Perilaku Masyarakat dalam Mengantre
Semua tempat hiburan anak di Kota Bandung saat musim liburan sekolah dapat dipastikan berkali-kali lebih padat dari biasanya, tidak terkecuali Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution, atau lebih dikenal dengan Taman Lalu Lintas. Sepenggal cerita di atas adalah kisah nyata yang dialami kedua anak saya saat berkunjung ke sana dan kerap kami jadikan contoh agar anak-anak belajar menghargai pentingnya mengantre.
Urusan tertib antre ini masih menjadi pekerjaan rumah besar untuk kita, orangtua di Indonesia. Bagaimana tidak? Di banyak tempat umum, masyarakat kita masih gagap jika menghadapi antrean. Saat menggunakan toilet umum, di bandar udara, di stasiun, di kasir toko serba ada, peristiwa menyela antrean kerap terlihat, namun sayangnya sebagian orang memilih diam meskipun dongkol dan malah memberikan tempat kepada si penyela yang jelas-jelas melanggar etika mengantre.
Beberapa hari sebelumnya, setibanya di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta yang cukup ramai, kami sedang mengantre giliran memasukkan bagasi ke dalam mesin pemindai. Tiba-tiba bak siluman, muncul dua orang wanita yang dengan santainya memotong antrean seorang bapak di depan kami. Si bapak dengan halus mencoba mengingatkan “Bu, antre dong, kasihan sama yang sudah antre” dibalas dengan cengiran tanpa dosa si ibu yang bergeming di tempatnya, sigap memotong antrean.
Ternyata tidak hanya di negeri sendiri, di negeri orangpun kebiasaan buruk ini kerap terbawa. Rasa malu dan kesal bukan kepalang membebani saya saat menyaksikan langsung serombongan keluarga yang bersikap seolah-olah nyaris tertinggal pesawat demi bisa mendapatkan prioritas antrean di bandara Don Mueang, Bangkok. Belakangan ketahuan bahwa pesawat mereka adalah pesawat yang sama dengan hampir sebagian besar pengantre yang sudah mengular. Petugas keamanan otomatis turun tangan dan meminta rombongan bapak tersebut mematuhi antrean, yang dituruti dengan terpaksa. Namun begitu petugas berlalu, dengan seenaknya si bapak membuka tali pembatas dan menyuruh rombongannya mengikuti, sungguh cara yang sangat tidak terpuji dan yang lebih mencengangkan, tidak nampak rasa canggung sedikitpun saat rombongan keluarga ini memotong antrean di depan ratusan pasang mata.
Nah, relakah kita jika buah hati kesayangan kelak tumbuh menjadi seorang dewasa yang tidak menghormati hak orang lain dan menganggap perbuatan curang adalah hal biasa? Tentunya tidak. Negara besar ini perlu warga negara yang jujur, disiplin, mampu menghormati sesamanya, dan semua karakter tersebut dapat ditumbuhkan melalui kebiasaan mengantre.
Dalam hal tertib mengantre, ada baiknya juga kita berkaca dari kebiasaan di negeri tetangga, Filipina. Dari artikel berjudul “Pelajaran Etiket dari Filipina” yang ditulis seorang aktivis pendidikan di laman https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=3536, kita tahu bahwa penduduk di sana terbiasa tertib mengantre saat menunggu menaiki kendaraan umum khas Filipina, yaitu jeepney. Penumpang bergiliran naik jeepney sesuai antrean kedatangan tanpa berkerumun ataupun berebut naik.
Kenapa sih Harus Antre?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antre berarti berdiri berderet-deret memanjang menunggu untuk mendapat giliran (membeli karcis, mengambil ransum, membeli bensin, dan sebagainya). Mengantre berarti berdiri dalam deretan memanjang sambil menunggu giliran untuk dilayani mengambil (membeli dan sebagainya) sesuatu.
Belajar mengantre bagi anak-anak sama penting atau bahkan jauh lebih penting daripada belajar mata pelajaran wajib di sekolah. Karena apa? Proses pembelajaran yang diperoleh ketika anak mengantre berkontribusi besar pada berkembangnya kecerdasan emosional anak yang sangat dibutuhkan di masa sekarang, melebihi kecerdasan intelektual semata. Kecerdasan emosional sangat penting dalam pembentukan karakter anak hingga ia menjadi dewasa, dan sudah pasti rumah adalah tempat pertama anak membentuk karakter baiknya tersebut.
