Monday, 4 December 2006

Berakhir Pekan di Ujung Genteng



Berawal dari rencana berlibur ke sebuah pulau kecil di ujung selatan pulau Sumatra yang dibatalkan pada saat-saat terakhir, ide untuk berwisata ke Ujung Genteng tiba-tiba terlintas sebagai gantinya. Berkat bantuan teman-teman saya yang bersusah payah mengatur rencana dan mengumpulkan informasi tentang perjalanan ke sana, pengalaman mengesankan tentang Ujung Genteng ini dapat saya tulis J.

Mengapa Ujung Genteng?
Beberapa minggu sebelumnya saya mendapat email dari seorang teman tentang acara wisata yang diadakan oleh kelompok wisatawan “backpacker” ke suatu daerah bernama Ujung Genteng. Walaupun namanya masih asing di telinga, namun agenda perjalanannya sangat menarik, diantaranya berjalan-jalan ke pantai, mengunjungi air terjun, dan melihat penyu bertelur!!!! Sayangnya, begitu saya menghubungi penyelenggara kegiatan, pendaftaran peserta sudah ditutup L, padahal saya sudah terlanjur mengajak teman-teman kantor untuk ikut serta. Wisata ke Ujung Genteng mungkin akan diadakan sekitar 2 bulan lagi, itu yang dikatakan oleh penyelenggara acara. Walaupun sedikit kecewa, namun sempat terlintas ide untuk mengatur sendiri perjalanan ke Ujung Genteng dalam waktu dekat bersama teman-teman kantor, meskipun sejujurnya, tidak ada bayangan sedikitpun tentang tempat yang akan dituju.  Singkat cerita, Ujung Genteng sudah terdaftar dalam benak saya sebagai tujuan liburan suatu hari nanti, entah kapan.


 Dua hari sebelum rencana keberangkatan, sahabat saya yang mengatur rencana perjalanan bersama seorang teman menjadwalkan keberangkatan dari Jakarta pada hari Jum’at pagi. Kami berempat berangkat dari Jakarta menuju Ujung Genteng, yang terletak di sebelah selatan kota Sukabumi, tepat di ujung, sekitar 500 km dari Jakarta. dengan menggunakan kendaraan Toyota Avanza pada pukul 10.30 pagi. Perjalanan Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cibadak – Jampang Kulon – Pelabuhan  Ratu - Surade – Ujung Genteng kami tempuh dalam waktu 9,5 jam. Normalnya perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu 6 jam, namun kami seringkali berhenti di beberapa tempat untuk melihat pemandangan alam yang fantastis, diantaranya adalah semburat pelangi yang besar dan sangat indah di sepanjang perjalanan antara Jampang Kulon dan Surade serta pemandangan sawah hijau dengan latar belakang laut selatan Pelabuhan Ratu yang berkilau tertimpa cahaya matahari sore.

Perjalanan kali ini cukup nekat karena kami hanya mengandalkan selembar peta dan informasi tentang penginapan yang ada di sekitar daerah tersebut.  Pada pukul 19.30, akhirnya kami tiba di Ujung Genteng. Setelah bertanya pada penduduk sekitar mengenai lokasi penginapan terdekat, kami melanjutkan perjalanan. Di luar dugaan, kondisi jalan menuju penginapan berbatu-batu, sempit dan gelap dengan sisi kiri kanan jalan dipenuhi ilalang dan tumbuhan liar. Perjalanan mencari penginapan ini serasa tak berakhir karena kami tak kunjung menemukan ujung jalan yang sepi dan gelap ini. Sayup-sayup terdengar suara ombak dan ternyata di sebelah kanan jalan yang kami lalui adalah pantai Ujung Genteng. Sampai akhirnya, dari kejauhan terdengar suara ramai orang-orang dan cahaya lampu yang berasal dari kendaraan – kendaraan yang lalu lalang di sekitar penginapan “Pondok Hexa”.

