Thursday, 19 December 2013

[Little Traveler]: Membawa Si Kecil Menumpang Kapal

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai

-Ibu Sud-

Setiap mendengar lagu diatas, saya jadi teringat pengalaman pertama kami mengajak David naik angkutan laut. Pengalaman yang seru sekaligus juga menantang.

Kapal penumpang/Ferry
Pengalaman pertama David dengan angkutan air adalah ketika kami menyeberangi Selat Channel dari Perancis menuju Inggris pada musim panas tahun ini. Karena kami pergi ke daratan Inggris Raya naik mobil, pilihan utama jatuh pada ferry yang bisa mengangkut kami bertiga plus mobil dengan harga yang bersahabat pula. Pilihan jatuh pada Britanny Ferries yang berangkat dari Le Havre dan tiba di Portsmouth. Ferry Normandie Express yang kami tumpangi terdiri dari dua tahap dek dengan kapasitas 235 buah kendaraan, dan satu dek untuk penumpang dengan kapasitas 850 orang.

Salah satu bar di kapal
Deretan kursi penumpang
Mesin mainan dan kursi-kursi nyaman untuk bersantai
Suasana dek belakang kapal
Hobi membaca dimanapun
Melihat aktivitas di pelabuhan sesaat sebelum kapal berangkat
Bagi kami, selain durasi perjalanan yang lebih lama jika dibandingkan naik pesawat, perjalanan dengan ferry ini jauh lebih menyenangkan. Meskipun sesekali kapal bergoyang karena ombak, ruang di kapal yang luas memungkinkan David untuk bereksplorasi, melihat laut lepas dari dek belakang kapal yang terbuka, ataupun menonton televisi. Selain itu, kami beruntung kapal tidak penuh jadi satu deretan kursi bisa kami kuasai :). Perjalanan lima jam menjadi tidak terasa, apalagi di kapal tersedia juga fasilitas wi-fi gratis yang menyenangkan para orangtua :).Oia, di kapal ini juga tersedia loket penukaran mata uang dan toko duty free. Di perjalanan pulang dan pergi, kami bertemu dengan banyak orangtua lain yang membawa anak-anak mereka yang masih kecil, jadinya kabin kapal cukup ramai dengan celoteh anak kecil dan sesekali tangisan bayi.

Dari pengalaman pertama itu, hal-hal yang perlu diingat ketika membawa si kecil naik ferry adalah:
1. membawa semua hal yang akan dibutuhkan si kecil ke kabin, termasuk obat-obatan, baju hangat dan topi, mainan dan makanan, karena begitu penumpang naik ke kabin dari area parkir kendaraan, tidak diperbolehkan untuk kembali ke dek bawah sampai kapal tiba di tempat tujuan.
2. membawa persediaan kantung plastik kalau-kalau si kecil mabuk laut. David sendiri cukup hebat pada pengalaman pertamanya, malah ibunya yang mengalami sedikit pusing ketika gelombang cukup keras menggoyangkan badan kapal. Obat paling ampuh untuk mabuk laut biasanya adalah menghirup udara segar, aroma minyak telon atau minyak kayu putih atau makan obat anti mabuk sebelum berangkat.
3. untuk meminimalisir rasa mual, jika terjadi, kami menyiapkan permen (untuk kami) dan makanan berupa kue-kue, buah-buahan, roti, yoghurt dan salad yang dimasukkan ke dalam cooler bag. Makanan berat yang sarat bumbu sebisa mungkin kami hindari.

Longtail boat 
Perjalanan kami ke Krabi minggu lalu menjadi pengalaman pertama David main ke pantai. Kami sengaja memesan paket tur ke 4 islands dengan menggunakan longtail boat. Ada juga pilihan lain dengan speed boat namun karena mengingat pengalaman menggunakan longtail boat relatif lebih minim guncangan daripada speed boat, kami sepakat menggunakan kapal kayu saja. Kapal yang kami tumpangi berkapasitas 20 orang dengan David sebagai penumpang terkecil. Untuk perjalanan perdananya ini, kami sudah menyiapkan jaket pelampung khusus untuknya.

