Tuesday, 29 March 2016

Pesona Kota Bunga Da Lat

Stasiun kereta api Da Lat yang mirip dengan arsitektur stasiun kereta api Deauville menunjukkan pengaruh Perancis

Menginjakkan kaki di Da Lat pada akhir bulan Desember adalah pilihan tepat sekaligus keberuntungan untuk kami. Dikatakan pilihan tepat karena kotanya bersih, hijau dan berudara sejuk, disebut keberuntungan karena kedatangan kami bersamaan dengan diselenggarakannya hajatan akbar setiap dua tahun yaitu Festival Bunga Da Lat atau Festival Hoa Da Lat 2015 dari 29 Desember 2015 hingga 2 Januari 2016.

Langit biru dan angin dingin menyambut kedatangan kami di bandara Lien Khuong yang tampak masih baru. Penerbangan VN 1957 yang kami tumpangi dengan rute Da Nang - Da Lat selama 1 jam 25 menit pagi itu mulus tanpa turbulensi. Shuttle dari bandara dengan harga VND 40,000/orang mengantarkan kami sampai di depan hotel setelah sebelumnya menurunkan beberapa orang, memberi kesempatan sekilas untuk melihat-lihat pemandangan kota Da Lat. Hanya tiga hari dua malam waktu yang kami miliki disini, tadinya dianggap cukup, namun ternyata terlalu singkat jika ingin melihat semua keindahan Dalat. Sejak awal kami meninggalkan area bandara, saya sudah jatuh cinta pada kota cantik ini. Sepanjang jalan keluar menuju bandara semarak dengan bunga dan tanaman berwarna ceria yang kontras dengan langit biru sebagai latar belakang.

Jalan berkelok-kelok dengan deretan pohon pinus yang seolah lari terbirit-birit kami lalui selama hampir empatpuluh menit sebelum akhirnya tiba di pusat kota. Dibagi menjadi 12 ward atau wilayah administratif, pusat kota Da Lat terletak di Ward 1 dan 2. Hotel kami terletak di pusat kota, hanya 5 menit berjalan kaki ke danau Xuan Huong. Sebagai orang yang pernah lulus dari mata kuliah 301 Perencanaan Kota, Da Lat bisa dibilang contoh kota ideal. Ketersediaan ruang terbuka publik, pusat kegiatan ekonomi, wilayah perumahan, fasilitas umum dan fasilitas khusus, jaringan jalan yang terhubung dengan baik, kawasan penyangga, semuanya terlihat direncanakan dengan baik. Utamanya lagi, kegiatan ekonomi yang menghidupi Da Lat mayoritas adalah pertanian dan pariwisata, sehingga membuat kota ini lebih ramah lingkungan, jika dibandingkan dengan kota yang bergantung pada sektor industri sekunder non ekstraktif, misalnya. Menariknya lagi, dibanding daerah tujuan wisata lain di Vietnam, Da Lat adalah tujuan wisata populer bagi wisatawan lokal, terutama sebagai tempat berbulan madu. Dengan udara sejuk dan suasana romantis, popularitas kota ini sebagai tujuan bulan madu tidak disangsikan lagi. Tidak heran, selama kami disana, bisa dibilang jarang berpapasan dengan sesama wisatawan asing/non-Vietnam.

Selain terkenal karena kecantikannya, kota ini juga adalah kota yang sarat dengan sejarah. Penjelasan lengkapnya bisa dibaca disini. Ada banyak destinasi menarik di Da Lat, mulai dari French Quarter, Crazy House, Pongour Falls, hingga Bao Dai Summer Palace. Satu yang tidak boleh dilewatkan adalah naik kereta ke desa Trai Mat yang berjarak 7 kilometer dengan ongkos VND 120,000/orang. Menumpang kereta bersejarah sekaligus melihat indahnya panorama pedesaan di sekeliling Da Lat ini dijamin akan menjadi pengalaman berkesan.


Danau Xuan Huong

Salah satu stand peserta festival bunga

Trotoar yang lebar dan bersih di tepi danau, impian para pejalan kaki!


Lukisan dinding dan deretan pot bunga yang dibuat khusus menyambut festival Hoa Da Lat


Taman-taman asri di setiap sudut kota


Suasana kota Da Lat, banjir bunga



Bunga dimana-mana

Foto pre-wedding di stasiun kereta api Da Lat yang bersejarah



Pertanian bunga dan sayur-sayuran di luar kota Da Lat


Linh Phuoc Pagoda di Trai Mat




Pemandangan memikat sepanjang jalur kereta api Da Lat - Trai Mat

Rata-rata rumah penduduk di Da Lat

Siapapun sulit untuk tidak menjadi narsis di Da Lat :)



Pameran bunga sepanjang danau Xuan Huong





Da Lat Flower Garden

Da Lat menjelang malam

Kopi, coklat, dan teh dari Da Lat

Perjalanan pulang menuju bandara...sampai jumpa lagi Da Lat!

