Thursday 11 September 2014

Jakarta Oh Jakarta...

Bulan lalu kami berkesempatan mudik Lebaran ke Bandung yang dilanjutkan dengan liburan bersama teman-teman dekat di daerah Lembang kemudian ditutup dengan mendamparkan diri di ibukota. Pas lagi baca postingan mbak Yo yang ini, saya langsung teringat pengalaman unik, atau tepatnya bikin gondok yang dialami sahabat dan sepupu kami di Jakarta baru-baru ini, yang jelas sih tidak ada kaitannya dengan acara mudik :p

Kalau dari cerita mbak Yo, kalangan kaum menengah atas biasanya suka seenak jidatnya memperlakukan orang-orang yang melayani mereka karena merasa lebih tinggi "kastanya" dan berhak nyuruh ini-itu karena "konsumen adalah raja", pengalaman sepupu dan sahabat kami ini justru yang kontrasnya, yaitu kena scan sebagai calon konsumen yang dianggap "meragukan". Kesamaannya, sama-sama bikin kesel yang dengar, apalagi yang mengalami.

Jadi ceritanya, sepupu saya ini, sebut saja namanya M, pergi jalan-jalan bersama suami dan anak balitanya ke salah satu pusat pertokoan besar di Jakarta. Anak perempuannya yang belum genap dua tahun sedang hobi bertelanjang kaki kemana-mana, termasuk di mall yang lantainya sejuk-sejuk dingin. Iseng cuci mata, mereka bertiga masuk ke salah satu gerai tas sejuta umat yang serta merta diikuti dengan tatapan kurang ramah dari pramuniaganya. Sepasang suami istri berkulit sawo matang dengan anak balita yang bertelanjang kaki tampaknya bukan calon pembeli yang cukup meyakinkan di mata sang pramuniaga. M ini masih asyik lihat-lihat sementara suaminya yang menyadari tatapan si mbak langsung merasa kesal. Spontan dia bilang ke M untuk pilih tas yang dia mau dan memastikan si mbak tersebut mendengarnya. M yang tiba-tiba mendapat tawaran mendadak nan menggiurkan tentu saja bingung pada awalnya. Apalagi dia adalah kolektor sepatu sneakers dan mengoleksi tas bukan termasuk hobinya. Akhirnya setelah bungkus dan bayar di kasir, berceritalah si suami alasan kenapa dia berbuat seperti itu...hihi...M sih senang-senang saja karena gara-gara suaminya kesal dengan mbak pramuniaga tadi malah berbuntut dia dapat tas baru :D.

Cerita kedua berasal dari sahabat kami Mbak A, mantan teman kos yang sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri. Mbak A ini seorang desainer interior yang cantik, kreatif, mandiri, pekerja keras, pokoknya mengagumkan. Saya ingat waktu jaman ngekos dulu, mbak A ini seringkali pulang ke kosan dengan cerita-cerita lucu seputar prinsipnya yang gak gengsian. Meskipun terlahir dari keluarga berada, mbak A ini gak gengsi naik kendaraan umum dan bergaul dengan siapa saja dari kalangan manapun. Siapapun yang tahu kisah perjuangan mbak A membangun perusahaannya seperti sekarang pasti akan kagum. Apa yang dimilikinya sekarang adalah buah dari kerja keras dan keuletannya berusaha setelah jatuh bangun berkali-kali, pokoknya sepuluh jempol untuk mbak A. Di tengah-tengah kesibukan mengurus perusahaan miliknya, mbak A ini masih semangat untuk sekolah lagi. Suatu hari, setelah menyelesaikan sebuah tugas kuliah yang cukup besar, mbak A mengajak asisten yang membantunya, untuk merayakan selesainya tugas tersebut dengan makan enak. Pergilah mereka ke satu restoran eksklusif di bilangan Jakarta Pusat. Karena malam itu Jakarta macet tanpa ampun, mbak A mengajak asistennya pergi naik sepeda motor alih-alih naik mobil. Ketika masuk halaman restoran, petugas parkir sempat menanyakan apa kepentingan mereka kesana. Dijawab mau makan, lalu merekapun diarahkan untuk menuju ke bagian belakang restoran. Menganggap bahwa parkiran motor letaknya berbeda dengan parkiran mobil, mereka berdua tidak berpikir macam-macam. Selesai makan dan berniat pulang, mereka berjalan ke tempat motor diparkir. Petugas disana menawarkan diri untuk mengambilkan motornya sementara mereka menunggu di tempat parkir mobil. Tidak lama, sang petugas datang sambil menuntun motor tapi kemudian memarkir motor tersebut di tempat agak tersembunyi antara sebuah kursi dan mobil yang sedang diparkir. Mbak A dan asistennya bingung, kenapa motornya tidak dibawa langsung ke depan mereka yang sudah menunggu tidak jauh dari pintu masuk restoran tempat orang naik turun kendaraan? Toh sudah mau pulang ini. Mereka menghampiri motornya dan dengan nada heran, mbak A bertanya pada petugas, kurang lebih percakapannya seperti ini:
Mbak A: Lho pak, kenapa diparkir lagi disitu?
Petugas: Malu, Bu
Mbak A: ????!!!!!$$$$$%%% (speechless)

