik.

- Masih rewel ya (anaknya)?
Pliss deh..seberapa sering sih bertemu dengan anak saya? Kalau terakhir kali bertemu itu lebih dari seminggu yang lalu dan frekuensi bertemunyapun jarang, lebih baik tanya hal lain saja. 

2. Memberi Saran/Nasihat HANYA KETIKA Diminta

Ini saya kutip dari tulisan Rika "Sebelum ngasih nasehat coba dulu untuk ingat kalo ortu jaman sekarang udah sangat melek informasi. Gak usah ngerasa punya nasehat paling jitu karena nasehat yang sama pasti udah dibaca puluhan kali oleh si ortu."

Suatu kali, saya bawa si tengah yang belum genap berusia 6 bulan ke satu acara di rumah teman. Entah kenapa, hari itu ia rewel sekali. Tidur sebentar, sisanya menangis. Walhasil, sepanjang acara, saya malah sibuk menenangkannya tanpa hasil, sudah dipangku, disusui, ia tetap menangis. Saya yang biasanya santai jadi agak grogi karena banyak yang menanyakan kenapa si bayi menangis. Akhirnya, saya memutuskan pulang karena mungkin ia tidak nyaman berada disana.

Saat sedang bersiap-siap mau pulang, saya didekati seorang mbak yang ber"murah hati" kasih nasihat mengatasi bayi rewel, sampai sengaja keluar menemani saya sampai depan pintu lift demi menuntaskan penyampaian nasihatnya. Lupa tepatnya apa yang ia katakan, tapi intinya si mbak bilang untuk coba meletakkan bayi tanpa ada kontak fisik jadi bayi tidak terstimulasi terus-terusan. Nasihat yang bagus sebenarnya, sebagai bentuk perhatian pada ibu yang sedang kewalahan menenangkan bayinya. Cuma dua hal yang si mbak lupa pertimbangkan sebelum kasih nasihat, yaitu waktu penyampaian nasihat -waktu anak sedang menangis keras bukanlah waktu yang tepat memberi nasihat-, dan fakta bahwa sebagai ibu jaman sekarang, tidak hanya si mbak, saya juga membaca dan melek informasi, dan saya tahu tentang apa yang mbak itu sampaikan sejak anak pertama lahir. Tapi dengan alasan kesopanan, saya mengiyakan saja.

Sekarang mbaknya sudah punya anak balita, dan saya berharap semoga ia tidak mengalami hal yang sama dengan saya ketika sedang mengurus anaknya, karena diberi saran/nasihat tanpa diminta itu, apalagi soal anak, sangat tidak menyenangkan.   

3. Tidak Membanding-bandingkan 

Tidak membanding-bandingkan diri sendiri atau anak sendiri dengan orang lain atau anaknya itu palingggg susah! Tapi ternyata, dunia lebih indah kalau kita pakai kacamata kuda dan cukup mengurusi diri plus anak sendiri tanpa perlu lihat kiri kanan. Belajar dari lingkungan harus, tapi jangan sampai keterusan hingga akhirnya jadi membanding-bandingkan. Untungnya, dalam hal ini, suami cukup "galak" kalau saya mulai curhat-curhat galau tentang "A yang hebat, bisa menghasilkan uang sambil urus anak-anaknya yang masih kecil" atau tentang "anak B yang (terlihat) bersikap manis tanpa cela". Memang, kalau mau dibanding-bandingkan, rumput tetangga selalu lebih hijau dan galau gak akan pernah ada habisnya. Yang penting adalah niat untuk selalu menjadi lebih baik setiap harinya dalam hal apapun, termasuk menjalankan peran sebagai ibu.

Kalau kamu, mau jadi ibu yang seperti apa? 

No comments:

Post a Comment