Setelah sekian lama absen, tulisan perjalanan saya kali ini muncul lagi. Alhamdulillah, redaksi majalah UMMI berkenan menerima tulisan saya tentang kota Strasbourg di Perancis dan memuatnya di edisi September 2017.
Wednesday, 4 October 2017
Saturday, 1 July 2017
Sekilas Metz: Kota di Perbatasan Tiga Negara
Kota Metz (dibaca: mɛs) kami sambangi tanpa rencana. Berhubung cuaca di Luxembourg tidak mendukung, kami memutuskan untuk kembali ke teritori Perancis lebih cepat. Metz menjadi pilihan. Kesan grandiose langsung terasa begitu memasuki kota, meski di mata saya kota ini terkesan "kosong" dan "sepi", apalagi di hari Sabtu pagi. Banyak bangunan kosong dengan papan penanda "dijual" atau "disewakan" dan taman tidak terawat di Place de la Republique yang sempat kami lewati menambah kesan "kosong" tersebut. Dari hotel di dekat Place R. Mondon, tidak jauh dari stasiun kereta api Metz, kami berjalan kaki menuju Cathedrale dan Place d'Armes, yang merupakan pusat kota Metz. Berada di perbatasan antara Jerman, Luxembourg, dan Perancis, sejarah kota Metz dimulai sejak 3,000 tahun lalu.
Mayoritas bangunan di kota ini mencuri perhatian pada kunjungan pertama. Arsitektur bergaya Renaissance sangat mendominasi, dikombinasi dengan arsitektur bangunan perpaduan Jerman-Perancis seperti di wilayah Alsace dan arsitektur bergaya Gotik. Sebagian besar bangunannya dibangun dengan batuan kapur berwarna kekuningan yang dikenal sebagai "pierre de Jaumont". Karena kami menjelajahi bagian kota Metz dengan berjalan kaki, saya sangat terkesan dengan area pejalan kaki yang sangat lebar, bahkan area pejalan kaki di kawasan komersial kota ini merupakan yang terlebar di seluruh Perancis.
Metz adalah ibukota wilayah Lorraine yang masuk ke dalam teritori Perancis sejak tahun 1552. Antara tahun 1870-1918 dan pada masa Perang Dunia II, Metz berada dalam kekuasaan Jerman. Setelah melintasi pusat kegiatan komersial Metz, kami sampai juga di Place d'Armes. Arsitek kota Metz pada abad ke-18, Jacques-François Blondel, menggabungkan unsur agama, militer, pemerintahan dan hukum sekaligus dan di Place d'Armes inilah gedung Balai kota, Katedral St. Etienne, gedung Opera yang merupakan gedung opera tertua di Perancis, dan gedung militer yang berubah fungsi menjadi kantor pariwisata kota berlokasi.
Mayoritas bangunan di kota ini mencuri perhatian pada kunjungan pertama. Arsitektur bergaya Renaissance sangat mendominasi, dikombinasi dengan arsitektur bangunan perpaduan Jerman-Perancis seperti di wilayah Alsace dan arsitektur bergaya Gotik. Sebagian besar bangunannya dibangun dengan batuan kapur berwarna kekuningan yang dikenal sebagai "pierre de Jaumont". Karena kami menjelajahi bagian kota Metz dengan berjalan kaki, saya sangat terkesan dengan area pejalan kaki yang sangat lebar, bahkan area pejalan kaki di kawasan komersial kota ini merupakan yang terlebar di seluruh Perancis.
Metz adalah ibukota wilayah Lorraine yang masuk ke dalam teritori Perancis sejak tahun 1552. Antara tahun 1870-1918 dan pada masa Perang Dunia II, Metz berada dalam kekuasaan Jerman. Setelah melintasi pusat kegiatan komersial Metz, kami sampai juga di Place d'Armes. Arsitek kota Metz pada abad ke-18, Jacques-François Blondel, menggabungkan unsur agama, militer, pemerintahan dan hukum sekaligus dan di Place d'Armes inilah gedung Balai kota, Katedral St. Etienne, gedung Opera yang merupakan gedung opera tertua di Perancis, dan gedung militer yang berubah fungsi menjadi kantor pariwisata kota berlokasi.
Salah satu sudut kota Metz |
Porte Serpenoise |
Suasana kota Metz di hari Sabtu pukul 11 siang |
Bagian depan Katedral St. Etienne |
Bangunan pasar tertutup yang sayangnya tutup di akhir pekan |
Lambang kota Metz |
Katedral St. Etienne yang megah nampak dari sisi lain |
Saturday, 24 June 2017
#World Heritage Sites: Historic Centre of Brugge
Pusat kota Bruges |
Coklat, bir, dan kentang goreng atau lazim disebut French fries langsung terlintas dalam benak begitu mendengar nama Belgia. Tapi bukan itu alasan kami tertarik mendatangi negeri coklat ini, melainkan sebuah kota cantik yang dikelilingi kanal bernama Bruges, yang juga dikenal sebagai Venice of the North.
Bruges, Dulu dan Sekarang
Bruges dalam bahasa Inggris dan Perancis atau Brugge dalam bahasa Belanda adalah kota kanal yang terletak di sebelah barat daya Belgia, ibukota wilayah sekaligus kota terbesar di West Flanders. Bahasa yang digunakan di kota ini adalah Flemish, Belanda, dan Perancis. Dulunya, sekitar abad pertengahan, Bruges merupakan kota pelabuhan dan aktivitas perdagangan yang sibuk di Eropa, khususnya perdagangan tekstil. Layaknya kota perdagangan, kanal-kanal yang mengaliri kota ramai dilalui kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal penumpang bagi penduduk setempat. Pada masa kejayaannya di abad kelimabelas, Bruges dikenal sebagai gudangnya pemintal dan penenun terbaik dunia. Menginjak abad ketujuhbelas, kain pintal dan tenun mulai tergantikan kerajinan tangan berbahan dasar renda atau lace yang populer sebagai cinderamata khas Bruges hingga saat ini.
Kota Bruges diperkirakan telah ada sejak abad ketujuh, namun abad ketigabelas hingga empatbelas adalah periode keemasan Bruges sebagai kota pelabuhan internasional sekaligus pusat komersial utama di wilayah barat laut Eropa. Sempat menjadi daerah pendudukan Perancis selama 20 tahun, kemilau Bruges perlahan memudar hingga puncaknya menjadi salah satu kota termiskin di Eropa pada abad kesembilanbelas. Meski begitu, kekayaan budaya dan sejarah yang terdapat di Bruges tetap terjaga baik selama berabad-abad, menjadikan pusat historis kota Bruges terpilih sebagai situs warisan budaya dunia UNESCO pada tahun 2000.
Sekarang, dengan popularitasnya, Bruges menjadi kota tujuan untuk day-trip, khususnya pada akhir pekan dan hari libur. Tidak disangkal, Bruges memang dipadati turis. Walaupun begitu, keelokan kota ini tetap dapat saya nikmati saat menyusuri jalan-jalan berbatu khas abad pertengahan diapit bangunan-bangunannya yang fotogenik. Deretan toko coklat dengan aneka bentuk yang unik, toko kerajinan lace yang sedap dipandang mata meski harganya relatif mahal, hingga toko-toko cinderamata yang etalasenya saja begitu menggemaskan, mengukuhkan pesona Bruges sebagai kota tujuan wisatawan.