Meski konon kota tempat tinggal tempat yang paling membahagiakan di bumi adalah Copenhagen, Denmark, namun rasanya sulit untuk tidak bahagia tinggal di Da Lat. Langit biru, kota yang bersih, udara sejuk sepanjang tahun, makanan enak, bebas macet, pemandangan alam yang indah, taman hijau dan asri dimana-mana, membuat saya bermimpi untuk bisa kembali lagi kesini. Au revoir, Da Lat!

Menyusuri Sejarah Siam di Sukhothai

Setelah lama absen, alhamdulillah akhirnya saya bisa kembali menulis catatan perjalanan lagi. Kali ini, redaksi majalah TravelXpose yang berbaik hati memberikan kesempatan bagi tulisan saya dimuat di edisi Maret 2016.






Terima kasih pada editor majalah yang sudah mengedit tulisan saya plus melengkapinya dengan foto-foto yang baguuss :).

Terima Kasih TAMASYA

Semenjak terbersit niat untuk kembali menulis artikel perjalanan dan mencoba mengirimkannya ke majalah, saya mulai mencari-cari kontak editor beberapa majalah dimana artikel saya pernah dimuat, salah satunya adalah majalah TAMASYA. Perkenalan dengan majalah TAMASYA dimulai sekitar tahun 2004-2005 ketika ada teman yang membawa beberapa edisi ke kantor. Sejak itu saya langsung suka karena majalahnya handy dan terutama mengulas banyak tempat-tempat menarik di Indonesia yang memberikan ide tujuan jalan-jalan. Rasanya 12 tahun lalu belum banyak majalah yang mengulas tentang pariwisata dan TAMASYA termasuk pelopor dalam subjek ini. Selama beberapa tahun saya hanya menjadi pembaca setia TAMASYA sampai catatan perjalanan salah satu sahabat di Wakatobi dimuat disana, membuat saya terkagum-kagum.

Keinginan menulis masih jadi sebatas wacana karena saya tidak tahu bagaimana memulainya, sampai akhirnya di suatu hari di tahun 2010 saya memberanikan diri menulis artikel perjalanan tentang kota Inverness di Skotlandia yang saya kunjungi ketika masih tinggal di Inggris. Alhamdulillah, tawaran saya mendapat tanggapan positif dari pihak TAMASYA dan muncullah tulisan pertama saya di majalah TAMASYA edisi Mei 2011. Setelah itu, tiga artikel perjalanan yang lain berhasil diterima, termasuk artikel terakhir tentang Chateau de Chambord yang muncul di edisi September 2013.

Awal tahun 2015, saya mulai aktif kembali mencari kontak editor via media sosial maupun surat elektronik tanpa hasil memuaskan, sampai beberapa hari lalu saya tidak sengaja mendapat tautan dari blog travel blogger terkenal mbak Fabiola Lawalata disini. Ternyata, majalah TAMASYA yang sudah berbaik hati memuat tulisan perjalanan pertama saya sudah tutup tahun 2014 lalu :( :( :(. Selain majalah TAMASYA, majalan JalanJalan, dimana satu artikel saya tentang tradisi Landdiving di Pentecost Island, Vanuatu pernah dimuat, juga ternyata sudah tutup :( :(. Pantas saja saya tidak berhasil menemukan kontak kedua majalah tersebut dimana-mana.

Meski terlambat, saya sangat berterima kasih banyak pada (ex) redaksi majalah TAMASYA (dan majalah JalanJalan) yang telah bersedia menerima tulisan pemula seperti saya sehingga saya mempunyai motivasi untuk terus belajar dan mencoba. Tanpa kesempatan yang diberikan para editor majalah tersebut, mungkin keinginan saya menulis catatan perjalanan hanya akan menjadi sebatas mimpi.

Sunday, 6 March 2016

[Menjadi Ibu]: Mimpi Buruk di Siang Bolong

Postingan ini sama sekali tidak berkaitan dengan parenting atau apapun yang berhubungan dengan urusan membesarkan anak, melainkan catatan kecil saya yang kalau diingat-ingat sekarang suka bikin tertawa miris sendiri.