Longtail boat yang membawa penumpang mengelilingi 4 Islands

Sebelum naik ke kapal
Berpose di depan kapal yang membawa kami

Si kecil sudah bisa tersenyum menikmati perjalanan naik kapal kayunya yang pertama

Terpesona dengan pemandangan alam sekitarnya

Awalnya takut menginjak pasir, setelah dibawa masuk ke air malah tertawa senang :)

Dikelilingi ikan-ikan mungil yang cantik di Poda Island

Wow...ikan-ikan lucu yang membuat David gemas ingin memegangnya!

Memandangi sekelompok ikan-ikan yang berenang di pinggir kapal kami

Dengan keluarga Malaysia yang ramah sesama peserta tur
Membawa balita naik kapal, apalagi jenis kapal kayu memang agak menantang. Berbeda ketika ia naik ferry, David sempat menangis ketakutan ketika dinaikkan ke atas kapal kayu yang digoyang ombak, tapi setelah berada dalam pelukan saya, perlahan ia mulai tenang, dan tidak lama kemudian, ia malah tertidur nyenyak.

Yang tidak boleh terlupakan ketika membawa si kecil naik kapal jenis ini adalah:

1. Jaket pelampung, yang sengaja kami beli khusus untuk perjalanan ini.
2. Sunblock khusus bayi yang dioleskan setiap 30 menit sekali (SPF 30)
3. Topi
4. Handuk untuk melindungi si kecil ketika cipratan air laut masuk ke dalam kapal
5. Kenakan sandal gunung yang praktis dan tidak mudah terlepas atau hanyut terbawa air
6. Makanan ringan dan susu kotak (air putih botolan disediakan di kapal)

Rasanya tidak sabar menunggu saat berikutnya untuk naik kapal lagi. Ayo, ke laut kita beramai-ramai :)

Tuesday, 10 December 2013

Fontevraud: Kembali ke Abad Pertengahan

Biara Fontevraud tampak samping

Fontevraud Abbey atau Biara Fontevraud, salah satu biara terbesar di Perancis, terletak di desa Fontevraud l'Abbaye wilayah Lembah Loire, sebelah barat Perancis ini dibangun pada abad ke-12 oleh Robert d'Arbrissel, rohaniwan dari Brittany. Dengan maksud membentuk suatu komunitas religius, biara ini menjadi tempat bernaungnya biarawan dan biarawati dengan biarawati sebagai kepala biara, sesuai dengan keinginan pendirinya. Unik ya? sependek yang saya tahu, biasanya kan biara dikepalai oleh biarawan.

Di tempat ini juga dulunya dimakamkan dinasti Plantagenet, yaitu Henri Plantagenet, yang menjadi raja Inggris pada 1154, istrinya Aliénor d'Aquitane, putra mereka Richard Cœur de Lion atau Richard the Lionheart, dan Isabelle d'Angoulême, menantu dari putra bungsu mereka, Jean Sans Terre. Tentu saja, jenazah mereka sekarang tidak ada lagi karena diyakini ikut hancur ketika terjadi Revolusi Perancis. Bagi yang pernah belajar sejarah Eropa, dinasti Plantagenet yang berkuasa di Inggris kala itu juga diakui oleh bangsa Perancis sebagai bangsawan Perancis sejati, sehingga jangan heran kalau di dekat kawasan Big Ben di London ada patung Richard the Lionheart dan di Perancis sosok yang sama juga diakui sebagai pahlawan.

Keempat nisan dinasti Plantagenet

Salah satu sudut biara dengan lambang AO (Alpha Omega yaitu huruf pertama dan terakhir dalam alfabet Yunani)

Petikan ayat dari Alkitab yang menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Kuasa itu selalu ada, dari mana segala sesuatu bermula dan kepada-Nya semua akan kembali

Desa abad pertengahan Fontevraud l'Abbaye

Koridor biara yang megah

Salah satu ukiran indah di dinding biara

Cerobong asap dapur

Dapur bagian dalam

Dapur dengan cerobong asap dan atapnya yang unik mirip sirip ikan

Bangunan dapur tampak luar

Pada masa pemerintahan Napoleon di abad 19, biara ini pernah juga digunakan sebagai penjara dan tempat penampungan orang-orang yang kurang beruntung. Sekarang, kompleks Fontevraud dilengkapi dengan hotel dan kafe serta kerap digunakan sebagai tempat pameran kesenian.

Monday, 9 December 2013

On TravelersDaily: Experience Nature at Sukhothai Heritage Resort

Both of us are not luxury travelers and most of the time we travel, we rarely splurge our holiday budget on accomodation, unless there is no other option. Why? Simply because that  is not our style and as long as the place is clean and decent to our standard, we don't really care about anything else. However, our last trip to Sukhothai was a bit different. We decided to stay in a boutique hotel recommended by a friend of mine and it turned out to be a very nice staying experience with affordable price, too. 