Tak disangka, pada saat yang sama, rombongan Bupati Sukabumi sedang berkunjung ke Ujung Genteng. Tidak heran, kami kesulitan mencari penginapan karena hampir semua penginapan yang ada dalam daftar kami sudah penuh disewa oleh rombongan bapak Bupati. Setelah berputar-putar melihat penginapan lainnya,  kami memutuskan untuk menyewa losmen kecil yang letaknya tak jauh dari Pondok Hexa.  Dengan harga dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk dua malam, kondisi losmen “Deddy” yang berdinding bilik dengan dua kamar dan satu kamar mandi itu tidak begitu buruk. Setelah menemukan penginapan, tujuan selanjutnya adalah mencari tempat makan. Mobil bergerak meninggalkan penginapan, menyusuri kembali jalan sempit yang gelap. Jalan yang kami lalui mengingatkan saya pada medan balap motor trail karena kondisinya yang sempit, bergelombang dan diapit oleh tanaman liar di sisi kiri dan kanan. Setelah beberapa saat kami menjadi pengguna tunggal jalan tersebut, mulai tampak beberapa buah motor dan mobil melintas, dan penduduk sekitar yang berjalan kaki beramai-ramai. Salah seorang teman kami menyebut mereka dengan istilah “pemuda-pemudi lokal”. Semakin dekat dengan tempat tujuan, suara ramai semakin jelas terdengar. Apa yang selanjutnya ada di depan mata saya sungguh mengejutkan, sebuah pasar malam di suatu tempat di ujung selatan pulau Jawa! Suasana malam itu cukup ramai, aneka barang dagangan digelar, ditambah lagi dengan adanya arena permainan komedi putar. Warung remang-remang dan warung biliar tampak di beberapa sudut, bersebelahan dengan warung nasi dan kedai mie instan. Kami memutuskan untuk makan malam di sebuah warung makan yang menjual ikan bakar. Menu kami malam itu terdiri dari sepiring nasi dengan ikan kerapu bakar, sambal kecap, dan segelas es kelapa. Setelah kenyang, kami berjalan-jalan sebentar melihat keramaian pasar malam, dan kemudian beranjak pulang, karena keesokan harinya kami harus pergi pagi-pagi untuk menyaksikan matahari terbit. Dalam perjalanan pulang, orang – orang semakin banyak berdatangan ke arena pasar malam, dengan tujuannya masing-masing. Setibanya di losmen, hal pertama yang dilakukan adalah mandi dan kemudian tidur!

Keesokan harinya, saya terbangun pukul lima pagi dan segera mandi. Air yang dingin dan segar mengingatkan saya akan suasana pagi di kota Bandung tercinta. Setelah kami berempat siap, pukul 5.30 pagi kami meninggalkan losmen ditemani seorang pemuda setempat yang direkrut sebagai “guide” dadakan selama kami tinggal di sini.  Tujuan pertama adalah pantai Sunrise, yang terletak di sebelah timur Ujung Genteng, dimana pemandangan indahnya dapat dinikmati pada saat matahari terbit. Saya sempat terkagum-kagum menyaksikan burung elang terbang dengan gagah melintasi langit pagi itu. Tempat selanjutnya adalah pantai Ujung Genteng, yang semalam sempat kami lalui dalam perjalanan mencari makan malam. Pada pagi hari, pemandangan di pantai ini indah sekali, teduh, dengan awan putih berarak membentuk garis abstrak yang sempurna di langit pagi yang bersih. Di sebelah kiri pantai terdapat sebuah dermaga tua dan cagar alam Ujung Genteng tampak dari kejauhan. Saya bermain-main di air dan berjalan menuju padang lamun yang terhampar di bawah air, sementara tiga orang teman lainnya asyik dengan kegiatannya masing-masing. Pada saat saya berada di tengah padang lamun, tiba-tiba mata saya menangkap ada seekor ular (setidaknya itu yang ada dalam pikiran saya ketika melihat binatang air tersebut) di tengah-tengah lamun. Saya mulai panik dan memanggil teman saya yang berdiri di bibir pantai. Ia bergegas menyuruh saya untuk bergerak perlahan meninggalkan padang lamun tersebut dengan langkah hati-hati agar tidak mengusik ketenangan binatang yang diduga adalah ular laut. Saat itu juga kami memutuskan untuk naik dan memilih untuk berjalan-jalan di sepanjang garis pantai saja. Di sepanjang pantai, kami menemukan beberapa kulit kerang dan cangkang binatang laut lainnya. Sejak perjalanan saya ke suatu pulau indah di ujung barat pulau Sumatra beberapa waktu lalu, saya menjadi tertarik untuk mengumpulkan aneka cangkang binatang laut. Terlebih lagi karena saya bersahabat dengan orang mempunyai pengetahuan sangat baik tentang laut dan isinya, saya semakin tertarik dengan ekosistem laut dan biotanya.

