Ada yang pernah mengalami gegar budaya atau
culture shock? Menurut Wikipedia, gegar budaya adalah pengalaman yang diperoleh seseorang ketika berpindah lingkungan ke tempat baru yang sama sekali berbeda dengan tempat tinggal asalnya. Masalah-masalah yang umum dihadapi dalam gegar budaya diantaranya: kebanyakan menyerap informasi, kendala bahasa, kesenjangan generasi, teknologi, keahlian, kangen tempat tinggal asal (
homesickness), hingga kemampuan untuk bereaksi terhadap sesuatu (
response ability).
Kalau diingat-ingat sekarang, pengalaman saya di masa-masa awal melangkahkan kaki keluar Indonesia sampai sekarang seringkali menjadi bahan tertawaan kami berdua. Konyol, tapi juga menjadi pengalaman hidup yang sangat berharga.
Matahari bersinar cerah dan langit biru di Eropa TIDAK BERARTI HANGAT!
Pertama kali saya keluar dari Indonesia adalah 9 tahun lalu, ketika saya mendapat kesempatan melanjutkan sekolah ke negerinya mbak Kate Middleton yang cantik jelita itu. Saya datang di penghujung bulan September yang merupakan musim gugur. Dari pembekalan sejak di Jakarta, kami sudah diberitahu tentang perkiraan suhu udara pada saat kedatangan dan saya sudah mempersiapkan baju-baju hangat yang diperlukan. Suami (waktu itu statusnya masih pacar) khusus menjemput di bandara Heathrow
dengan menggelar karpet merah bertabur bunga mawar, mengantarkan saya sampai asrama dan menemani minggu pertama saya di Bristol, dan setiap harinya ulang-alik Bristol-Bath karena ia berkemah di daerah Bath, kurang lebih 40-60 menit perjalanan dengan mobil. Pada saat kedatangan, ia ingin menunjukkan kota Bath yang cantik, maka berhentilah kami di Bath. Dari dalam mobil, ia sudah mengingatkan untuk mengenakan baju hangat karena udara di luar dingin, sementara saya bersikukuh tidak perlu karena
toh matahari bersinar cerah, iapun tidak memaksa.
Eh, benar saja, ternyata beberapa langkah dari mobil, saya mulai menggigil kedinginan, terang saja, seumur hidup tinggal di negara tropis, ini pertama kalinya disentuh udara bersuhu 16 derajat, bagaimana tidak menggigil?? Dengan perasaan malu, saya terpaksa menerima pinjaman baju hangatnya. Di kemudian hari, kejadian ini sering menjadi lelucon kami berdua, suami kerap bergurau, "jangan sok tahu, makanya percaya sama orang Eropa" :p
Minum air dari toilet
Masih di negara yang sama, dari sejak pembekalan kami juga sudah diinformasikan bahwa air keran di negara tujuan aman diminum. Tapi tetap saja, ketika si pacar keluar dari toilet sambil bilang bahwa ia sudah mengisi ulang botol air minum, ekspresi muka saya tidak bisa bohong sambil berkata lugu "Apa? Isi air minum di toilet?" Beruntunglah rasa sayangnya (saat itu) cukup besar untuk tetap sabar dan tidak menertawakan pertanyaan konyol saya sambil menjelaskan kembali maksud ucapannya.
Mesin parkir dikira telepon umum
Kejadian ini dan dua kejadian berikutnya masih berlokasi di negara yang sama. Ceritanya, pemandu pribadi saya mengajak berjalan-jalan keliling kompleks universitas. Pas melewati sebuah mesin hitam yang mirip telepon umum di Indonesia namun tanpa gagang teleponnya, saya otomatis bilang "ih, telepon umumnya lucu" yang langsung ditimpali "Oh, itu mesin untuk bayar parkir, bukan telepon umum" :D :D
Ditawari kantung plastik di toserba
Meski sudah belajar bahasa Inggris sejak kelas 6 SD, ternyata pertama kali saya mendengar orang berbicara dalam aksen
British yang kental, saya sempat terlongo tidak mengerti. Selama sekolah dan bekerja di Indonesia, saya hanya pernah bertemu dengan orang-orang yang bahasa Inggrisnya lumayan bisa dimengerti. Saat akan membayar, kasirnya bertanya apakah saya mau pakai kantung plastik atau tidak? Sejenak saya sempat bingung tidak mengerti dan minta ia mengulang lagi pertanyaannya sampai akhirnya saya paham yang ia maksud. Yang membuat saya bingung, pertama, aksenya, dan yang kedua, pertanyaannya apakah saya membutuhkan kantong plastik, karena terakhir kali sebelum saya meninggalkan Indonesia, kalau belanja di toserba, tanpa ditanya, sudah pasti langsung diberi kantung plastik.