Things I wrote here is purely an opinion from the happy customers. Here's my article, originally written for and published in Travelersdaily sometime ago. Happy reading!

-----

#ReadersPost: Experience Nature at Sukhothai Heritage Resort

Have you ever thought about going for a trip to Thailand without spending it in the vibrant Bangkok city nor in their famous beaches? Almost incomprehensible, right?  Who goes to Thailand and not spending any time in its ever–stimulating city and stunning beaches?  Well, we did :) And if you are as much into culture or nature as we are, then spending a serene weekend in the ancient city of Sukhothai is fathomably the best  way to spend your holiday in Thailand.

sukhothai_heritage_night_light-photo taken from resort's website
photosource: www.sukhothaiheritage.com
My husband and I, together with our 17-month old son,  wanted  to get some fresh air out of Bangkok and we decided to visit Sukhothai – a small city in lower northern Thailand.  We took a car to go there  and after approximately 7 hours drive from Bangkok with several breaks in between, we finally arrived at the ancient Sukhothai architecture styled resort at nightfall. We initially thought of staying in the old city nearby Sukhothai Historical Park, however, after looking at several possibilities, we decided to stay at the resort because we wanted to give it a try despite its remote location.

Rooms and the Resort
The open air concept of the resort allows guests to breathe fresh air as well as enjoy the view of the ponds and its lush surroundings.  We were welcomed with a nice cup of tea and warm fresh towels, then shown to our room.  The room was clean and well laid out with a baby cot provided as per our request.  All rooms in both wings are overlooking the pool with a cozy balcony on each room. I think this resort is perfect for couples or honeymooners due to the serene and relaxing ambiance.

view from the lobby
View from the resort's lobby

relaxing at the porch
Time to relax

Sukhothai Heritage Resort - the pool
The pool view

sukhothai_heritage_deluxe_room-photo taken from resort's website
photosource: www.sukhothaiheritage.com
We spent sometime lounging around the pool before heading to  the Lotus Restaurant for dinner. Apart from their scrumptious stir-fried chicken cashew nut, I personally thought that the other menu we ordered tasted fairly acceptable.  We were satisfied, however,  with their quick service and nicely presented food as well as their child-friendly staffs.  They were very helpful and attentive.  They helped us look after our son so we could enjoy our nice dinner.  Yes, for parents like us who have no nannies, this kind of small thing means luxury, especially when we are on vacation.

Another small detail that I personally liked from the resort was: instead of putting the guest’s note on the table to be completed, when we went back from dinner one night, we found the note along with a personalized good night’s greeting card from the staff and a frangipani flower on our made bed, very nice!  The only issue we had was mosquitoes, especially approaching dusk, since the resort is surrounded by ponds and lush vegetation.  Therefore, taking mosquito repellent with you is a must.

Activities
The next morning after breakfast,  we spent almost the whole day admiring the beauty of ancient Sukhothai under heavy rains.

Wat Mahathat on a rainy day
Wat Mahathat on a rainy day


Wat Si Sawai
The beautiful Wat Si Sawai
The weather on our second day was better fortunately.  It was  bright and sunny.  We decided to  take a bike tour to several tourist spots nearby using the resort’s free bike service. We spent a couple of hours visiting  the airport complex, which was only one and a half kilometer away. We also went to see the shy black and white swans floating gracefully in the ponds; visited the zoo and saw beautiful giraffes and zebras; saw buffaloes, cows and orchid greenhouse during our bike ride and had a great time enjoying the picturesque rural landscape.  You don’t need maps to explore the surroundings. The area is easy to navigate even for first-timers like us.  There are signposts within the complex and the small paths in between are very easy to follow.

collage
Our fabulous getaway at the beautiful laid-back Sukhothai countryside

We stopped by a small restaurant serving organic food and drinks at the end of our bike ride. We ordered rice grass juice while observing the people working in the farm.

the organic farm
The organic farm

the resort with paddy field on the opposite
The resort entrance surrounded by paddy fields

The resort also provides various interesting packages ranging from culture to nature. For those who love culture, get a seat for the excursion trips to the historical park of Sukhothai and associated historic towns nearby declared as the UNESCO World Heritage Site.  They are well-known for their constituting masterpiece of the early Siamese architecture and was once the capital of Siamese kingdom in the 13th-14th centuries.  You can also  learn how to cook local food by attending traditional Thai cooking class with the resort’s chef; or learn how to work in the farm by joining the organic farm tour.