Kesal mendengar jawaban si petugas yang polos tapi juga enggan merusak mood setelah merayakan selesainya tugas besar dengan marah-marah, akhirnya mbak A dan asistennya hanya berpandangan sebelum meninggalkan restoran.

Sayangnya, pola pikir seperti ini umum sekali ditemui di masyarakat kita. Segala sesuatu masih dinilai dari penampilan luar dan kepemilikan materi sehingga kalau polesan luarnya kurang wah, langsung dipandang sebelah mata. Berat memang hidup di Jakarta, dimana orang masih dihargai atau dinilai dari kepemilikan harta benda dan penampilannya dan bukan kepribadian atau tingkah lakunya. Sampai-sampai mbak pramuniaga dan petugas parkir saja merasa berkepentingan untuk menyeleksi calon konsumen yang pantas masuk ke dalam tempat kerja mereka dan mendapatkan pelayanan optimal, padahal saya hampir yakin itu tidak termasuk dalam job desc mereka. Seolah-olah kepercayaan diri hanya bisa didapat dari berpenampilan wah, turun dari mobil, dan menenteng barang bermerek. Hm, tidak semua orang berpandangan seperti itu sih, setidaknya lingkungan pergaulan kami sewaktu tinggal di Jakarta dulu tidak berisi orang-orang seperti ini dan mudah-mudahan jangan sampai :)

Pernah punya pengalaman serupa?

6 comments:

  1. jadi ada pembedaan ya motor dan mobil. bukan hanya di suatu gedung loh dianatra orang2 juga ada yang begitu kenyataannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. mbak Lidya, maafkan telat balas komennya..lama gak buka blog :(. Seperti sih gitu mbak, semakin mengkilap semakin dipandang wah :p

      Delete
  2. Aduh Pungky, jangankan pramuniaga, aku banyak banget nemuin model social climber berkedok Soksialita !
    Iya, kadang aku nemuin ada pelanggan yang kastanya baru naik sedikit udah aksi bak keturunan bangsawan Enggreis, minta service kelas premium.
    Oh OK lah... gak jarang nemuin security, pramuniaga yang maap ya, gak jauh lebih baik daripada orang yang mereka under-estimate.
    Kadang aku mikir ya, Lah gimana Tuhan mo mengangkat kasta dan derajatnya lho, wong masih kecret begini aja udah belagu.
    *maapkan bahasa aku yang agak kasar, abisan esmosih deh. esmosih*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu dia Ndah, orang kaya panteslah ya kalau mau belagu, walaupun tetep lebih menyenangkan liat orang kaya yang low profile :)...lah ini? Bete banget ya "diseleksi" sama mereka yang gak berkepentingan? Hihi, kalau soal pelanggan nuntut macem-macem bak keturunan bangsawan, yah maklum namanya juga baru naik kasta, Ndah, masih terkaget-kaget :D

      Delete
  3. Dear Mbak Pungky, Salam kenal ya... Saya Arie.... semula googling pengalaman naik pesawat membawa balita, kemudian ketemu blog mbak Pungky... sangat informatif dan ketagihan baca pengalamannya di blog ini... Kejadian diatas sering saya jumpai di Depok, kebetulan saya tinggal di Depok, pinggirannya kota Jakarta. Ampun... semua sudah menjadi pemandangan yang lazim kalo petugas resto dan toko yang terlihat "sesuatu" melihat saya dan isteri masuk masuk kedalam resto dan toko tersebut, padahal saya juga mau beli dan memang kami beli TUNAI... hehehehe...

    ReplyDelete
  4. Salam kenal mas Arie, terima kasih sudah mampir. Hehe, mungkin para petugas yang semata menjalankan kewajibannya bertugas itu sebaliknya justru harus belajar untuk tidak mudah tertipu dengan penampilan luar ya Mas, soalnya banyak orang berpenampilan keren dan mewah, tapi hobinya ngutang, bahkan tunaipun gak punya :D

    ReplyDelete