Makan di dalam kendaraan
Pada satu liburan Paskah, saya berdua teman pergi berlibur ke Skotlandia. Di bis yang membawa kami ke sebuah kota kecil, hanya ada kami berdua dan sepasang suami-istri. Sebelum naik bis, kami sempat membeli
macaroni cheese di terminal untuk makan siang. Dalam perjalanan, perut saya terasa lapar dan otomatis teringat bekal makan siang yang dibawa. Tanpa sungkan, saya segera menyantapnya sampai beberapa saat kemudian, saya sadar kalau aroma
macaroni cheese tersebut sudah menguar kemana-mana. Dengan perasaan malu, saya berhenti makan meski belum selesai. Tidak ada yang menegur
sih, tapi saya baru sadar kalau naik kendaraan umum di luar negeri, rata-rata penumpang dilarang makan minum, berbeda dengan pengalaman saya naik kendaraan umum di Indonesia yang tidak terhitung jumlahnya sambil menyantap lumpia basah, gorengan, batagor, dan makanan enak-enak lainnya.
Gagap naik bis
Walaupun menjadi negara tetangga terdekat, saya baru benar-benar menginjakkan kaki di Singapura sekitar 7 tahun lalu. Pertama datang kesana, saya membeli kartu pas EZ Link untuk memudahkan naik transportasi umum. Teman saya bahkan bilang, kalau sudah familiar dengan London Underground, memahami jalur transportasi di Singapura bukan hal sulit. Meski begitu, tetap saja saya melakukan kekonyolan sewaktu naik bis kota untuk pertama kalinya. Seharusnya saya
menempelkan kartu tersebut pada saat naik DAN turun bis, namun karena tidak tahu, sewaktu turun saya tidak menempelkan EZ Link pada mesin dekat pintu keluar, yang berarti saya lalai membayar ongkos bis.
Tentu saja sistem kartu pas ini sudah memperhitungkan kecerobohan seperti yang saya lakukan, tapi tetap saja peristiwa ini memalukan kalau diingat-ingat.
Ditolak pemilik toko cinderamata
Di suatu liburan musim panas, kami mengunjungi kawasan yang populer dekat kota Bordeaux, Perancis, Arcachon namanya. Waktu menunjukkan hampir tengah hari ketika kami memasuki sebuah toko cinderamata. Alangkah kagetnya saya ketika si pemilik toko tanpa berbasa-basi langsung mengatakan bahwa tokonya akan segera tutup karena sudah waktunya makan siang. Rasa kaget yang diikuti perasaan sebal karena "ditolak" membuat kami segera mengangkat kaki dari toko tersebut. Meski sekarang sudah terbiasa dengan gaya bicara tanpa basa-basi, saat itu gaya bicara pemilik toko yang lugas, walau disampaikan dengan ramah, membuat saya sebal bukan main. Di Indonesia, mana ada calon pembeli yang ditolak masuk sebuah toko karena datang menjelang makan siang?
Hm, atau jangan-jangan ada ya???
Tukar menukar kartu nama
Kejadian lucu ini berawal dari pertemuan saya dan teman dengan bosnya teman kerja kami di satu proyek. Teman kerja kami ini bekerja di perusahaan Jepang dan kebetulan atasannya adalah orang Jepang. Setelah dipersilakan masuk ke ruangan pak bos, saya yang berada di baris terdepan dengan penuh percaya diri langsung menyodorkan tangan untuk salaman, sementara pada saat bersamaan pak bos menyerahkan kartu nama beliau dengan khidmat dan posisi sedikit membungkuk. Terbayang betapa kikuknya saya saat itu. Setelah beberapa detik berada di tengah kebingungan dengan tangan terjulur tanpa mendapat sambutan, akhirnya saya menarik tangan kembali dan memutuskan untuk mengambil kartu nama beliau. Sepulang dari ruang pak bos, saya dan teman menertawakan kejadian tadi, contoh nyata perbedaan budaya yang biasanya hanya saya lihat di iklan televisi atau media cetak.
Adakah yang punya pengalaman seru seputar soal gegar budaya ini?