Panoramic photo Wat Mahathat in Sukhothai
The panoramic Wat Mahathat


We had such a great time here and definitely will come and stay at this resort again  without a second thought.  We’d take the flight from Bangkok next time instead of driving and save us a lot of time. Bangkok Airways serves two flights daily going here and it takes only one hour twenty minutes. So, what do you say, want to give Sukhothai a try?

If you are interested,  go and visit their website  www.sukhothaiheritage.com  for more info. Booking through their website is highly recommended as they have special offers for prospective guests.

-----

Friday, 6 December 2013

Third-Culture Kids: Our Homework

I am from Belgium, where the clouds are usually soaked in rain,
I am from Italy, where the clouds are always cleared by sunlight,
I am from Poland, where the sky is as dark as coal,
I am from Mozart, whose music charmed peoples' hearts and woke their souls,
I am from my dreams and nightmares, where my imagination takes over,
I am from Egypt, whose mysteries haunt peoples' minds, 
I am from the ocean, where the waves calm my thoughts,
I am from the mountains, where the echo calls my name,
Most of all, I am from my family, where my heart truly belongs.

"I am from..." - Hendrik Verrijssen

Puisi diatas yang saya kutip penuh dari bukunya sungguh menggambarkan kekayaan pengalaman si penulisnya yang baru berusia 12 tahun ketika membuat puisi ini. Lalu, bagaimana seorang TCK dapat tetap mengembangkan potensinya secara optimal meskipun menjalani pola kehidupan berpindah atau nomaden? Karena putra kami sendiri baru berusia 18 bulan dan masih pasrah dibawa kemana-mana, saya pakai pengalaman pribadi saja sebagai ilustrasi kiat-kiat penting dari buku ini supaya lebih mudah diingat ketika tiba saatnya diterapkan pada anak nanti :)

Have fun!
Kiat ini sangat membantu saya yang mantan katak dalam tempurung ketika memulai petualangan saya sepuluh tahun yang lalu, yaitu menikmati seoptimal mungkin keberadaan kita di tempat yang sekarang ditinggali. Misalnya, sewaktu tinggal di Jakarta, saya jarang pulang ke Bandung karena hampir setiap akhir pekan harus bertemu dengan masyarakat di lapangan, sedih sih, tapi ternyata ada hikmahnya, saya jadi punya kesempatan untuk lebih mengenal kota kosmopolitan ini.

Unpack Your Bags and Plant Your Trees
Karena masa tugas suami yang bisa dibilang penuh dengan kejutan, saya mulai terbiasa untuk segera menikmati tempat tinggal baru secepat mungkin tanpa membiarkan fase kangen tempat tinggal yang lama dan culture shock dengan tempat baru berlanjut berlarut-larut. Istilahnya unpack your bags and explore the city with  your legs dan itu yang saya lakukan ketika pindah dari Port Vila ke Bangkok dua tahun yang lalu, jalan kaki kemana-mana :)

Rumah kami sewaktu tinggal di Port Vila mempunyai halaman yang sangat luas. Terinspirasi dari mertua yang bercocok tanam segala rupa di kebunnya, saya berniat untuk berkebun sesampainya disana dengan perjanjian suami yang menanam dan merawat dan saya tinggal memetik hasilnya karena saya tidak suka cacing, hehe.... Awalnya, suami menanam bibit terong, paprika, zukini, daun basil, dan daun mint. Tanaman zukini nyaris berbuah, namun karena ditinggal pergi ke Indonesia selama hampir sebulan, begitu kembali ke Port Vila, pohonnya sudah mati :(. Tanaman yang sukses hanya daun basil dan daun mint, sampai kami sering sekali buat saus pesto dan membuat pizza dengan daun basil, atau membuat campuran minuman bersoda dengan jeruk nipis dan daun mint. Tapi memang benar, kenangan tentang pohon yang kami tanam disana begitu melekat sampai-sampai ketika suami berkesempatan lagi tugas kesana, saya mengingatkannya untuk memberikan laporan pandangan mata tentang kabar tanaman basil dan mint yang kami tanam dulu.