Banyaknya manfaat di balik kebiasaan tertib mengantre sudah sepantasnya menjadi alasan utama pentingnya orangtua menanamkan budaya antre pada anak dengan menjadi suri teladan di rumah maupun di luar rumah. Anak yang dibiasakan tertib mengantre setidaknya dapat mengembangkan sepuluh karakter baik berikut yang kelak menjadi bekal berharga dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang dewasa yang bertanggung jawab.
- Belajar menghormati orang lain
- Belajar menghormati orang lain
Saat mengantre, orang yang berada di depan kita berhak dilayani terlebih dahulu. Dengan tertib mengantre, anak belajar menghormati hak orang lain. Mengajari anak mengantre bisa dilakukan dimanapun, misalnya saat akan naik kendaraan umum, saat membayar di kasir, atau saat berada di arena taman bermain. Di rumah, kebiasaan mengantre ini bisa dipraktikkan, misalnya saat anak harus mencuci tangan sebelum makan, mandi, menunggu giliran untuk disediakan makan (di rumah kami, biasanya si bungsu yang selalu didahulukan), menggunakan mainan, hingga menunggu giliran untuk dibacakan buku cerita sebelum tidur.
- Disiplin dan patuh pada peraturan
- Disiplin dan patuh pada peraturan
Dalam sebuah antrean, biasanya selalu ada aturan (tertulis maupun tidak) tentang bagaimana cara mengantre yang benar. Cara paling mudah untuk mengetahuinya adalah dengan bertanya. Jangan sampai karena ketidaktahuan kita, tanpa sadar kita sudah membuat kacau antrean. Misalnya: antrean di toilet umum yang seringkali dilibas orang dengan cara berdiri di depan pintu toiletnya, padahal antrean di tempat seperti ini biasanya dimulai di area tempat membasuh tangan, bukan di depan pintu masing-masing toilet.
- Sabar
- Sabar
Sudah menjadi rahasia umum kalau modal utama saat mengantre adalah sabar. Sifat sabar sangat diperlukan kelak saat anak bekerja keras untuk mencapai tujuannya, juga saat menanti hasil dari usahanya.
- Jujur
- Jujur
Tertib mengikuti antrean berarti anak belajar jujur pada diri sendiri, bahwa posisi antrean yang ditempati sesuai dengan urutan kedatangan. Menjadi jujur terdengar mudah namun pada kenyataannya masih sulit dilakukan.
- Memiliki rasa malu
- Memiliki rasa malu
Masih berkaitan dengan sikap jujur, anak yang diajari tata tertib mengantre memiliki akal untuk tidak mempermalukan diri sendiri dengan memotong antrean.
- Belajar tentang konsekuensi
- Belajar tentang konsekuensi
Proses mengantre mengajarkan anak tentang konsep konsekuensi atau hubungan sebab akibat. Misalnya: jika anak datang terlambat untuk mendapatkan suatu layanan, akibatnya antrean yang harus ia hadapi menjadi lebih panjang.
- Peka dan tenggang rasa
- Peka dan tenggang rasa
Seiring dengan kemampuan menghormati hak orang lain dalam mengantre, anak juga dilatih untuk peka dan bertenggang rasa pada orang yang lebih membutuhkan, misalnya mendahulukan pengantre yang lanjut usia, ibu hamil, penyandang difabel, ataupun pengantre keluarga yang membawa bayi dan anak-anak.
- Besar hati
- Besar hati
Proses mengantre juga mengajarkan anak untuk berbesar hati, terutama saat ada orang memberitahu cara mengantre yang benar. Alih-alih marah-marah tak keruan, anak justru belajar menerima koreksi dari orang lain atas sikapnya yang salah dengan kebesaran hati.
Orangtua manapun pastinya ingin anak-anak mereka kelak bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya serta tidak merugikan. Ya, tidak merugikan. Jika anak tidak diajarkan bagaimana seharusnya mengantre, jangan heran kalau di saat dewasa, ketidakpeduliannya untuk menghormati antrean bisa merugikan orang lain. Kelak, Indonesia akan diwarisi oleh generasi masa depan, yaitu anak-anak kita. Selayaknya negara besar yang kaya, penduduknya diharapkan mampu mengelola sumber daya yang tidak ternilai dan memiliki karakter disiplin, saling menghormati, dan jujur, untuk Indonesia di masa depan yang lebih baik.
#sahabatkeluarga
#sahabatkeluarga