Pertama kali tahu tentang buku ini dari forum The Urban Mama, sayapun bergegas mencarinya di toko buku. Beberapa toko saya datangi namun tidak satupun mempunyai persediaan buku yang ditulis oleh Santi Dharmaputra, dkk ini. Dua tahun berselang, saya bertemu teman baru sesama orang Indonesia di Bangkok yang berbaik hati meminjamkan buku yang dimaksud. Lucunya lagi, ternyata teman baru saya ini adalah teman dekat salah satu penulis buku tersebut.
Buku ini menceritakan pengalaman sembilan wanita Indonesia yang pernah dan sedang tinggal di luar negeri dalam membesarkan anak-anak mereka secara bilingual dengan tetap mempertahankan penggunaan bahasa ibu, yaitu bahasa Indonesia. Buku ini menjadi menarik karena relevan dengan situasi kami sekarang, yaitu bagaimana membesarkan anak dengan bahasa ayah dan ibu berbeda ditambah dengan bahasa lingkungan yang juga berbeda dari bahasa ayah dan ibu.
Sedari awal, kami sepakat untuk menggunakan bahasa ibu masing-masing dalam berbicara dengan anak. Saya berpendapat bahwa bahasa Indonesia sangatlah penting mengingat itulah cara terbaik untuk berkomunikasi dengan keluarga dari pihak saya dan alasan yang sama berlaku pula untuk penggunaan bahasa Perancis. Menurut buku ini, ada lima langkah dasar yang perlu diingat dalam membesarkan anak multibahasa.
Pertama, tetapkan tujuan dan motivasi. Untuk keluarga kecil kami, kebutuhan bermultibahasa muncul karena anak kami adalah hasil pernikahan campuran Indonesia – Perancis. Meskipun begitu, anak dari pasangan sesama orang Indonesia pun, dapat tetap menjadi bilingual, seperti pengalaman beberapa ibu di buku ini. Jangan lupa, multibahasa tidak terbatas pada bahasa asing, penguasaan bahasa daerah yang baik juga merupakan bentuk kemampuan multibahasa. Tujuan dan motivasi kami menerapkan multibahasa pada anak adalah agar anak mampu berkomunikasi dengan baik ketika berada di lingkungan salah satu keluarga besarnya.
Kedua, buat strategi yang tepat. Strategi yang banyak dipakai dalam buku ini adalah OPOL (One Parent One Language) dan ML@H (Minority Language at Home). Strategi yang pertama adalah setiap orang tua berbicara dalam bahasa ibu masing-masing dengan anak dan tidak mencampur adukkan penggunaannya. Strategi kedua adalah menggunakan bahasa minoritas dalam lingkungan keluarga untuk tetap menjamin penguasaan si anak atas bahasa tersebut. Menurut saya, strategi ini tepat untuk keluarga yang tinggal di luar negeri. Jika keluarga tersebut tinggal di Indonesia namun ingin tetap bermultibahasa disamping bahasa Indonesia, misalnya bahasa Inggris, dapat saja dilakukan pada waktu tertentu yang telah disepakati bersama dengan catatan salah satu atau kedua orangtua mempunyai pemahaman tata bahasa Inggris yang sangat baik agar dapat memperbaiki jika anak keliru. Di sisi lain, bahasa Indonesia akan tetap menjadi bahasa utama yang digunakan. Strategi ini dapat divariasikan ketika anak sudah cukup pandai bicara dan memahami bahwa ia dapat bicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Misalnya, anak berbicara bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, berbicara bahasa Inggris pada saat makan malam atau akhir pekan, dan berbicara bahasa daerah dengan kakek-neneknya.