Makna lain dari "plant your trees" ini adalah sebanyak mungkin mengunjungi tempat-tempat di sekitar daerah yang ditinggali atau tempat-tempat yang dilalui dalam perjalanan pulang kampung ke daerah asal. Bagi kami berdua, pulang ke kampung halaman adalah murni kunjungan keluarga dan tidak termasuk kategori liburan. Biasanya, kalau kami pulang ke kota kami masing-masing, sebagian besar waktu ya dihabiskan bersama keluarga dan kalau masih ada sisa waktu, baru dipakai untuk liburan berdua (sekarang bertiga) ke tempat lain.

Keep Relationships Solid
Menurut buku ini, 1) menciptakan tradisi keluarga, 2) membina hubungan baik dengan anggota keluarga besar dan teman di tempat baru serta 3) menjaga komunikasi dengan teman di tempat lama adalah kuncinya. Kiat ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami yang tidak akan pernah berakhir kalau ingin terus menjalin hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman. Contohnya, sebisa mungkin, pada saat acara keluarga besar di kedua belah pihak, seperti Hari Raya kami berusaha hadir, meskipun tidak selalu bisa, minimal setiap dua tahun sekali, kami mewajibkan diri untuk pulang pada saat Lebaran ataupun Natal. Kami berdua sudah merasakan manfaatnya menjaga hubungan baik dengan teman di tempat lama, yaitu kami sering mendapat tawaran mengunjungi teman-teman dekat yang sekaligus menawarkan tempat tinggal mereka untuk diinapi, seperti teman saya yang ini, dan sebaliknya kamipun membuka pintu rumah yang tidak begitu lebar untuk mereka jika berkesempatan berkunjung ke tempat dimana kami tinggal. Soal tradisi keluarga, nah ini yang masih harus dipikirkan, kira-kira tradisi keluarga seperti apa yang bisa kami terapkan? Sampai hari ini kami belum punya tradisi apapun dan belum ada ide juga sih.

Return to the Same "Home" during Each Leave
Idealnya,  keluarga yang sering berpindah-pindah mempunyai satu rumah yang dituju setiap kali pulang ke daerah asal. Masalahnya, kami juga belum punya rumah di kampung halaman masing-masing dan belum memutuskan untuk punya. Kadang-kadang suka terpikir soal keinginan punya rumah ini, tapi yah, saat sekarang, kami syukuri saja keadaan dimana kami tidak perlu memikirkan biaya sewa tempat tinggal dan segala printilannya. Mudah-mudahan suatu saat nanti, cita-cita untuk punya rumah sendiri bisa tercapai :).

Acquire "Sacred Objects"
Komitmen awal untuk hidup di negara "ketiga" sampai waktu tertentu membuat saya sempat berpikir ulang ketika akan memulai koleksi barang sebagai kenang-kenangan dari tempat kami tinggal dan tempat-tempat yang pernah kami kunjungi. Kriterianya, barang koleksi tidak terlalu berat dan tidak mudah hilang/terselip dalam setiap acara pindahan, seperti magnet kulkas atau gantungan kunci misalnya. Akhirnya, terpikirlah sebuah ide cemerlang *cemerlang menurut saya yang mengusulkan sih, hahaha...* untuk konsisten mengoleksi berbagai mata uang kertas dengan nominal terkecil. Koleksi kami lainnya adalah buku berisi cerita rakyat dari setiap negara yang kami tinggali/kunjungi. Bagi saya, cerita rakyat tidak kalah menariknya dengan dongeng-dongeng klasik pengantar tidur yang selama ini sering diceritakan. Hm, kira-kira ada lagikah koleksi lain yang memenuhi kriteria saya diatas?

Setelah menamatkan membacanya, saya jadi penasaran ingin mendengarkan cerita teman-teman yang masa kecilnya berpindah-pindah kota tempat tinggal mengikuti tugas orang tua, pasti seru deh! Ada yang mau berbagi?