Deretan bangunan berwarna-warni ikonik dengan fasad segitiga berundak tampak menonjol dan segera mencuri perhatian saya begitu kami berada di Market Square. Dikelilingi bangunan tua berwarna-warni yang dulunya merupakan tempat tinggal para pedagang kaya di satu sisi, Provincial Court di sisi lain, di Market Square juga terdapat Bruges Beer Museum. Sebagai kota turis, bisa dibayangkan bagaimana situasi Bruges di akhir pekan dan di hari libur.
Dari Perayaan Hari Nasional hingga Pencuri Cantik
Kami datang di pertengahan minggu, namun hari itu bertepatan dengan perayaan hari nasional Belgia yang jatuh pada 21 Juli, sehingga Bruges terbilang ramai. Berkesempatan menyaksikan upacara penghormatan kepada para veteran perang di Burg Square, kami bergabung dalam kerumunan pengunjung di depan balai kota Bruges, sebelum melangkahkan kaki ke Huidenvettersplein, salah satu dari empat tempat perhentian kapal yang membawa wisatawan menyusuri kanal-kanal di Bruges.
Setiap perjalanan selalu menorehkan kisah tersendiri yang berbeda untuk setiap orang, entah itu kisah lucu, sedih, mengharukan atau bahkan mengesalkan. Tidak pernah terbayangkan jika di kota inilah saya nyaris kecopetan untuk pertama kalinya. Awalnya, ketika kami sedang mengantri membeli tiket, sekilas saya sempat memperhatikan dua orang wanita muda berpakaian kasual dan berparas cantik yang salah satunya sedang hamil besar berdiri tidak jauh dari antrian. Entah kenapa, dari sekian banyaknya turis yang lalu lalang pagi itu, ingatan saya tentang dua perempuan muda tersebut cukup melekat, sampai akhirnya kami dipersilakan naik ke atas kapal dan tur selama 30 menit itupun dimulai. Lama setelah tur selesai, kami berkeliling kota, menyusuri trotoar sambil sesekali berhenti mendaratkan pandangan di etalase toko-toko coklat yang terlalu menarik untuk diabaikan. Tiba-tiba, saya merasa ada gerakan pada tas punggung dan seketika menoleh ke sumber gerakan. Benar saja, resleting tas punggung saya sudah setengah terbuka dan pada saat bersamaan memergoki salah satu dari perempuan muda yang sebelumnya saya lihat di dekat antrian kapal berdiri tepat di belakang saya segera menghentikan aksinya. Dengan wajah tanpa dosa, perempuan hamil yang satunya lagi sigap menyapa akrab teman di samping saya sambil menunjuk salah satu coklat berbentuk tak lazim di etalase toko, kemudian mendahului kami dan dengan cepat menghilang, mungkin mencari mangsa lain. Untungnya tidak ada barang yang sempat berpindah tangan, namun pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bahwa tangan jahil itu tidak memandang tempat dan tidak mempunyai stereotip. Siapa yang mengira jika di Bruges, tangan jahil tersebut berwujud dua perempuan muda cantik jelita dan salah satunya sedang hamil besar?
Urusan dengan tangan jahil ini tentunya tidak lantas membuat kami kehilangan semangat mengeksplorasi kota yang konon disebut-sebut sebagai salah satu kota dengan rupa bak negeri dongeng di Eropa ini. Panorama kota Bruges terlalu cantik untuk diabaikan dalam perjalanan singkat kami.
Yang Menarik untuk Dikunjungi di Bruges
Namun, kunjungan ke Bruges tidaklah sahih tanpa mendatangi langsung tengaran-tengaran penting dari berabad-abad lalu. Perhentian pertama tentunya adalah Market Square, dimana terdapat bangunan ikonik Bruges, yaitu deretan rumah pedagang di masa lalu dengan fasad segitiga berundak berwarna-warni yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kedai kopi atau restoran. Waktu makan siang masih beberapa jam lagi, namun di sudut meja salah satu kedai, tampak satu keluarga dengan anak-anak yang masing-masing sedang menikmati sepiring besar wafel yang tampak lezat. Jangan lewatkan Bruges tanpa mencoba moules frites atau remis yang dimasak dengan bawang bombay, jahe, persil, disajikan bersama kentang goreng dan ditutup dengan wafel dengan aneka topping buah-buahan segar seperti pisang, stroberi, atau kiwi dan krim atau es krim, hmmm…dijamin perut akan puas dan bahagia! Usai urusan kuliner, bangunan historis di sekeliling Market Square seperti Provincial Court yang kokoh dan menara Belfry yang menjulang serta Bruges Beer Museum sudah menunggu untuk disambangi. Walaupun kebanyakan turis memilih berjalan kaki di Bruges, pilihan lain yang menarik tapi harus merogoh kantong lebih dalam adalah menumpang kereta kuda nan gagah dari Market Square seharga 50 Euro untuk 30 menit berkeliling pusat kota historis, dikusiri pemandu profesional.
Ke arah timur dari Market Square, terdapat Burg Square dimana City Hall atau Balaikota Bruges berada. Hanya ada dua kesempatan untuk memasuki Balaikota, yaitu bila akan menikah atau jika kita diundang teman/kerabat yang menikah disana. Jadi kalau ingin masuk ke dalam gedung bersejarah tersebut, tinggal pilih momen mana yang paling cocok untuk Anda.
Sedikit menjauh dari pusat historis ke arah selatan, berlokasi tepat di tepi kanal Minnewater, terdapat kompleks bangunan didominasi warna putih dinaungi pohon besar yang rindang dan rumput hijau. Suasana syahdu terasa seketika begitu saya menginjakkan kaki di halamannya. Itulah Béguinage atau Begijnhof yang merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bekerja para penghuninya. Berbeda dengan biara, penghuni Béguinage bukanlah biarawati melainkan wanita biasa yang semata ingin mengabdikan dirinya untuk Tuhan.
Sebagai kota seni, Bruges juga mempunyai banyak museum terkemuka, seperti Groeninge Museum, tempat dipamerkannya karya pelukis besar Belgia Hans Memling dan Jan van Eyck. Sedangkan penggemar batu berharga berlian bisa mengayunkan langkah ke Diamond Museum, yang terletak tidak jauh dari Begijnhof. Tidak lupa, coklat dan kentang goreng yang merupakan ciri khas negara Belgia juga mempunyai museumnya masing-masing, yakni Choco-story atau Chocolate Museum dan Friet Museum, dimana pengunjung dapat mengetahui sejarah asal-muasal coklat maupun kentang goreng sekaligus mencicipinya disana. Untuk pelancong keluarga dengan anak-anak, kunjungan ke dua museum ini tentunya akan sangat menyenangkan seluruh anggota keluarga.