Saya punya pengalaman tidak menyenangkan dengan orang yang terganggu ingatannya, selanjutnya disingkat OTI. Cerita pertama terjadi waktu David masih berusia kurang dari 2 tahun dan saya sedang hamil 5 bulan. Suatu pagi kami berjalan menuju daycare, mengambil rute biasa. Seperti kebiasaannya, David berbelok sebentar dekat bak besar dekat bundaran air mancur yang berisi beberapa ekor ikan. Saat itu David berdiri kurang lebih sekitar 1 meter dari saya. Tiba-tiba, entah dari mana munculnya, ada seorang pria yang tampaknya OTI (saya sudah cukup sering melihatnya di daerah Sukhumvit) mendekati David, mungkin maksudnya mengajak bermain. Saya panik dan berusaha mengambil David yang satu lengannya diraih bapak tersebut. Saya berusaha menariknya dan segera lari menjauh. Untung, bapak itu melepaskan pegangannya dan tidak mengejar kami. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, kami masih dilindungi. Terlintas kemungkinan paling buruk, apabila bapak tersebut bersikukuh memegang David, ah sudahlah, membayangkannya saja saya  tidak sanggup :'(. Semuanya terjadi begitu cepat dan tidak seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu sama sekali tidak ada penjual kaki lima atau orang yang lewat ketika peristiwa terjadi. Sambil gemetar dan menggendong David, saya segera mencari taksi karena David sempat menangis dan tidak mau berjalan lagi, rupanya ia baru sadar apa yang terjadi beberapa saat kemudian. Saya masih gemetaran saat menelepon suami menceritakan apa yang baru saja terjadi. Ya Allah, terima kasih kami masih dilindungi. Setelah kejadian itu, pesan moral yang saya dapat adalah: TIDAK PERNAH lagi membiarkan David berada jauh dari saya, 30 cm sekalipun selama di tempat umum. Mengalami paranoia? mungkin, terserah orang mau bilang apa, saya tidak peduli. Kami masih sesekali berpapasan dengan bapak tersebut dan saya sempat deg-degan ia mengingat profil kami, tapi saya pasrah, hanya bisa banyak-banyak berdoa dan selalu berusaha berjalan menempel beriringan dengan orang lain jika kebetulan kami berpapasan.

Ternyata mimpi buruk itu terulang, lagi-lagi saya harus berurusan dengan OTI yang lain, kali ini perempuan. Ceritanya, satu Sabtu pagi, saya membawa anak-anak ke taman dekat tempat kami tinggal, si kakak dengan sepeda roda empatnya dan si adik di stroller. Lumayan repot mendorong sepeda yang pengemudinya sendiri belum lancar mengayuh dan mendorong stroller dengan satu tangan. Dari kejauhan, saya sudah melihat perempuan ini dan demi keamanan, saya mengambil arah berlawanan. Karena si kakak masih belum lancar mengayuh sepedanya, alhasil kami melaju lambat sekali seperti siput dengan posisi saya mendorong stroller dan si sulung bersepeda di sebelah kanan saya. Tidak disangka, perempuan bertubuh kurus ini berjalan mengitari kolam di tengah taman, sehingga ia sekarang berada searah dengan kami. Singkat cerita, ia sudah berada di depan kami dan mulai berceloteh, mendekatkan badannya ke stroller. Saya yang tidak mengerti apa yang ia bicarakan, hanya punya satu pikiran, melindungi si kecil, karena saya tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Saya pinggirkan stroller dan menghalanginya dengan badan saya,  sementara si kakak dengan sepedanya ada di sebelah kanan saya, dan OTI tersebut tetap berdiri di depan kami. Karena stroller sudah di luar jangkauannya, ia mengalihkan perhatian pada sepeda dan bergerak seperti hendak mengambil sesuatu di keranjang depan sepeda yang kebetulan berisi tisu basah dan kunci apartemen. Secara spontan melihat gerakannya, saya langsung menepis tangannya supaya tidak menyentuh apapun, khususnya si kakak. Secepat kilat, OTI yang marah karena perilaku saya meracau sambil langsung mendaratkan tangan di pipi kiri saya, PLAK! Sesaat saya kaget, pengalaman seumur-umur ditampar orang tidak dikenal sambil dimaki-maki (saya tidak mengerti dia bicara apa, tapi sepertinya tidak jauh dari kata-kata makian). Mungkin, ia tersinggung saat saya menjauhkan anak-anak dari jangkauannya sehingga ia menjadi marah. Rasa kaget karena tamparan keras itu mendadak hilang berganti panik karena ia tiba-tiba mengacung-acungkan sebatang dahan pohon yang patah ke arah saya. Saya jadi takut kalau ia nekat mencederai dengan senjatanya itu. Untunglah, tidak jauh dari situ, ada dua ibu yang sedang duduk di bangku dan saya segera mendekati mereka, minta perlindungan. Salah satu ibu kemudian berteriak minta tolong pada tukang kebun untuk mengusir OTI yang masih mengamuk untuk keluar dari taman. Saya dan David yang masih terpukul kemudian memutuskan pulang, padahal belum ada setengah jam kami di taman. Setelah kejadian itu, saya masih berpapasan beberapa kali dengannya, dan lagi-lagi saya khawatir ia akan ingat kami, sampai pernah saya mengambil jalan memutar untuk menghindari bertemu dengannya...duh repotnya :(

