Thursday, 16 June 2016

[Little Traveler]: Pengalaman Pertama Terbang Solo bersama Dua Balita

Akhir bulan Mei lalu, kami pulang ke Indonesia. Awalnya, kami berencana pulang saat libur sekolah bulan April, namun berhubung si sulung sakit, terpaksa rencana batal dan diundur menjadi akhir Mei. Saat keberangkatan dari Bangkok, kebetulan ada seorang teman dan ibu serta kakak perempuannya yang menemani, meski kami tidak duduk berdekatan. Sementara penerbangan Jakarta - Bangkok sekitar seminggu setelahnya terpaksa harus kami lalui hanya bertiga saja. Ternyata, pengalaman pertama saya terbang membawa bocah usia 4 tahun dan 19 bulan ini sangat menantang.

Dari sisi logistik, dengan satu maupun dua anak, tidak jauh berbeda karena saya selalu berprinsip traveling light, yang berarti satu buah backpack, satu buah koper ukuran sedang, dan backpack si kakak untuk menyimpan mainannya (jika dibutuhkan), ditambah baby carrier.

Proses check in sampai sebelum boarding masih gampang. Karena pesawat terlambat 1 jam, maka kami baru terbang sekitar pukul 7 malam. Di sini, perjalanan mulai menantang. Penerbangan kali ini menjadi yang terberat sepanjang pengalaman saya, pertama, karena saya hanya sendiri menjaga anak-anak; kedua, situasi diperparah karena mereka tidak tidur siang; ketiga, jam penerbangannya mendekati jam tidur mereka. Sophie menangis terus, berhenti ketika ada penumpang di belakang yang menawarkan permen karamel, dan menangis lagi karena permen karamel yang dikunyahnya menempel di gigi dan susah dilepaskan :D. Pada waktu bersamaan, David juga menuntut perhatian yang biasanya tidak pernah dia lakukan saat di rumah ataupun di perjalanan-perjalanan kami sebelumnya. Untunglah ibu dan kakak perempuan teman menawarkan untuk bertukar tempat duduk, sehingga saya sangat terbantu dengan adanya teman saya yang ikut menghibur anak-anak. Setelah bertukar tempat duduk, drama masih berlanjut meski tidak separah sebelumnya. Ada saat dimana Sophie tenang, giliran si kakak yang membuatnya menangis kembali sampai saya harus menegurnya...duuhh..capek! Meski terlihat lelah, tapi keduanya tidak mau tidur sampaiii...beberapa saat sebelum mendarat, lampu di kabin pesawat dimatikan, dan tiga detik kemudian, keduanya tertidur! Oalah, ternyata itu yang membuat mereka susah tidur dan cranky. Persoalan baru muncul ketika kami mau turun. Beruntung ada bala bantuan, sehingga teman saya menggendong Sophie dan saya menggendong David, sementara barang-barang di kabin dibawakan oleh kakak perempuan teman saya. Masalah muncul ketika kami antri di imigrasi, David yang diminta berjalan mulai menangis karena capek. Mendengar suara tangisan David, beberapa orang berbaik hati memberikan tempat antri mereka untuk kami. Tangisan plus tantrum masih berlanjut saat kami menunggu bagasi yang berakibat membangunkan si adik di gendongan saya, jadi nangislah dua-duanya :(...

Di pintu keluar, petugas dari hotel tempat kami menginap malam itu sudah menunggu dan tidak lama, shuttle bus datang membawa kami. Untunglah, begitu keluar, suasana hati David sudah kembali membaik. Sesampainya di hotel, Sophie langsung tertidur sementara David tertidur beberapa saat setelahnya, dan saya menarik napas lega..alhamdulillah.

Dalam perjalanan kembali ke Bangkok, saya ditemani ibu dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Penerbangan Jakarta-Bangkok kami lalui bertiga saja. Setelah melepas ibu dan dua sahabat saya yang menyempatkan waktu datang ke hotel pagi-pagi sebelum terbang, petualangan dimulai. Tidak ada persiapan khusus apapun kecuali berdoa anak-anak akan manis selama di pesawat. Oia, beberapa hari sebelumnya, kami minta David untuk membantu saya selama perjalanan dengan bersikap manis. Jam penerbangan siang hari yang pas dengan jadwal tidur siang Sophie sangat menguntungkan. Satu-dua menit setelah pesawat mengudara, Sophie tertidur dan baru terbangun satu jam sebelum mendarat. Sophie saya masukkan dalam gendongan sehingga saya bisa bergerak lebih bebas, termasuk pergi ke toilet. Alhamdulillah, David manis sepanjang perjalanan, termasuk bersedia ditinggal sebentar di kursinya saat saya pergi ke toilet. Drama kecil dimulai ketika Sophie bangun dan mengusili kakaknya yang berakhir dengan balas membalas...namun pengalaman kedua ini relatif lebih mudah dibanding pengalaman pertama. Satu jam tidak terasa ketika pesawat mendarat di Don Mueang, berbeda rasanya ketika kami terbang ke Jakarta, perjalanan yang hanya 3,5 jam terasa lamaaaa sekali untuk saya. Setelah dua pengalaman tersebut, mungkin saya akan pikir-pikir lagi jika harus terbang bertiga saja dengan anak-anak dalam waktu dekat. Tapi kalau seandainya terpaksa harus terbang lagi, setidaknya saya akan menyetok aneka permen (yang sangat jarang saya beri pada anak-anak) dan lebih memilih penerbangan pagi/siang dibandingkan penerbangan sore/malam (untuk jarak pendek). Bukan tidak mungkin, pendekatan "carrot and stick" akan diterapkan lagi jika dibutuhkan :). Ada yang mau berbagi cerita dan pengalaman terbang sendirian (tanpa ditemani dewasa lain) bersama anak-anak balita?

No comments:

Post a Comment