Penikmat sejarah, budaya, dan arsitektur dijamin betah berada di kota indah ini. Selain tengaran seperti balai kota atau gedung-gedung pemerintahan, interior bangunan peribadatan di Bruges juga sangat menarik. Mulai dari Jeruzalemkerk atau kapel yang didirikan pada abad kelimabelas oleh seorang pedagang kaya yang baru kembali berziarah dari Jerusalem, biara Carmelites, kapel Orthodoks, hingga biara untuk pastor Jesuit.
Salah satu yang wajib dilakukan pelancong ketika berada di Bruges adalah mengikuti tur melalui kanal-kanal dengan menumpang kapal berkapasitas kurang lebih 25 orang. Dengan tiket seharga 8 Euro per orang, kami bergabung dengan calon penumpang lain, siap menikmati panorama Bruges dari kanal. Perjalanan selama 30 menit ini nyaris tidak terasa, apalagi banyak bangunan sepanjang kanal yang teramat menarik. Sekawanan angsa dan bebek yang berpapasan dengan kapal kami menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Selain mengikuti tur keliling kanal, menumpang kereta kuda, atau menyewa sepeda, Bruges sangat nyaman dijelajahi dengan berjalan kaki. Pusat kota Bruges cukup kecil untuk dinikmati sambil mengayunkan langkah, bahkan bagi mereka yang tidak gemar menjelajahi kota dengan berjalan sekalipun.
Yummmyyyy!!! |
Kerajinan lace khas Bruges |
Cantiknya kota Bruges |
Bruges hanya berjarak 1 jam perjalanan dengan kereta dari Gare du Midi di Brussels, 1,5 jam dari Antwerpen, dan hanya 30 menit berkereta dari Gent.Sementara dengan kota-kota besar lainnya di Eropa, Bruges dapat dicapai dari Lille, kota terdekat di Perancis selama 1 jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Dari stasiun Paris-Nord, Bruges berjarak 2,5 jam perjalanan kereta, sedangkan dengan kota-kota lain seperti London dan Dover di Inggris, Amsterdam di Belanda, dan Koln di Jerman, Bruges berjarak 1,5 – 4 jam perjalanan dengan moda transportasi kereta ataupun kapal feri. Sebagai kota turis, tipe akomodasi di Bruges cukup bervariasi yang dapat dipilih sesuai anggaran, dengan pilihan terbanyak berupa hotel dan chambre d’hôtes atau kamar yang disewakan di rumah penduduk. Pilihan kedua lebih menarik dari sisi pengalaman karena selain bisa berinteraksi dengan tuan rumah, tamu dapat menikmati hidangan seperti layaknya di rumah. Berkeliling Bruges paling seru dilakukan dengan mengendarai sepeda yang banyak terdapat di sudut kota. Yang pasti, jangan lewatkan Bruges kalau suatu hari berkunjung ke Belgia. It is definitely worth a visit!
Friday, 23 June 2017
[Buku Baru] Bangkok Rasa Lokal: Wisata Anti-Mainstream di Bangkok dan Sekitarnya
Jalan-jalan ke Bangkok, mau ke mana saja? Grand Palace? Chatuchak
Weekend Market? Madame Tussauds? Ah, itu sudah biasa! Mau yang luar
biasa? Cobalah travel like locals alias mencecap langsung pengalaman
wisata ala penduduk setempat.
Ditulis dan dirangkum oleh penghuni kota Bangkok, Bangkok Rasa Lokal:
Wisata Anti-Mainstream di Bangkok dan Sekitarnya menyajikan sudut
pandang berbeda tentang destinasi wisata di Bangkok dan sekitarnya.
Bukan hanya wahana baru, Anda juga akan memperoleh informasi tentang
festival-festival tahunan, moda-moda transportasi, dan tempat tempat
wisata keluarga yang sesuai dengan kantong Anda, termasuk makanan halal.
Bersiaplah untuk liburan yang anti-mainstream!
Alhamdulillah, akhirnya proyek rame-rame ini "lahir" juga. Setelah proyek pertama menghasilkan buku yang dicetak untuk kalangan sendiri, bulan Juni 2017 ini, saya dan dua teman yang juga terlibat di proyek pertama menelurkan buku panduan jalan-jalan di Bangkok. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembacanya. Temukan bukunya di Gramedia atau toko buku kesayangan dan jangan lupa segera diadopsi yaa...
Selamat membaca!
Alhamdulillah, akhirnya proyek rame-rame ini "lahir" juga. Setelah proyek pertama menghasilkan buku yang dicetak untuk kalangan sendiri, bulan Juni 2017 ini, saya dan dua teman yang juga terlibat di proyek pertama menelurkan buku panduan jalan-jalan di Bangkok. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembacanya. Temukan bukunya di Gramedia atau toko buku kesayangan dan jangan lupa segera diadopsi yaa...
Selamat membaca!
Thursday, 22 June 2017
[Menjadi Ibu]: Saya Mau Jadi Ibu yang ...
Duluuu sekali, waktu belum menjadi ibu, saya pernah khilaf menilai (dalam hati, tentu saja) para ibu (yang ada di lingkungan sekitar dan saya kenal secara pribadi) dalam mengurus anaknya. Setelah menjadi ibu, saya belajar bahwa dinilai, apalagi dikomentari bagaimana seharusnya menangani anak sendiri itu rasanya GAK ENAK! Saya sendiri tipe orang yang lebih memilih diam atau mengiyakan kalau dikomentari atau dikasih saran demi menghormati yang bicara. Hampir bisa dipastikan, kalau menerima komentar kurang atau tidak menyenangkan, saya sebatas tersenyum basa-basi terhadap si pemberi komentar meski hati dongkol setengah mati, atau kalau benar-benar malas, saya akan pura-pura tidak mendengar. Tidak sopan? Memang, tapi yang bicara juga seringkali tidak mempertimbangkan perasaan orang yang dikomentari/dinasihati, sih.
Pengalaman pribadi ini juga sekaligus mengingatkan saya sendiri agar tidak melakukan kesalahan yang sama pada orang lain. Sekarang saya juga belajar menghilangkan perasaan tidak enak terhadap si pemberi nasihat/komentar, kalau memang nasihat/komentarnya dirasa "mengganggu", saya akan mengutarakan keberatan saya, tidak cukup dengan hanya tersenyum sopan basa-basi mengiyakan.
Nah, pas baca postingannya Rika disini, saya otomatis membatin "Ih, ternyata saya gak sendiri" dan suatu kebetulan yang sama, berkaca dari pengalaman, mayoritas pemberi nasihat/komentar itu adalah teman sebangsa. Hm, entah kebetulan, atau sebagian besar orang kita memang tipe yang "perhatian" :D
Kembali ke judul postingan ini, berkaca dari pengalaman pribadi tadi, saya berniat mau jadi ibu yang:
1. Tidak Asal Komentar
Kenyang rasanya mendengar aneka komentar dari sekeliling tentang anak sendiri. Karakter pemberi komentarpun macam-macam, dari yang muda sampai yang senior, dari yang punya anak dewasa hingga yang belum punya anak, dari yang sering bertemu sampai yang baru sekali bertemu. Tentunya saya ingat komentar-komentar mereka ini karena saya tidak suka mendengarnya, dan tidak mau saya mengucapkan hal sama pada orang lain, makanya ditulis disini sebagai pengingat.