Setelah menjadi ibu, saya baru tahu, insting protektif  terhadap anak-anak juga membuat saya berani berhadapan langsung dengan OTI, padahal dulu, baru lihat OTI dari jauh, saya sudah lari ketakutan mencari tempat berlindung yang aman. Alhamdulillah, setelah dua mimpi buruk itu, sampai hari ini kami masih dilindungi, dan semoga tidak akan pernah berurusan dengan OTI lagi selamanya.

Friday, 4 March 2016

Sekilas Siem Reap

Pertengahan bulan lalu, terwujud juga perjalanan kami ke Siem Reap yang sudah dibicarakan sejak tahun lalu. Pagi harinya, kami berangkat dari Koh Samet -sebuah pulau kecil yang bisa dicapai dengan 2,5 jam berkendara dari Bangkok- menumpang kapal cepat carteran demi mengejar waktu agar sampai di bandara Don Mueang sesuai jadwal. Waktu yang biasa ditempuh kapal penumpang biasa selama 40 menit menjadi 15 menit saja, dan pukul delapan lewat sedikit, mobil van sewaan sudah siap mengantar kami ke bandara.

Penerbangan Bangkok - Siem Reap hanya membutuhkan waktu 50 menit saja. Bandara Siem Reap tergolong kecil, sehingga tidak lama, kami sudah berada di ruang kedatangan, mencari-cari papan nama yang dibawa penjemput yang sudah dipesan dari hotel. Bolak-balik mencari, penjemput kami tidak juga ketemu sampai akhirnya ada seseorang yang berlari-lari kecil menghampiri sambil tersenyum minta maaf. Tidak lama, dua buah tuk-tuk menghampiri, siap mengangkut kami dan koper. Hotel kecil tempat kami menginap menyediakan penjemputan gratis dengan tuk-tuk atau mobil dengan biaya tambahan. Sebagai penyuka segala hal yang gratisan, tentunya kami memilih tuk-tuk. Diantara mobil van hitam milik Shinta Mani lengkap dengan chauffeur yang sedang memasukkan koper tamunya ke bagasi mobil dan penjemput berseragam dari Amansara, dijemput naik tuk-tuk itu rasanya sesuatu sekali, hehehe...


Perjalanan dari bandara ke hotel memakan waktu kurang lebih 20 menit, melewati Angkor Wat yang tampak dari kejauhan. Selesai check in, kami langsung menuju loket penjualan tiket masuk Taman Arkeologis Angkor. Dengan dua buah tiket 3-day pass seharga masing-masing USD 40 dan gratis untuk anak-anak dibawah usia 12 tahun, supir tuk-tuk membawa kami menuju Pre Rup, candi untuk melihat matahari terbenam, selain Bakhaeng Hill. Pre Rup dibangun pada abad ke-10 dan untuk mencapai puncaknya, kita harus meniti tangga yang lumayan curam, mengingatkan saya ketika mengejar panorama matahari terbenam di Shwesandaw Pagoda, Bagan, Myanmar.

Tiket masuk yang baru berlaku keesokan harinya (setelah pukul 4.30 sore pengunjung bisa masuk kawasan Angkor tanpa tiket alias gratis) sukses dipakai secara optimal untuk melihat tempat-tempat yang sudah tercantum dalam bucket list, dengan tetap memasukkan jadwal tidur siang diantaranya. Di hari kedua, hampir saja saya nyaris harus membeli tiket baru karena tiket saya masuk ke sela-sela antara jendela dan pintu mobil yang kami sewa (jangan tanya kenapa, ceritanya panjang :D), tapi syukurlah pak supir berhasil menyelamatkan tiket saya sehingga tidak perlu membeli yang baru lagi.