Ketiga, konsisten dan berkesinambungan. Menerapkan kebiasaan bermultibahasa di rumah membutuhkan konsistensi dari pelakunya, dalam hal ini orangtua, sampai anak paham bahwa bahasa-bahasa yang mereka pelajari mempunyai tata bahasa berlainan. Konsistensi dan kesinambungan ini membantu anak untuk dapat menguasai bahasa yang dipelajari secara benar dan menyeluruh. Biasakan bermultibahasa dalam setiap kesempatan dan manfaatkan media seperti CD/DVD, musik, televisi untuk mengasah kemampuan anak dalam bahasa yang sedang dipelajari. Dalam hal penerapan OPOL, orangtua harus konsisten menggunakan bahasa ibu ketika berbicara dengan anak sehingga anak dapat mengasosiasikan bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan salah satu orangtua.
Keempat, hindarkan mencampur bahasa. Menurut buku ini, pada setiap pelaku multibahasa seringkali ditemui bahwa mereka menyelipkan istilah atau kalimat dalam bahasa asing di percakapan sehari-hari yang merupakan hal wajar. Yang terpenting adalah tidak mencampurkan bahasa dalam satu kalimat. Pastikan orangtua memberi contoh kepada anak dengan mengucapkan satu kalimat utuh dalam satu bahasa saja.
Kelima, gunakan bahasa yang paling dikuasai. Dalam hal orangtua ingin menerapkan multibahasa pada anak, hendaknya orangtua menggunakan bahasa yang paling dikuasai untuk berbicara dengan anak. Anak dapat tetap menjadi bilingual dengan bantuan media atau bahkan belajar langsung pada penutur aslinya.
Ada satu pengalaman yang selalu teringat di benak saya. Sekitar dua tahun lalu, saya dan dua teman menonton pagelaran seni dalam bahasa Sunda yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Lingkung Seni Sunda – Institut Teknologi Bandung (LSS-ITB) ini menggunakan pengantar bahasa Sunda dari awal hingga akhir acara. Tidak berapa lama setelah acara berlangsung dan penonton mulai tertawa mendengar percakapan para pemain di panggung, saya mendengar suara seorang anak usia SD di belakang kami yang mulai ribut bertanya kepada orangtuanya apa maksud dari kalimat-kalimat yang dilontarkan para pemain. Yang membuat saya heran, si anak terus bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris sementara orangtuanya menjawab dalam bahasa Indonesia. Hal ini menjadi sangat mengganggu karena suara si anak cukup keras dan terus-menerus bertanya hampir sepanjang acara berlangsung. Begitu acara usai, saya melihat satu keluarga Indonesia (saya hampir yakin bahwa orangtuanya mampu berbahasa Indonesia dan Sunda) dengan tiga orang anak, dan hanya satu anak saja yang berbahasa Inggris, yaitu anak yang merusak kenikmatan kami menonton pagelaran tadi. Saya amati dua anak yang lain bisa berbahasa Indonesia dengan sangat lancar (tentu saja, mereka orang Indonesia dan tinggal di Indonesia!). Sungguh mengherankan, di satu sisi orangtua berniat baik (mungkin) ingin mengenalkan budaya Sunda kepada anak-anaknya dengan menonton pagelaran tersebut, namun disisi lain, ke'tidakmampuan' si anak berbicara bahasa Indonesia disikapi sebagai suatu kebanggaan tersendiri. Membingungkan bukan?
Sayangnya, masih ada orang Indonesia yang merasa bahwa bahasa Indonesia tidaklah penting dan orangtua malah bangga ketika anaknya berbahasa Inggris dan tidak bisa berbahasa Indonesia padahal kedua orangtuanya adalah orang Indonesia dan mereka tinggal di Indonesia. Di berbagai kesempatan, sering pula saya temui orangtua yang berbahasa asing dengan anak balitanya, namun sepotong-sepotong, dalam arti orangtua hanya menggunakan beberapa patah kata asing dalam kalimat yang secara keseluruhan menggunakan tatabahasa Indonesia. Perjalanan kami sendiri membesarkan anak bilingual masih sangat panjang karena penerapan metode OPOL ini baru dilakukan selama lima bulan terakhir. Namun satu hal yang pasti untuk saya, mampu bermultibahasa adalah suatu hal yang sangat positif, tetapi tidak berarti bahasa ibu terlupakan atau mencampur adukkan penggunaan bahasa dapat dilakukan. Bagaimana menurut Anda?
aduh aduuh pungky. Senengnya baca blogpost ini. Gue pun pernah beberapa kali nulis soal multibahasa dan OPOL ini karena kan gue mempraktekkan hal yg sama ke Kai dan Sami.