- Anaknya gak mau makan/gak suka "X" ya?
Komentar ini muncul ketika melihat anak saya SATU kali (iya, cuma satu kali dan langsung mengambil kesimpulan) menutup mulutnya saat saya menyuapkan puree brokoli kentang keju bekal dari rumah. Si ibu yang cukup senior dengan santainya berkomentar seperti di atas. Reaksi pertama saya adalah mengabaikannya, pura-pura gak dengar. Tidak lama, bekal makan siang yang saya siapkan sudah tandas dihabiskan si kecil *melirik sebal si ibu*
- Anaknya gak biasa dibawa ke tempat ramai/bepergian sih, jadi rewel
Anak-anak kami terbiasa berada di lingkungan yang sunyi dan tenang semenjak mereka lahir. Bukannya dibiasakan, tapi karena memang di rumah jarang ada suara keras. Kalaupun ada suara, bukan suara gaduh, teriakan, ataupun jeritan, ketawa cekikikan yang biasa mereka dengar. Komentarpun mulai berdatangan kalau si kecil mulai rewel seperti "Gak biasa dibawa ke tempat ramai ya?" atau "Di rumah sepi ya? Coba diperdengarkan Murattal, seperti anaknya B" zzzzzz.....
- Bayinya haus mungkin, gak dikasih susu?
Komentar ini saya dapat lima tahun yang lalu dan masih saya ingat sampai sekarang.Waktu itu saya datang ke acara syukuran tempat tinggal teman yang baru, dan kami baru pulang mudik sehari sebelumnya. Faktor jetlag dan ramai mungkin menjadi kombinasi ketidaknyamanan si kecil. Begitu terbangun dari tidurnya, seorang teman lain langsung ambil si kecil dan mencoba menggendongnya, yang berujung si bayi ngamuk tanpa henti. Saat saya lagi pamit mau pulang sama tuan rumah sambil menggendong bayi yang nangis keras, ada seorang mbak dengan santai berkomentar "Mau susu, mungkin?" Zzzzzzz.... (Mbak gak tau ya, kalau anak nangis, yang pertama kali saya sodorin adalah, apalagi kalau bukan PD. Kalau gak tau, lebih baik disimpan aja komentarnya mbak, gak membantu sama sekali. Lagipula, saya juga baru sekali itu ketemu mbaknya, jadi terima kasih sarannya, tapi saya gak perlu).
- Gak pakai stroller? Biar anaknya bisa lihat-lihat pemandangan, gak bosen digendong terus
Ini masalah pilihan dan kepraktisan, masing-masing orang punya pertimbangannya masing-masing. Cukup bertanya "gak pakai stroller?" setelah itu terima saja apa jawaban si empunya anak, titik.
- Masih rewel ya (anaknya)?
Pliss deh..seberapa sering sih bertemu dengan anak saya? Kalau terakhir kali bertemu itu lebih dari seminggu yang lalu dan frekuensi bertemunyapun jarang, lebih baik tanya hal lain saja.
2. Memberi Saran/Nasihat HANYA KETIKA Diminta
Ini saya kutip dari tulisan Rika "Sebelum ngasih nasehat coba dulu untuk ingat kalo ortu jaman sekarang udah sangat melek informasi. Gak usah ngerasa punya nasehat paling jitu karena nasehat yang sama pasti udah dibaca puluhan kali oleh si ortu."
Suatu kali, saya bawa si tengah yang belum genap berusia 6 bulan ke satu acara di rumah teman. Entah kenapa, hari itu ia rewel sekali. Tidur sebentar, sisanya menangis. Walhasil, sepanjang acara, saya malah sibuk menenangkannya tanpa hasil, sudah dipangku, disusui, ia tetap menangis. Saya yang biasanya santai jadi agak grogi karena banyak yang menanyakan kenapa si bayi menangis. Akhirnya, saya memutuskan pulang karena mungkin ia tidak nyaman berada disana.
Saat sedang bersiap-siap mau pulang, saya didekati seorang mbak yang ber"murah hati" kasih nasihat mengatasi bayi rewel, sampai sengaja keluar menemani saya sampai depan pintu lift demi menuntaskan penyampaian nasihatnya. Lupa tepatnya apa yang ia katakan, tapi intinya si mbak bilang untuk coba meletakkan bayi tanpa ada kontak fisik jadi bayi tidak terstimulasi terus-terusan. Nasihat yang bagus sebenarnya, sebagai bentuk perhatian pada ibu yang sedang kewalahan menenangkan bayinya. Cuma dua hal yang si mbak lupa pertimbangkan sebelum kasih nasihat, yaitu waktu penyampaian nasihat -waktu anak sedang menangis keras bukanlah waktu yang tepat memberi nasihat-, dan fakta bahwa sebagai ibu jaman sekarang, tidak hanya si mbak, saya juga membaca dan melek informasi, dan saya tahu tentang apa yang mbak itu sampaikan sejak anak pertama lahir. Tapi dengan alasan kesopanan, saya mengiyakan saja.
Sekarang mbaknya sudah punya anak balita, dan saya berharap semoga ia tidak mengalami hal yang sama dengan saya ketika sedang mengurus anaknya, karena diberi saran/nasihat tanpa diminta itu, apalagi soal anak, sangat tidak menyenangkan.
3. Tidak Membanding-bandingkan
Tidak membanding-bandingkan diri sendiri atau anak sendiri dengan orang lain atau anaknya itu palingggg susah! Tapi ternyata, dunia lebih indah kalau kita pakai kacamata kuda dan cukup mengurusi diri plus anak sendiri tanpa perlu lihat kiri kanan. Belajar dari lingkungan harus, tapi jangan sampai keterusan hingga akhirnya jadi membanding-bandingkan. Untungnya, dalam hal ini, suami cukup "galak" kalau saya mulai curhat-curhat galau tentang "A yang hebat, bisa menghasilkan uang sambil urus anak-anaknya yang masih kecil" atau tentang "anak B yang (terlihat) bersikap manis tanpa cela". Memang, kalau mau dibanding-bandingkan, rumput tetangga selalu lebih hijau dan galau gak akan pernah ada habisnya. Yang penting adalah niat untuk selalu menjadi lebih baik setiap harinya dalam hal apapun, termasuk menjalankan peran sebagai ibu.
Kalau kamu, mau jadi ibu yang seperti apa?
Pengalaman pribadi ini juga sekaligus mengingatkan saya sendiri agar tidak melakukan kesalahan yang sama pada orang lain. Sekarang saya juga belajar menghilangkan perasaan tidak enak terhadap si pemberi nasihat/komentar, kalau memang nasihat/komentarnya dirasa "mengganggu", saya akan mengutarakan keberatan saya, tidak cukup dengan hanya tersenyum sopan basa-basi mengiyakan.