Kurang lebih pukul sembilan pagi, setelah puas bermain di pantai Ujung Genteng, kami kembali ke losmen untuk mandi dan makan pagi. Setelah menyantap mie instan dan teh manis hangat, kami berangkat menuju Curug Cikaso. Perjalanan ke Curug Cikaso ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam lima belas menit, mengambil rute yang sama pada waktu kami menuju Ujung Genteng, hanya saja saat ini kami berada pada arah sebaliknya. Jalan menuju Curug Cikaso ini relatif berliku namun kondisi jalan terbilang baik sehingga tidak begitu menyulitkan, kecuali pada bagian akhir perjalanan, dimana jalannya mulai berbatu-batu. Di sepanjang jalan menuju Curug Cikaso, mata kami puas memandang hamparan sawah yang hijau dan berundak lengkap dengan pohon kelapa, orang-orangan sawah, saung petani, petani dan kerbau yang sedang membajak sawah. Pemandangan serupa juga kami temukan di sepanjang jalan menuju Ujung Genteng, dimulai dari daerah Jampang Kulon.  Saya teringat pelajaran yang diberikan pada saat duduk di bangku sekolah dasar, bahwa Indonesia ini negeri yang indah permai loh jinawi, dan hal itu memang benar adanya. Tidak heran kalau kami berempat tak henti-hentinya berdecak kagum setiap kali melihat pemandangan yang kami temukan selama perjalanan. Perjalanan ke Curug Cikaso ini dilanjutkan dengan menyewa perahu yang membawa kami menyeberangi sungai Cikaso yang lebar. Pemandangan sepanjang sungai inipun tidak kalah menarik, benar-benar indah! Begitu perahu merapat, terdengar suara gemuruh air terjun, kamipun sampai di Curug Cikaso. Curug ini, yang dalam bahasa Sunda berarti air terjun, mempunyai tiga buah air terjun yang sangat indah. Deretan air terjun ini mengalir membentuk kolam bening berwarna hijau muda dan selanjutnya mengalir melewati bebatuan menuju ke sungai Cikaso. Puas berfoto –foto dan bermain di bawah air terjun, kami mengakhiri kunjungan dan melanjutkan perjalanan ke Tanah Lot Amanda Ratu pada pukul 11.00. Amanda Ratu adalah penginapan yang paling mewah di kawasan Ujung Genteng. Di sepanjang jalan masuk menuju Amanda Ratu, tampak barisan pohon kelapa dan sekelompok sapi yang sedang merumput. Hari itu, ada acara yang juga dihadiri oleh bapak Bupati di hotel Amanda Ratu. Menurut informasi dari pemandu kami, ternyata hari ini bertepatan dengan perayaan hari nelayan yang berlangsung satu tahun sekali. Tidak heran, Ujung Genteng tampak lebih meriah dari yang kami bayangkan sebelumnya. Menurut penduduk sekitar, pada hari-hari biasa, bahkan malam minggu sekalipun, kawasan Ujung Genteng ini terbilang sepi, namun apa yang kami lihat selama kami berada disana sangat jauh berbeda. Perjalanan kami kali ini memang sangat menyenangkan dan kami merasa beruntung telah datang di saat yang tepat. Di tengah-tengah barisan pohon kelapa tersebut, terdapat rumah-rumah dan beberapa peralatan sederhana. Dari penjelasan sang pemandu, ternyata rumah itu ditempati oleh petani gula kelapa. Sayang sekali, kami tidak sempat mampir sebentar untuk menikmati gula kelapa langsung dari pohonnya L. Apabila lain waktu saya berkesempatan untuk berkunjung kesini lagi, saya tidak akan melewatkan kesempatan mencicipi kelapa muda dan gula kelapanya. Kawasan hotel Amanda Ratu terletak di pertemuan muara sungai dengan Laut Selatan, yang mempunyai ciri khas ombaknya yang ganas dan tidak mempunyai pantai karena langsung berhadapan dengan laut dalam. Di tengah-tengah pertemuan muara sungai dan laut tersebut terdapat karang yang menyerupai Tanah Lot di Bali. Kami tak henti-hentinya mengagumi ombak yang menghempas karang dengan keras. Laut Selatan memang terkenal dengan ombaknya yang indah namun ganas.