Wednesday, 4 December 2013

Third-Culture Kids: Growing Up among Worlds

credit: www.lyonalacarte.com

Setelah pasrah dikomentari suami karena buku ini selalu saya bawa kemanapun kami pergi tapi belum selesai-selesai, sampai keriting sampulnya, akhirnya saya gunting pita juga :)

Ada banyak hal menarik yang dibahas dalam buku ini, diantaranya pengalaman orang-orang yang dibesarkan di luar budaya kedua orangtua. Definisi third culture kids (TCK) menurut penulis buku ini adalah seseorang yang menghabiskan sebagian dari masa kecil dan remajanya diluar lingkup budaya kedua orangtua. Definisi lain bisa dilihat disini. Agak sedikit berbeda dengan kasus yang banyak ditemui sekarang, karena pada jaman dulu, ketika orangtua harus pindah kota atau negara untuk alasan pekerjaan, anak, meskipun baru berusia 6-8 tahun, umumnya akan dikirim ke asrama atau dititipkan pada keluarga di daerah asal, sementara sekarang lazimnya, jika orangtua harus bertugas berpindah-pindah antar kota ataupun antar negara, maka anak-anak di bawah umur selalu dibawa serta.

Ternyata, dari pengakuan para narasumber yang dahulunya adalah TCK (Adult TCK atau ATCK), disamping segudang keuntungan menjadi TCK, ada banyak tantangan yang apabila tidak ditangani dengan baik, dapat menjadi bumerang bagi mereka saat dewasa kelak. Apa saja sih tantangannya?

1. Kesulitan untuk menentukan nilai-nilai dan norma dalam proses pembentukan jati diri karena seringkali ada nilai dan norma yang saling bertentangan dalam budaya asal dan budaya di tempat tinggal.

2. Kuatnya ikatan batin dengan tempat mereka dibesarkan membuat para ATCK dapat turut merasakan kesedihan dan kesusahan jika ada peristiwa buruk terjadi di tempat tersebut atau pada orang-orang yang tinggal dimana mereka dibesarkan. Konflik berpotensi muncul dalam diri ATCK ketika lingkungan sekitar tidak mempunyai sensitivitas atau kepedulian yang sama dengan mereka.

3. Terabaikannya budaya asal pada keluarga dengan TCK karena sekian lama dipengaruhi oleh budaya di tempat tinggal yang seringkali berujung pada kejadian memalukan akibat tidak pahamnya TCK dengan situasi dan norma yang berlaku ketika kembali atau sedang berkunjung di daerah asalnya.

4. Pada sebagian ATCK, dampak dari siklus kehilangan yang berulang dari masa kecil mereka (misalnya: pergi meninggalkan rumah pada pertama kalinya, meninggalkan teman-teman dan sekolah untuk pindah ke tempat baru, ditinggal orangtua bertugas, secara reguler harus selalu beradaptasi dengan lingkungan baru) berperan pada aksi/reaksi mereka yang datar dalam membina suatu hubungan kelak, baik itu pertemanan ataupun pernikahan. Sikap datar atau cuek itu sebenarnya merupakan bentuk perlindungan diri dari kekhawatiran jika suatu saat mereka harus pergi/berpisah lagi dari tempat/orang yang berarti untuk mereka.

Nah, lalu bagaimana menjawab tantangan itu? Diantara sekian banyak pesan dari buku ini, saya menangkap bahwa orangtua memegang peranan utama dalam menjaga hubungan anak dengan keluarga besar di daerah asal, membantu anak menjalani masa transisi dari tempat tinggal lama ke tempat tinggal yang baru dalam segala hal, memastikan anak paham dan tidak melupakan budaya asalnya, serta selalu melibatkan anak (terutama anak yang lebih besar) dalam setiap rencana kepindahan dari tempat asal sehingga anak tidak merasa keberadaannya diabaikan.

Parents raising global nomads, with the unique challenges, numerous transitions, and extraordinary opportunities presented by travel, must be mindful that their job carries an added layer of responsibility from day one.
As the Dalai Lama says in his famous guide for living, The Art of Happiness, "A tree with strong roots can withstand the most violent storm, but the tree can't grow roots just as the storm appears on the horizon." It's a wise lesson for expat parents to keep in mind throughout the process of raising their children abroad
. - Robin Pascoe, from Raising Global Nomads

bersambung...

Tuesday, 3 December 2013

Arisan

Berhubung tadi siang ada arisan, yang sempat jadi-batal-jadi karena situasi keamanan disini, saya jadi ingat komentar suami tentang niat saya ikut arisan pada awalnya. Waktu itu saya bilang daripada hilang tidak jelas, mending ditabung dalam bentuk arisan. Jawaban saya langsung dibantahnya. Menurut dia, arisan dalam budaya Indonesia lebih ke acara silaturahmi karena seringkali arisan diadakan sambil makan-makan di luar atau yang menang arisan otomatis menjadi tuan rumah untuk acara kumpul-kumpul arisan berikutnya. Jadi, kalau dihitung-hitung jumlah total uang yang kita dapat ketika menang arisan akan lebih kecil jumlahnya dibanding setoran sejumlah sama yang disimpan di bank atau di bawah kasur selama jangka waktu tertentu :p.