ReplyDeleteSekarang dua anak gue lancar kedua bahasa ortunya, Indonesia dan Inggris. Satu sisi gue bangga, sisi lainnya gue gregetan juga ngeliat orang2 (Indonesia) yang nanya, kok anaknya lancar banget berbahasa Indonesia? Kesannya ada yg salah gitu.
Belon lagi ada yg nanya, kenapa kok anak gue gak bisa bahasa Inggris, padahal kan tinggal di luar negri. Ggggrrrr... pengen nonjok.
Sesama orang Indo di sini pun banyak yg bertanya ke gue, kok bisa anak2 gue lancar Indonesianya? Sangat disayangkan memang banyak anak campuran Indo sini yg akhirnya gak bisa berbahasa Indonesia.
Buat gue sih gampang aja, tinggal ngomong ke anak pake bahasa Indo. Apa susahnya sih? Tapi emang...yg susah itu konsistensinya. Apalagi buat orang2 yg udah jago bahasa sini, pas anaknya berceloteh dalam bahasa Finlandia, ortunya pun secara gak sadar membalas dalam bahasa Finlandia juga. Lama2 ya anaknya jadi males berbahasa Indonesia.
Dan lbh disayangkan lagi, memang ada orang2 yg merasa bahasa Indonesia udah gak perlu lagi, terutama kalo tinggal di luar negri.
Gue merasakan sendiri manfaatnya anak gue bisa dua bahasa. Kalo pulang kampung anak2 gue tetep bisa akrab main sama oma-ompungnya. Tetep bisa ngobrol sama anak2 tetangga. Ngobrol sama supir angkot, pelayan restoran, tukang sayur, dllnya. Bisa ngerti tivi berbahasa indonesia, dan diajak nonton panggung 17an.
Kebayang gak sih kalo anak gue gak bisa bahasa Indo, betapa sedihnya hati nyokap gue kalo gak bisa ngobrol2 sama cucunya? Anak2 pun gak bakal bisa enjoy liburan di Indo kalo gak bisa bahasanya.
So, YES! Mengajarkan bahasa ibu itu sangat penting. English can follow later. Kalo anak udah terbiasa bilingual or multilingual, katanya bakal lbh gampang belajar bahasa baru.
Horee, komen langsung dari pelaku OPOL :). Rika adalah bukti nyata bahwa nggak rugi mengajarkan bahasa ibu sama anak2..Kai dan Sami adalah produk sukses anak multibahasa :), . Qiqiqi, disinipun sama, tiap kali orang nanya bahasa apa yang kami pakai, selalu muncul pertanyaan berikutnya "lho, kok gak diajarin bahasa Inggris?". Ada pengalaman satu temen, pas anaknya liburan ke Indo, si anak curhat sama emaknya. Si anak sedih, katanya nenek gak sayang sama dia karena nenek gak pernah ngajak dia ngobrol, padahal sang nenek gak bisa bahasa Inggris. Sejak saat itu, emaknya konsisten ngomong pake bahasa Indo dan liburan kemarin, seperti Kai dan Sami, si anak menikmati sekali liburannya di Indo karena dia bisa berkomunikasi lancar dengan bahasa Indo. Wah, baca pengalaman Rika, jadi gak sabar nunggu David bicara dua bahasa, seperti Kai dan Sami, hehehe...