Menjelang pukul satu siang, kami pulang untuk makan siang dan bersiap-siap dengan agenda berikutnya, Batu Besar, Pantai Cipanarikan, dan Pantai Pangumbahan. Makan siang kami kali ini terdiri dari ikan bawal dan cumi bakar plus sambal kecap dan segelas es kelapa…hmmm…lezzaatt J. Kami makan siang sambil mengamati keramaian yang sekarang semakin riuh karena adanya kereta keliling yang melintas di jalanan sepanjang area pasar malam. Kurang lebih pukul 14.30, dengan menggunakan empat buah ojek, kami memulai perjalanan ke pantai Batu Besar, yang terkenal di kalangan peselancar karena ombaknya yang indah. Di kawasan Ujung Genteng ini banyak terdapat pantai yang digemari peselancar karena keindahan ombaknya, diantaranya pantai Ombak Tujuh dan pantai Batu Besar. Pada kunjungan kali ini, kami tidak sempat mengunjungi Ombak Tujuh karena keterbatasan waktu, namun kami berkesempatan menikmati Batu Besar yang juga tidak kalah menarik. Perjalanan menuju ke Batu Besar ditempuh melalui jalan setapak yang kecil selama kurang lebih 10 menit. Pada saat kami tiba di pantai, ada beberapa peselancar, dua orang diantaranya berkebangsaan Jepang yang sedang mengamati ombak dan bersiap-siap untuk memamerkan keahliannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh pemandu kami, ombak di Batu Besar ini indah, bergulung tinggi dan berwarna hijau terang, selain itu pantainya juga bersih dan alami. Tak lama kemudian, kami segera bergegas menuju pantai Cipanarikan karena tak ingin melewatkan pemandangan saat matahari terbenam. Perjalanan menuju Muara Cipanarikan ini relatif lebih sulit dan lama dibandingkan dengan perjalanan ke Batu Besar. Ojek-ojek kami melaju menembus jalan-jalan setapak yang kecil, melewati sekumpulan sapi-sapi besar dan kecil yang sedang digembalakan oleh petani, meniti jembatan kayu yang sempit, tanah becek, dan padang ilalang. Akhirnya, kamipun tiba di suatu pelataran bangunan kosong. Rupanya perjalanan ke Muara Cipanarikan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kami berjalan melewati kebun bakau dan melihat banyak lubang-lubang besar di tanah. Tadinya saya kira itu adalah lubang semut, tapi ternyata dugaan saya salah. Lubang itu adalah lubang kepiting besar, yang sempat saya lihat sedang bersembunyi di salah satu lubang. Setelah melewati kebun, kami masuk ke area yang berbukit, sampai akhirnya pantai Cipanarikan yang indah tampak di hadapan mata kami.  Pemandu kami menjanjikan akan menjemput kami pada pukul setengah enam sore, setelah matahari berangsur-angsur terbenam. Selama 1,5 jam, kami bermain di pantai Cipanarikan. Pada saat itu, tidak ada siapapun kecuali kami berempat yang ada di pantai tersebut.  Setelah puas berkejar-kejaran dengan ombak, berlari-lari, saya duduk di tepi pantai mengamati laut luas dan ombak yang bergulung-gulung. Alangkah luas dan indahnya dunia ini, dan betapa kecilnya kita, manusia, dibandingkan dengan alam semesta ciptaan-Nya, subhanallah…

Berada di Pantai Cipanarikan ini serasa berada di suatu tempat yang maha luas, sunyi, indah, namun juga sedikit menakutkan bagi saya, karena jauh dari permukiman penduduk. Walaupun begitu, saya tetap dapat menikmati keindahan di tempat ini. Tak terasa, matahari mulai terbenam, namun bias cahayanya sedikit tertutup oleh awan. Kami memutuskan untuk segera pergi dari pantai Cipanarikan sebelum hari gelap. Tepat pukul 18 :00, kami tiba di tempat penangkaran penyu di Pantai Pangumbahan untuk melihat penyu bertelur. Kami berempat memutuskan untuk menunggu di pantai karena menurut petugas di sana, jika beruntung, penyu baru akan naik ke pantai sekitar pukul 8 malam, seperti malam-malam sebelumnya. Sambil menunggu, kami berbaring di pasir sambil menatap langit dan bulan separuh. Bintang-bintang perlahan mulai menampakkan kerlipnya di langit malam. Saya suka sekali mengamati bintang di langit, namun ini kali pertama saya memandang bintang seraya tidur berbaring di atas pasir di pantai. Benar-benar hal yang menakjubkan J. Selama 3,5 jam kami menunggu sampai akhirnya petugas penangkaran memanggil kami ke tempat penyu bertelur. Rupanya satu ekor penyu telah menemukan tempat untuk bertelur. Perlu diketahui bahwa penyu-penyu ini tidak jadi bertelur dan bahkan kembali lagi ke laut apabila melihat cahaya, mendengar suara gaduh yang menimbulkan rasa tidak aman baginya. Oleh karena itu, penggunaan lampu blitz, senter dan cahaya yang berlebihan dilarang.