Pas pertama kali saya bergabung di salah satu kelompok arisan disini, ternyata tidak ada kebiasaan mewajibkan peserta yang menang untuk menjadi tuan rumah arisan berikutnya, seperti yang jamak dialami ibu saya ketika beliau menang arisan. Yang ada, kami kumpul di kafe, beli makanan dan minuman masing-masing, kocok arisan, serah terima uang, beres. Atau kalaupun ada yang menyediakan tempat, itu dilakukan secara sukarela bukan kewajiban.

Arisan kedua yang saya ikuti sedikit berbeda karena jumlah totalnya jauh lebih besar dan pesertanya lebih banyak, tempat yang dipilihpun seringkali tempat dengan harga menu relatif mahal. Walhasil, setiap hari arisan, setiap itu pula pengeluaran saya membengkak dibanding pengeluaran di hari lain.

Setelah mengalami sendiri, saya akhirnya menyerah pada argumen suami yang benar adanya, bahwa arisan di kalangan orang Indonesia lebih untuk ajang kumpul-kumpulnya dibandingkan menabungnya...seperti siang tadi.

Saya jadi penasaran apakah budaya arisan juga berlaku pada bangsa lain atau hanya di Indonesia saja? Ada yang tahu? 

Flashback


Her cheerful personality and the way she handled my son in the first few weeks of daycare made me think that this young lady has something special. I didn't know what it was until one day we happened to walk home together as she was going to babysit my neighbour's four-year old girl.

She had to work part time as a caretaker in her early twenties while pursuing study in the university because her parents could not financially support her. Her hard work was finally paid off since she graduated last year. This year marks her seventh year working at the daycare and it seems to me that she loves her job as much as the children love her. No parents will ever doubt her capability in looking after her own children in the future. However, she plans to change her current job sometime soon as she needs working experience related to her university major to which I absolutely agree. I asked her whether she also plans to get married soon to which she replied with smile "I have no boyfriend" and then continued "I used to be in a 10-year relationship but my ex dumped me because I am not beautiful. The men here are only into beautiful girls". Honestly, in my opinion, she is one of the prettiest real ladies in the country where natural beauty is a rare thing and aesthetical surgery are common practices. Behind her modest nature, she perfectly glows in her late twenties thanks to her loving character and intelligence. I assured her that she doesn't have to worry about it as I know someone who has similar story to hers, and that someone was me few years ago :).

I started to work part-time since I was nineteen in order to ease the burden of my mother. I also regularly helped her by doing groceries shopping to the traditional market in the morning and continued working in the kitchen before going for my morning class. I remembered it clearly when I had my backpack full of containers of food to be delivered to the customer prior to going to the university. As for my part-time job, I worked as a private teacher and later as a teacher in two private institutions in my hometown from which I paid my expenses and tuition fees. I had no boyfriends back then, not one, and thought that I would never have any. I have always had an inferiority complex about myself since the boys I was interested in never had the same feeling while those who liked me were not my type. Besides, I was not popular at all and had very little of self-confidence. While the girls my age were picked up by their boyfriends after the class or went out on Saturday night for a movie, I was all by myself most of the time if not with my girlfriends.

When I finished university, I worked in a project that only involved me and my supervisor while keeping my part time job at one institution. After a year, I was hesitant to continue as the job took me nowhere and both jobs offered no single chance for me to meet my future soulmate. I decided to take a challenge by moving to Jakarta, the city of hope. After a couple of years being in the capital, I still had no luck with boys whilst my university friends were getting married one by one. I was getting tired of having the so-called pressure in the form of questions "do you have a boyfriend?" followed by one another "why?" and "don't be a picky or you'll regret later". I kept asking myself what was wrong with me but I never found the answer..maybe it was just a matter of time. For few years, my situation remained the same until I arrived at the point where I was fed up with others' harsh comments and decided that I had to focus on other important things in life. I later learnt to live my life to the fullest until one day, in my late twenties, I was destined to meet my future soulmate, in a place, which my colleagues jokingly said, was cursed for single women. God works in mysterious way,  indeed.