Selama di Siem Reap, waktu saat kami tidak berada di Angkor, kami berjalan-jalan ke kota, menyusuri Avenue Charles de Gaulle, mampir ke Siem Reap Old Market, dan menengok kawasan Pub Street yang ramai dengan turis. Kami juga sempat menghampiri Butterfly Garden Restaurant yang terletak tidak jauh dari Old Market untuk makan malam sekaligus melihat kupu-kupu. Sayang, setibanya disana, ternyata kupu-kupunya tinggal tersisa dua ekor saja sementara yang lainnya sudah beterbangan keluar dari kebun. Untungnya si kakak tidak terlalu kecewa dan mau melanjutkan perjalanan ke Old Market.

Kami juga mampir membeli oleh-oleh di Madame Sachiko Angkor Cookies yang lokasinya berseberangan dengan Hotel Sofitel Angkor Phokeethra. Toko kue yang dirintis oleh seorang wanita Jepang bernama Sachiko Kojima ini membuat kue kering yang dicetak menyerupai bentuk Angkor Wat dalam berbagai rasa. Selain itu ada produk lain seperti teh, kopi, merica, gula aren, madu, kacang mede, keripik pisang, dan aneka kerajinan tangan khas Kamboja. Harga kue keringnya sendiri cukup mahal, antara USD 5 - 20, namun dijamin enak, dan ada logo halalnya :).

Toko Kue Angkor Cookies

Bicara soal makanan, kami tidak sempat menemukan makanan halal selama di Siem Reap. Hampir setiap makan malam kami lewatkan di hotel. Begitu sudah kembali ke Bangkok, baru saya temukan tulisan mbak Hilsya yang ini. Duh, rasanya harus kembali lagi kesana, ternyata ada lumayan banyak tempat makan halal di Siem Reap yang kami lewatkan :(.

Hari terakhir kami di Siem Reap dilewatkan dengan mengunjungi pasar tradisional di kawasan Old Market. Kunjungan ke pasar basah memang selalu seru dengan pemandangan eksotis buah-buahan dan sayur mayur yang beberapa saya tidak tahu namanya. Di pasar, banyak terdapat tempat makan dipenuhi pengunjung yang sedang sarapan. Konon, masyarakat Kamboja pada umumnya selalu makan di rumah, kecuali saat makan pagi, kebiasaan mereka adalah makan di luar rumah.

Suasana di salah satu sudut pasar

Toko spesialis beragam daging yang diasinkan dan dikeringkan

Mudah-mudahan kami bisa kembali lagi ke Siem Reap di musim yang berbeda, melihat kompleks Angkor dalam kehijauan tanaman dan lahan pertanian di musim hujan, menjelajahi Old Market, dan menjajal restoran halal disana. 

Thursday, 3 March 2016

#World Heritage Sites: Central Sector of the Imperial Citadel of Thang Long - Hanoi

Doan Gate

Terletak di pusat kota Hanoi, The Central Sector of the Imperial Citadel of Thang Long - Hanoi merupakan ibukota Dai Viet antara abad ke-11 hingga abad ke-18, pusat Forbidden City dan Imperial Citadel of Thang Long yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja para raja dan keluarga kerajaan selama masa kekuasaan lima dinasti. 

Pertama kali kami datang, rencana mengunjungi tempat ini gagal waktu menjelang pukul 11.30. Ternyata jam buka situs ini dari jam 08.30 - 11.30 dan jam 14.00 - 17.00 setiap harinya. Daripada harus kembali lagi pukul 14.00, kami memilih pergi ke tempat lain dan kembali keesokan hari. Besok paginya, dengan tiket masuk VND 30,000/orang dan gratis untuk anak-anak di bawah 15 tahun, kami memulai perjalanan dari Doan Gate yang megah. 

Situs Arkeologis 18 Hoang Dieu dari abad ke-7

Menurut sumber ini, sebagai pusat kekuasaan politik regional selama hampir 13 abad berturut-turut, bangunan dalam kompleks Citadel dan sisa-sisa reruntuhan di Situs Arkeologis 18 Hoang Dieu mewakili budaya Asia Tenggara yang unik, khususnya di lembah Sungai Merah, persimpangan antara pengaruh Cina dari utara dan Kerajaan Champa kuno dari selatan. Diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO pada 2010, tempat ini tentunya masuk dalam daftar kunjungan kami ke Vietnam :). 
 
Bonsai yang dibuat dengan miniatur kompleks kuil
 

    

Another WHS: checked!