Nah, pas baca postingannya Rika disini, saya otomatis membatin "Ih, ternyata saya gak sendiri" dan suatu kebetulan yang sama, berkaca dari pengalaman, mayoritas pemberi nasihat/komentar itu adalah teman sebangsa. Hm, entah kebetulan, atau sebagian besar orang kita memang tipe yang "perhatian" :D
Kembali ke judul postingan ini, berkaca dari pengalaman pribadi tadi, saya berniat mau jadi ibu yang:
1. Tidak Asal Komentar
Kenyang rasanya mendengar aneka komentar dari sekeliling tentang anak sendiri. Karakter pemberi komentarpun macam-macam, dari yang muda sampai yang senior, dari yang punya anak dewasa hingga yang belum punya anak, dari yang sering bertemu sampai yang baru sekali bertemu. Tentunya saya ingat komentar-komentar mereka ini karena saya tidak suka mendengarnya, dan tidak mau saya mengucapkan hal sama pada orang lain, makanya ditulis disini sebagai pengingat.
- Anaknya gak mau makan/gak suka "X" ya?
Komentar ini muncul ketika melihat anak saya SATU kali (iya, cuma satu kali dan langsung mengambil kesimpulan) menutup mulutnya saat saya menyuapkan puree brokoli kentang keju bekal dari rumah. Si ibu yang cukup senior dengan santainya berkomentar seperti di atas. Reaksi pertama saya adalah mengabaikannya, pura-pura gak dengar. Tidak lama, bekal makan siang yang saya siapkan sudah tandas dihabiskan si kecil *melirik sebal si ibu*
- Anaknya gak biasa dibawa ke tempat ramai/bepergian sih, jadi rewel
Anak-anak kami terbiasa berada di lingkungan yang sunyi dan tenang semenjak mereka lahir. Bukannya dibiasakan, tapi karena memang di rumah jarang ada suara keras. Kalaupun ada suara, bukan suara gaduh, teriakan, ataupun jeritan, ketawa cekikikan yang biasa mereka dengar. Komentarpun mulai berdatangan kalau si kecil mulai rewel seperti "Gak biasa dibawa ke tempat ramai ya?" atau "Di rumah sepi ya? Coba diperdengarkan Murattal, seperti anaknya B" zzzzzz.....
- Bayinya haus mungkin, gak dikasih susu?
Komentar ini saya dapat lima tahun yang lalu dan masih saya ingat sampai sekarang.Waktu itu saya datang ke acara syukuran tempat tinggal teman yang baru, dan kami baru pulang mudik sehari sebelumnya. Faktor jetlag dan ramai mungkin menjadi kombinasi ketidaknyamanan si kecil. Begitu terbangun dari tidurnya, seorang teman lain langsung ambil si kecil dan mencoba menggendongnya, yang berujung si bayi ngamuk tanpa henti. Saat saya lagi pamit mau pulang sama tuan rumah sambil menggendong bayi yang nangis keras, ada seorang mbak dengan santai berkomentar "Mau susu, mungkin?" Zzzzzzz.... (Mbak gak tau ya, kalau anak nangis, yang pertama kali saya sodorin adalah, apalagi kalau bukan PD. Kalau gak tau, lebih baik disimpan aja komentarnya mbak, gak membantu sama sekali. Lagipula, saya juga baru sekali itu ketemu mbaknya, jadi terima kasih sarannya, tapi saya gak perlu).
- Gak pakai stroller? Biar anaknya bisa lihat-lihat pemandangan, gak bosen digendong terus
Ini masalah pilihan dan kepraktisan, masing-masing orang punya pertimbangannya masing-masing. Cukup bertanya "gak pakai stroller?" setelah itu terima saja apa jawaban si empunya anak, titik.
- Masih rewel ya (anaknya)?
Pliss deh..seberapa sering sih bertemu dengan anak saya? Kalau terakhir kali bertemu itu lebih dari seminggu yang lalu dan frekuensi bertemunyapun jarang, lebih baik tanya hal lain saja.
2. Memberi Saran/Nasihat HANYA KETIKA Diminta
Ini saya kutip dari tulisan Rika "Sebelum ngasih nasehat coba dulu untuk ingat kalo ortu jaman sekarang udah sangat melek informasi. Gak usah ngerasa punya nasehat paling jitu karena nasehat yang sama pasti udah dibaca puluhan kali oleh si ortu."
Suatu kali, saya bawa si tengah yang belum genap berusia 6 bulan ke satu acara di rumah teman. Entah kenapa, hari itu ia rewel sekali. Tidur sebentar, sisanya menangis. Walhasil, sepanjang acara, saya malah sibuk menenangkannya tanpa hasil, sudah dipangku, disusui, ia tetap menangis. Saya yang biasanya santai jadi agak grogi karena banyak yang menanyakan kenapa si bayi menangis. Akhirnya, saya memutuskan pulang karena mungkin ia tidak nyaman berada disana.
Saat sedang bersiap-siap mau pulang, saya didekati seorang mbak yang ber"murah hati" kasih nasihat mengatasi bayi rewel, sampai sengaja keluar menemani saya sampai depan pintu lift demi menuntaskan penyampaian nasihatnya. Lupa tepatnya apa yang ia katakan, tapi intinya si mbak bilang untuk coba meletakkan bayi tanpa ada kontak fisik jadi bayi tidak terstimulasi terus-terusan. Nasihat yang bagus sebenarnya, sebagai bentuk perhatian pada ibu yang sedang kewalahan menenangkan bayinya. Cuma dua hal yang si mbak lupa pertimbangkan sebelum kasih nasihat, yaitu waktu penyampaian nasihat -waktu anak sedang menangis keras bukanlah waktu yang tepat memberi nasihat-, dan fakta bahwa sebagai ibu jaman sekarang, tidak hanya si mbak, saya juga membaca dan melek informasi, dan saya tahu tentang apa yang mbak itu sampaikan sejak anak pertama lahir. Tapi dengan alasan kesopanan, saya mengiyakan saja.
Sekarang mbaknya sudah punya anak balita, dan saya berharap semoga ia tidak mengalami hal yang sama dengan saya ketika sedang mengurus anaknya, karena diberi saran/nasihat tanpa diminta itu, apalagi soal anak, sangat tidak menyenangkan.
3. Tidak Membanding-bandingkan
Tidak membanding-bandingkan diri sendiri atau anak sendiri dengan orang lain atau anaknya itu palingggg susah! Tapi ternyata, dunia lebih indah kalau kita pakai kacamata kuda dan cukup mengurusi diri plus anak sendiri tanpa perlu lihat kiri kanan. Belajar dari lingkungan harus, tapi jangan sampai keterusan hingga akhirnya jadi membanding-bandingkan. Untungnya, dalam hal ini, suami cukup "galak" kalau saya mulai curhat-curhat galau tentang "A yang hebat, bisa menghasilkan uang sambil urus anak-anaknya yang masih kecil" atau tentang "anak B yang (terlihat) bersikap manis tanpa cela". Memang, kalau mau dibanding-bandingkan, rumput tetangga selalu lebih hijau dan galau gak akan pernah ada habisnya. Yang penting adalah niat untuk selalu menjadi lebih baik setiap harinya dalam hal apapun, termasuk menjalankan peran sebagai ibu.