We ended the conversation as soon as I reached my floor and she continued to her destination while waving at us, still with sincere smile on her pretty face.

To the caretaker of my son, by writing this, I just want to let you know that you are precious and you have everything you need to attract good men. It is just that you may have to work a little bit in finding the right person that you deserve at the right time. In the meantime, go find your dream job and explore the world as much as you can! When that time comes for you to chase another dream, I know that not only my son and other children will miss you, but also your colleagues and we, the parents, will miss you more.

Monday, 2 December 2013

5 cm dan Saya


Photo credit: www.5cm-legacy.com
Duh, telat banget ya baru baca sekarang, padahal sahabat baik saya sudah menghadiahkannya sejak awal tahun. Buku ini bercerita tentang lima orang sahabat yaitu Arial, Riani, Genta, Ian, dan Zafran yang selalu bersama-sama, sampai pada satu saat mereka memutuskan untuk vakum bertemu selama beberapa waktu. Ada banyak perubahan terjadi, dan ketika tiba saatnya mereka bertemu kembali, reuni mereka dilakukan dengan cara unik, yaitu mendaki Mahameru. Cerita tentang persahabatan, perasaan cinta, semangat, kesedihan semuanya terangkum manis bersatu dengan petikan lirik lagu-lagu indah dan humor-humor segar. Meskipun berbeda dengan lokasi utama di buku ini, jalan ceritanya serasa membangkitkan kenangan manis pada perjalanan saya dan sahabat-sahabat saya ke Bromo enam tahun yang lalu. 

Dimulai dari perjalanan seru dari Jakarta, Malang, Tumpang, sampai akhirnya kami tiba di Bromo. Mungkin kapan-kapan saya mau menuliskan kisah perjalanan kami disini. Yang pasti, ketika halaman demi halaman buku 5 cm saya baca, saya serasa bernostalgia. Jadi, selain liburan super seru dengan para sahabat, gunung Bromo juga adalah salah satu tempat bersejarah dalam kisah hidup kami. Ditambah lagi, beberapa bulan sebelumnya, suami pernah mengikuti pendakian sampai Cemoro Tunggal yang merupakan batas terakhir vegetasi, sehingga sejak awal dia sangat antusias dengan rencana liburan kami ke Bromo.


Our forever besties
Siapa sangka perjalanan mendaki gunung Pananjakan pada jam satu dini hari dengan peserta hanya kami berdua ditemani pemandu lokal, pak Mul namanya, menjadi titik penting dalam kehidupan kami berdua, terutama nasihat sederhana dari beliau. Saya ingat sekali, ketika belum terlalu jauh berjalan, pak Mul menunjukkan puncak gunung Pananjakan yang ditandai dengan kerlip lampu pos pengawas. Otomatis saya bilang "aduh, jauh sekali, pak" dan sempat terlontar niat untuk kembali lagi ke penginapan, namun suami (waktu itu masih teman) dan pak Mul menyemangati saya dan pak Mul dengan tenang menjawab "jarak sebenarnya dari sini hanya 800 meter mbak, tapi karena vertikal jadi terlihat tinggi sekali. Kita jalani saja dulu dengan segenap usaha, jangan melihat terlalu jauh".

Akhirnya, kami berhasil mencapai puncak Pananjakan beberapa saat sebelum matahari terbit dan menikmati lukisan pagi yang begitu indah bersama dengan sahabat-sahabat kami yang datang kemudian dengan menumpang jip. Sama seperti yang dikisahkan dalam buku 5 cm, perjalanan ke Mahameru adalah perjalanan batin. Kami belum sampai Semeru sih, tapi saya sangat setuju kalau perjalanan kami ke salah satu surga di bumi ini lebih dari sekedar perjalanan fisik, ia adalah titik awal perjalanan yang membawa hati dan pikiran kami berjalan bersama untuk terus bermimpi, meyakini kekuatan mimpi itu, dan kemudian berusaha mewujudkannya.

Di lautan pasir
Kami enam tahun yang lalu :)

Tidak hanya tentang cinta, buku ini juga memberikan pesan positif supaya jangan pernah takut untuk bermimpi dan berusahalah sekerasnya untuk menggapai mimpi itu. Saya suka dengan ide 5cm yang sangat inspiratif!

"Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain" - 5cm.