ReplyDeleteAmat sangat, teramat setuju!!! Saat ini gue tinggal di US. Sama juga, disini banyak teman2 org Indo yg mencampuradukkan bahasa Indo dan inggris, termasuk ipar saya. Gue sendiri punya goal, anak harus bisa bahasa Indo. Skrg ini bayi gue masih baru umur 13 bulan, dari sejak bayi lahir ampe skrg, gue selalu pake bahasa indo, wkt ngajakin ngomong bayi sampai nunjuk nama hewan atau benda disekeliling kita. Saking takutnya (beneran saking ini) klo nanti lebih dominan bhs inggris klo uda lbh besar nanti. Ipar gue yg tadi, anaknya ngerti klo kita omong2 apa pake bhs Indo, tapi klo dia mesti jawab ato ngomong, Udah pake bhs inggris dan bahasa campuraduk, pdhl baru masuk sekolah loh, masi umur 5 tahun. Hiks, rasanya gemez geregetan klo liat cara ngajarnya yg dicampur2in dan membiarkan si anak bhs indo yg lbh cenderung ke pasif. Pas gue ajarin bayi gue (ini bintang, anjing, minum susu, satu, dua, dll) ipar denger trus bilang "ajari aja pake inggris aja, lebih pendek, gampang... Star.. Gampang pendek soale, klo pake bintang, panjang kapan nyantol nya... Star ...star." Katanya. (Wkt Itu gue ajarin bentuk bintang2an).
ReplyDeleteDi lain waktu gue lagi ajari angka ke bayi, trus ipar ada disamping, Dia bilang lagi hal yg sama kyk diatas, trus gue jawab, "Gpp, biar bisa Indonesia angkanya" trus Dia jawab, klo anaknya (madie) bisa juga ngerti angka bhs Indo, soale pasti nanya klo denger papa mama nya ngomong2 pake bhs Indo trus ada angka ato kata yg Dia gak ngerti... Jd gue gak perlu kuatir bayi gak bisa bhs Indo nantinya. Duh, ngenes hati ini liat cara pikirnya yg sperti itu. Goal gue, klo bisa nih yah.. Anak meski tinggal di lingkungan inggris, mesti bisa aktif Dan pasif berbahasa indo klo bisa nulis baca sekalian. Gak cuma ndengerin doank. Meski dalam hati ini mikir juga terlalu muluk kali goal gue dan blom tentu bisa... Hiksss.. :(
Skrg ini gue jg sedang bertanya2 sendiri, cari info2 di Internet termasuk blog2 (akhirnya sampe keblog Seerika, Pungky, bebenyabubu ) yg ber-opol. Tapi masalahnya gue n suami sama2 org Indo, dan blog2 yg selama ini gue baca2 blom ada yg menceritakan pengalaman sama2 pasangan Indo berdedikasi ngajarin bhs ibu. Metode OPOL gak bisa kami terapkan yg pasti.
Gue bener2 berharap bisa kayak Seerika, Pungky, yg berhasil ngajarin anaknya bhs Indo secara aktif. T O P den buat kalian!
Hai FioLia, salam kenal! Maafkan balasannya yang super telat :(. Salut untuk tekad dan usahanya ngajarin bayinya bahasa Indo. Nanti kerasa deh kalau anak udah mulai bisa ngomong, kita harus tebak-tebakan dalam bahasa apa dia bicara, seruu...dan takjub! Kalau kedua ortunya sama-sama orang Indo, sepertinya yang paling utama adalah kesepakatan bersama dan konsisten bicara sama anak dalam bahasa ibu. Pernah baca satu artikel bahwa Bahasa Indo, dilihat dari jumlah pemakainya, diprediksi akan menjadi salah satu bahasa populer untuk dipelajari selain Jerman,Perancis, dan Portugis. Terima kasih udah mampir sini dan selamat menikmati hari-hari menjadi ibu untuk si buah hati kesayangan:)
Delete