Kalau kamu, mau jadi ibu yang seperti apa?
Tuesday, 23 May 2017
Percakapan a la Anak Multibahasa
Punya anak multibahasa itu susah-susah gampang menggelikan. Susahnya karena seringkali harus tebak tebak buah manggis apa yang si anak coba katakan (saat si anak menginjak usia baru bisa bicara), dibilang gampang selama orangtua konsisten bicara dengan satu bahasa pada anak, insya Allah komunikasi mulus lancar, dan menggelikan, karena ada saja hal-hal yang bisa ditertawakan dari percakapan mereka.
Buah sabar
Alkisah, suatu hari, bocah #1 dan bocah #2 sedang bermain. Tampaknya #2 tidak sabar menunggu giliran. #1 langsung datang mengadu pada saya
D: Ibu, Sophie rebut mainan dari tangan David
I : Bener, Sophie?
S : Iya (dengan muka polos)
I : Gak baik merebut mainan dari tangan orang lain. Kan bisa minta baik-baik
(Kakaknya langsung menimpali)
D: Sophie harus banyak minum buah sabar
I : Buah sabar???
D : Iya, itu passion fruit (si sulung belum bisa membedakan antara passion dan patient, sehingga muncullah terjemahan passion fruit = buah sabar :D)
Ibu pintar
Sehari-hari, bahasa Indonesia lebih dominan digunakan di rumah, kecuali komunikasi antara anak-anak dan bapaknya. Kadang, saya ikut menimpali pembicaraan bapak dan anak. Satu kali, kami berdua sedang berbicara dalam bahasa Perancis. Eeehh, tiba-tiba ada suara anak kecil berkomentar "Ibu pintarrrr, bisa bahasa Perancis!" Setelah dikoreksi pengucapan kata yang benar, sekarang kemampuan berbahasa sayapun mulai dinilai oleh si bocah, duuhh...
Aik a.k.a Eight
Bocah #2 sedang senang-senangnya mengucapkan kata yang terdengar di telinga kami sebagai "aik". Rasanya tidak ada kosakata tersebut dalam tiga bahasa yang kami gunakan. Tidak ada satupun yang tahu apa arti kata "aik" tersebut, sampai saya lihat video dari daycare-nya. Ternyata oh ternyata, "aik" yang dimaksud si bocah adalah "eight". Sekarang si "aik" inipun tidak lagi menjadi misteri :).
Bicara Bahasa Indonesia = Orang Indonesia
Suatu malam bocah #1 diajak Bapak ke acara Thanksgiving di tempat salah satu kolega kantornya. Pulangnya, ia bercerita tentang "Om" yang orang Indonesia. Dengan fasih, si bocah menceritakan kalau "Om" ini orang Indonesia karena bisa bicara bahasa Indonesia dengan dia. Sayapun antusias mendengarkan ceritanya. Ketika si bocah sudah tidur, saya tanya bapaknya, ternyata si "Om" itu orang asing yang menyapa si bocah dengan ucapan "halo, selamat malam". Tahu sendirilah, orang bule yang kebetulan pernah bertugas ke Indonesia dan bisanya cuma bilang "selamat pagi/siang/malam" :D:D:D.
Sebenarnya ada banyak percakapan lain yang mengundang tawa, hanya saja saya lupa mencatatnya. Besok-besok, kalau ada percakapan lucu lagi, mungkin saya harus segera menuliskannya disini, lumayan untuk dibaca kembali dan ditertawakan bersama :)
Buah sabar
Alkisah, suatu hari, bocah #1 dan bocah #2 sedang bermain. Tampaknya #2 tidak sabar menunggu giliran. #1 langsung datang mengadu pada saya
D: Ibu, Sophie rebut mainan dari tangan David
I : Bener, Sophie?
S : Iya (dengan muka polos)
I : Gak baik merebut mainan dari tangan orang lain. Kan bisa minta baik-baik
(Kakaknya langsung menimpali)
D: Sophie harus banyak minum buah sabar
I : Buah sabar???
D : Iya, itu passion fruit (si sulung belum bisa membedakan antara passion dan patient, sehingga muncullah terjemahan passion fruit = buah sabar :D)
Ibu pintar
Sehari-hari, bahasa Indonesia lebih dominan digunakan di rumah, kecuali komunikasi antara anak-anak dan bapaknya. Kadang, saya ikut menimpali pembicaraan bapak dan anak. Satu kali, kami berdua sedang berbicara dalam bahasa Perancis. Eeehh, tiba-tiba ada suara anak kecil berkomentar "Ibu pintarrrr, bisa bahasa Perancis!" Setelah dikoreksi pengucapan kata yang benar, sekarang kemampuan berbahasa sayapun mulai dinilai oleh si bocah, duuhh...
Aik a.k.a Eight
Bocah #2 sedang senang-senangnya mengucapkan kata yang terdengar di telinga kami sebagai "aik". Rasanya tidak ada kosakata tersebut dalam tiga bahasa yang kami gunakan. Tidak ada satupun yang tahu apa arti kata "aik" tersebut, sampai saya lihat video dari daycare-nya. Ternyata oh ternyata, "aik" yang dimaksud si bocah adalah "eight". Sekarang si "aik" inipun tidak lagi menjadi misteri :).
Bicara Bahasa Indonesia = Orang Indonesia
Suatu malam bocah #1 diajak Bapak ke acara Thanksgiving di tempat salah satu kolega kantornya. Pulangnya, ia bercerita tentang "Om" yang orang Indonesia. Dengan fasih, si bocah menceritakan kalau "Om" ini orang Indonesia karena bisa bicara bahasa Indonesia dengan dia. Sayapun antusias mendengarkan ceritanya. Ketika si bocah sudah tidur, saya tanya bapaknya, ternyata si "Om" itu orang asing yang menyapa si bocah dengan ucapan "halo, selamat malam". Tahu sendirilah, orang bule yang kebetulan pernah bertugas ke Indonesia dan bisanya cuma bilang "selamat pagi/siang/malam" :D:D:D.
Sebenarnya ada banyak percakapan lain yang mengundang tawa, hanya saja saya lupa mencatatnya. Besok-besok, kalau ada percakapan lucu lagi, mungkin saya harus segera menuliskannya disini, lumayan untuk dibaca kembali dan ditertawakan bersama :)
Friday, 17 March 2017
Jatuh Cinta pada Hanoi
Jembatan Merah yang ikonik |
1. Hanoi Old Quarter
Pertama memasuki kawasan ini, deretan toko yang menjual produk serupa di setiap ruas jalan yang kami lalui langsung menarik perhatian saya. Ternyata, ada 36 jalan yang dinamai sesuai dengan barang yang dijual di sepanjang jalan tersebut, misalnya Hang Bac (Silver street), Hang Bong (Cotton street), dan Hang Ma (Paper Offering street). Unik ya? Tentu jumlah jalan sebenarnya di kawasan ini lebih dari 36 buah, angka 36 digunakan untuk menggambarkan begitu banyaknya jalan-jalan yang saling memotong di pusat kawasan kota tua Hanoi. Jalan-jalan lain yang sempat kami lewati adalah jalan yang di sepanjang ruasnya menjual kacamata, ransel, alat-alat masak, kertas warna-warni untuk hiasan, lampu, hingga alat-alat rumah tangga yang terbuat dari bambu maupun kayu.