Ketika kami tiba di tempat penyu tersebut bertelur, saya melihat ia mengeluarkan telurnya yang terakhir, kemudian induk penyu menutupi telur-telurnya dengan tanah secara perlahan. Jumlah telurnya kurang lebih mencapai 80 – 100 buah, dan induk penyu yang bertelur itu berukuran cukup besar, dengan panjang kurang lebih 1 meter (menurut petugas, masih ada penyu yang berukuran lebih besar daripada penyu yang baru saja kami lihat !!). Setelah puas mengamati sang induk, saya melemparkan pandangan ke sekeliling. Dari arah laut, tampak seekor penyu berjalan perlahan kearah pantai untuk mencari tampat bertelur. Namun karena pada saat itu cukup banyak orang dan menimbulkan suara gaduh, penyu tersebut berbalik arah kembali ke laut L

Kami beranjak pulang dari pantai Pangumbahan dengan perasaan senang karena berhasil melihat penyu bertelur, suatu kesempatan yang langka dan menarik. Menjelang pukul 23:00, kami tiba di kawasan pasar malam. Sedianya kami ingin mencari makan malam di tempat yang sama, yaitu warung ikan bakar pak Gundul, namun arus lalu lintas menuju tempat makan tersebut bukan main padatnya, puluhan bahkan ratusan motor bercampur dengan orang –orang yang lalu lalang membuat ojek kami sama sekali tidak dapat bergerak. Kami terjebak di tengah – tengah keramaian. Akhirnya, kami memutuskan untuk berbalik arah dan mencari rumah makan yang tidak begitu padat.  Selesai makan malam, kami segera kembali ke losmen, mandi, dan langsung tidur pulas karena kelelahan.

Kami berencana untuk kembali ke Jakarta pada hari minggu pagi sehingga masih punya waktu beristirahat setibanya di Jakarta. Setelah bersiap-siap dan pamit pada pengurus losmen, kami bertolak pada pukul 6.45. Rute yang kami tempuh dalam perjalanan kembali ke Jakarta kali ini adalah melalui Pelabuhan Ratu, karena kami berencana untuk makan pagi di Pelabuhan Ratu apabila waktu memungkinkan. Perjalanan pulang melalui Pelabuhan Ratu ini melewati perkebunan teh, perumahan penduduk, dengan kondisi jalan yang relatif lebih baik dibandingkan kondisi jalan pada saat kami berangkat.  Dalam waktu kurang lebih 2,5 jam kami tiba di Pelabuhan Ratu. Kami melintasi tempat pelelangan ikan, dan pelabuhan kapal-kapal nelayan, sampai saya melihat papan penunjuk jalan yang menyebutkan nama daerah Cisolok, sekitar 16 km dari Pelabuhan Ratu. Saya langsung teringat percakapan dengan atasan saya di kantor yang mengatakan bahwa pemandangan sepanjang Cisolok sangatlah indah. Saya mencoba mengusulkan untuk menyusuri Cisolok yang disambut baik oleh teman –teman dengan pertimbangan bahwa jarak 16 km tidak akan menjadi masalah apabila kondisi jalannya bagus. Alhasil, kami menyusuri jalan raya Cisolok dan memang benar, pemandangan sepanjang jalan yang kami lalui sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Pemandangan sawah yang hijau, permukiman penduduk dengan latar belakang garis pantai yang meliuk-liuk dan air laut yang berwarna hijau kebiruan ditingkahi ombak yang bergulung-gulung benar-benar mengesankan. Perjalanan dilanjutkan ke pantai wisata Cibangban yang juga indah, walaupun pasirnya berwarna hitam. Penduduk di sekitar pantai Cibangban suka melakukan penambangan emas secara tradisional apabila hasil panen mereka tidak memuaskan.

Perjalanan ke pantai Cibangban mengakhiri acara wisata kami kali ini. Kami langsung pulang menuju Jakarta dengan membawa pengalaman wisata yang sangat berkesan bagi saya, khususnya. Selama perjalanan ini, begitu banyak hal indah yang kami nikmati dan tidak dapat lagi kami peroleh di kota besar. Sungguh suatu pengalaman yang sangat menarik dan mengesankan.  

Informasi penting:
Alternatif penginapan selama di Ujung Genteng
-          Pondok Hexa, dengan harga berkisar 350.000/malam untuk menyewa rumah dengan 2 kamar
-          Losmen Deddy, dengan harga 125.000/malam untuk rumah dengan 2 kamar
-          Mamas Losmen, 250.000/malam untuk menyewa rumah dengan 2 kamar.

Alternatif rumah makan di Ujung Genteng
-          warung nasi “Mandiri”
-          warung ikan bakar “Pak Gundul” (es kelapa mudanya enak)

No comments:

Post a Comment