2. Water Puppet Show
Berasal dari delta sungai Merah pada abad kesepuluh. Awalnya saya tidak terlalu tertarik dengan pertunjukan ini, sampai saya duduk di kursi penonton. Anak-anakpun cukup terhibur, terbukti mereka dapat duduk tenang selama kurang lebih satu jam, padahal saya sempat deg-degan, khawatir mereka bosan dan rewel. Dengan harga tiket VND 100,000, jangan lewatkan pertunjukan wayang air ini di Thanglong Theatre.
3. Thang Long - Hanoi Imperial Ancient Citadel
Merupakan satu dari sepuluh Warisan Budaya Dunia di Vietnam. Cerita lengkap tentang Thang Long bisa dibaca di tulisan saya yang ini.
4. Hoan Kiem Lake & Ngoc Son Temple
Berarti Lake of the Returned Sword dalam bahasa Vietnam, dengan legenda berusia ratusan tahun. Jembatan merah yang menuju kuil Ngoc Son paling cantik terlihat saat malam tiba. Berbekal tiket masuk VND 20,000 ke kuil Ngoc Son, dapatkan sejarah tentang danau ini berikut penghuninya, yaitu kura-kura raksasa yang kadangkala menampakkan diri. Danau Hoan Kiem ini ibaratnya merupakan jantung kota Hanoi. Di salah satu sudut danau, tertata hamparan bunga berwarna-warni menyegarkan mata.
5. Kuliner
Sebagai orang yang suka makan, jalan-jalan ke Hanoi belum lengkap kalau belum mencicip makanan khasnya. Favorit saya adalah Pho, yaitu sejenis sup dengan kaldu daging sapi yang gurih dilengkapi mi putih dan sayuran segar, Fresh maupun Fried spring roll, Cha Ca, potongan ikan berbumbu kuning yang dimakan dengan mi putih, hingga banh mi, atau roti lapis khas Vietnam.
6. Bangunan kolonial
Hanoi juga kaya dengan bangunan kolonial yang sedap dipandang. Warna kuning khas yang mendominasi bangunan kolonial tersebut menjadikan Hanoi terlihat begitu impresif di mata saya. Sebut saja beberapa bangunan seperti Presidential Palace, Ministry of Foreign Affairs, Hanoi Opera House, dan National Museum of Vietnamese History. Deretan bangunan kolonial di sepanjang Hoang Dieu street yang banyak berfungsi sebagai kediaman resmi duta besar terlihat anggun mengapit jalan raya dengan jalur pejalan kaki yang lebar dan dinaungi pohon-pohon besar.
Selain keenam hal tersebut, tentu ada lagi yang membuat saya terkenang-kenang dengan ibukota Vietnam ini. Apalagi kalau bukan tes adrenalin menyeberang jalan dengan sepeda motor yang berseliweran tanpa henti, hehehe...
Meski karena keterbatasan waktu kami tidak sempat menghampiri Hoa Lo Prison (Maison Centrale), Dong Xuan Market, Van Mieu Temple of Literature, Bat Trang Ceramic Village, dan Museum of Ethnology, kunjungan ke Hanoi telah meninggalkan kesan mendalam. Justru tempat-tempat tersebut menjadi alasan kuat untuk kembali lagi kesana.
Sampai jumpa lagi, Hanoi...
Wednesday, 8 March 2017
Here Comes the Third...
Today, nine weeks ago, I was 40 days and 5 days pregnant. No signs of labour although the latest ultrasound marked somewhere between 24 and 30 December 2016 as the EDD. New year came and the baby was still happily snuggled in my womb.
I saw my Obgyn on the 30th of December and the first time I saw her, I said that I was still pregnant to which she replied "No worries, as you are always overdue". Yes, we stick to the same Obgyn that has helped deliver our two other children. The chemistry is wayyy too strong :). That day, I had the Non Stress Test showing good result, so we could wait for another week. Believe it or not, since 24th of December, we have done whatever actions possible to naturally induce the labour, but nothing happened. Almost every night I had a dream that I suddenly woke up and was in labour, and the next morning I still found myself pregnant. My husband was more impatient than me, as he had no longer motivation to go to the office (it was nearly year-end long holiday and he's longing to have the baby as much as myself). Days went by, school started on the 4th of January for our eldest and that day my husband had an important meeting to attend...and the baby decided that it was a good day to show up!
Wednesday morning, 4 January 2017, I went to the park nearby with Sophie and my mother, this time we did one whole round, more or less 2 kilometers in distance. Later, I went out to fix my phone network and on the way home, I bought freshly-cut pineapples from the street vendor, hoping that the pineapples would trigger the labour. Nothing happened the whole morning, not until 2 pm when I started to feel the contractions, 15-20 minutes apart. I decided to take shower and get prepared. Sophie had her nap right after lunch and in an hour or so, David would be home, too. I called the hospital to check whether I should come now or later, then called my husband in the middle of his meeting. Around 3 pm, David's school bus arrived and 3.40 pm, off we went to the hospital. David was fine when we hugged and kissed him, but later my mother said, he looked worried..oh dear, how I wished I could hug him tight :(. In the taxi, my contractions were getting intense, 5-6 minutes apart but I was in full control, unlike my husband who looked worried that we could not make it to the hospital. Luckily, the traffic that very afternoon was fluid, so we arrived at the hospital just before 4 pm. We were admitted to my Obgyn's room and she confirmed that I was already 5-6 cm dilated. First she said, the baby might arrive within 2-3 hours, but later she corrected that the delivery might happen within 1-2 hours.
We proceeded to the birth room and the staff performed usual procedures for delivery. I requested enema in the first place, but my Obgyn said it was not necessary. Not long after that, my water was broken to speed up the labour. Somehow, hypnosis and always being overdue has helped me to go through the contractions with enthusiasm and positive thoughts. The mindset "to meet the baby as soon as possible" did really help. Nevertheless, during the transition stage (8-9 cm dilated), which is the most painful, I felt being pushed to my limits resulting the thought "why I want to do this (natural) birth all over again" despite the fact that there are painkillers available. All of a sudden, in between strong contractions, I had the urge to push. First push, second push, third push, and voila...there she was...crying out loud...Alhamdulillah, Praise be to Allah SWT for His blessings, for the smooth pregnancy, safe delivery, and healthy baby. I was also lucky to have been taken care by Dr. Prapee Tangnavarad since our first child and she jokingly said "You're getting better and better each time" :D...She is definitely our best choice!
Baby Lucie, joined our little family on Wednesday at 17.46 pm, less than two hours since we arrived at the hospital, 51 cm long and weighed 3,570 kgs. She is now nine weeks old and has been the family's center of attention. May Allah SWT bless you with love and joys abundantly, protect you all the way, and may you become the lights of your life and grow up with kindness, strength and wisdom of a beautiful and loving person inside out, shaleha and qurrata'ayun, aamiin.
I saw my Obgyn on the 30th of December and the first time I saw her, I said that I was still pregnant to which she replied "No worries, as you are always overdue". Yes, we stick to the same Obgyn that has helped deliver our two other children. The chemistry is wayyy too strong :). That day, I had the Non Stress Test showing good result, so we could wait for another week. Believe it or not, since 24th of December, we have done whatever actions possible to naturally induce the labour, but nothing happened. Almost every night I had a dream that I suddenly woke up and was in labour, and the next morning I still found myself pregnant. My husband was more impatient than me, as he had no longer motivation to go to the office (it was nearly year-end long holiday and he's longing to have the baby as much as myself). Days went by, school started on the 4th of January for our eldest and that day my husband had an important meeting to attend...and the baby decided that it was a good day to show up!
Wednesday morning, 4 January 2017, I went to the park nearby with Sophie and my mother, this time we did one whole round, more or less 2 kilometers in distance. Later, I went out to fix my phone network and on the way home, I bought freshly-cut pineapples from the street vendor, hoping that the pineapples would trigger the labour. Nothing happened the whole morning, not until 2 pm when I started to feel the contractions, 15-20 minutes apart. I decided to take shower and get prepared. Sophie had her nap right after lunch and in an hour or so, David would be home, too. I called the hospital to check whether I should come now or later, then called my husband in the middle of his meeting. Around 3 pm, David's school bus arrived and 3.40 pm, off we went to the hospital. David was fine when we hugged and kissed him, but later my mother said, he looked worried..oh dear, how I wished I could hug him tight :(. In the taxi, my contractions were getting intense, 5-6 minutes apart but I was in full control, unlike my husband who looked worried that we could not make it to the hospital. Luckily, the traffic that very afternoon was fluid, so we arrived at the hospital just before 4 pm. We were admitted to my Obgyn's room and she confirmed that I was already 5-6 cm dilated. First she said, the baby might arrive within 2-3 hours, but later she corrected that the delivery might happen within 1-2 hours.
We proceeded to the birth room and the staff performed usual procedures for delivery. I requested enema in the first place, but my Obgyn said it was not necessary. Not long after that, my water was broken to speed up the labour. Somehow, hypnosis and always being overdue has helped me to go through the contractions with enthusiasm and positive thoughts. The mindset "to meet the baby as soon as possible" did really help. Nevertheless, during the transition stage (8-9 cm dilated), which is the most painful, I felt being pushed to my limits resulting the thought "why I want to do this (natural) birth all over again" despite the fact that there are painkillers available. All of a sudden, in between strong contractions, I had the urge to push. First push, second push, third push, and voila...there she was...crying out loud...Alhamdulillah, Praise be to Allah SWT for His blessings, for the smooth pregnancy, safe delivery, and healthy baby. I was also lucky to have been taken care by Dr. Prapee Tangnavarad since our first child and she jokingly said "You're getting better and better each time" :D...She is definitely our best choice!
Baby Lucie, joined our little family on Wednesday at 17.46 pm, less than two hours since we arrived at the hospital, 51 cm long and weighed 3,570 kgs. She is now nine weeks old and has been the family's center of attention. May Allah SWT bless you with love and joys abundantly, protect you all the way, and may you become the lights of your life and grow up with kindness, strength and wisdom of a beautiful and loving person inside out, shaleha and qurrata'ayun, aamiin.
Monday, 6 March 2017
Kue Pukis Geulis yang Gampang dan Enak
Satu lagi cemilan favorit yang gampang membuatnya, yaitu kue pukis. Jaman kecil dulu, setiap kali dibawa jalan-jalan ke kawasan Alun-Alun Bandung, saya paling senang jajan kue pukis yang diatasnya ditaburi coklat meses. Biasanya penjual kue pukis juga membuat kue bandros, kue berbahan tepung beras, santan dan kelapa parut, yang merupakan favorit ibu saya.
Semangat membuat pukis berawal dari seorang teman yang membawa kue pukis buatan asistennya ke pengajian. Dengan seijin Dede, sang teman, saya menuliskan resep kue pukis geulis (karena yang empunya resep alias asistennya Dede bernama Lilis) di blog ini. Resep di bawah ini bisa menghasilkan 50 potong pukis.
Bahan:
- 600 gr terigu (all-purpose)
- 300 gr gula pasir (saya kurangi gulanya hingga 225 gr)
- 1/2 sdm garam
- 5 butir telur
- 800 ml santan (saya ganti penggunaan santan dengan susu)
- 150 gr margarin cair
- 1 sdm fermipan
- 1/4 kaleng susu kental manis (saya kurangi jadi 3 sdm)
Cara membuat:
1. Campur adonan kering (terigu, gula pasir, garam, fermipan) kemudian sisihkan
2. Campur telur dan margarin cair
3. Tambahkan santan sedikit-sedikit berselang-seling dengan adonan kering
4. Biarkan 2 jam, kemudian masukkan adonan dalam cetakan pukis
5. Gunakan api sedang (3-4 untuk kompor listrik) dan tutup cetakan selama 1-2 menit
6. Buka tutup cetakan, taburi dengan coklat meses atau keju, sesuai selera, tunggu sampai adonan matang
Malam ini saya mencoba membuat setengah resep, dengan beberapa modifikasi, dan ternyata sukses.
Berikut resep modifikasi versi saya:
Bahan (untuk 25 potong pukis):
- 300 gr terigu (all-purpose)
- 100 gr gula organik
- 1/4 sdm garam
- 3 butir telur
- 400 ml susu (saya sengaja mengganti santan dengan susu)
- 75 gr mentega cair
- 1/2 sdm fermipan
- 1 sdm susu kental manis
Selamat mencoba!
Semangat membuat pukis berawal dari seorang teman yang membawa kue pukis buatan asistennya ke pengajian. Dengan seijin Dede, sang teman, saya menuliskan resep kue pukis geulis (karena yang empunya resep alias asistennya Dede bernama Lilis) di blog ini. Resep di bawah ini bisa menghasilkan 50 potong pukis.
Bahan:
- 600 gr terigu (all-purpose)
- 300 gr gula pasir (saya kurangi gulanya hingga 225 gr)
- 1/2 sdm garam
- 5 butir telur
- 800 ml santan (saya ganti penggunaan santan dengan susu)
- 150 gr margarin cair
- 1 sdm fermipan
- 1/4 kaleng susu kental manis (saya kurangi jadi 3 sdm)
Cara membuat:
1. Campur adonan kering (terigu, gula pasir, garam, fermipan) kemudian sisihkan
2. Campur telur dan margarin cair
3. Tambahkan santan sedikit-sedikit berselang-seling dengan adonan kering
4. Biarkan 2 jam, kemudian masukkan adonan dalam cetakan pukis
5. Gunakan api sedang (3-4 untuk kompor listrik) dan tutup cetakan selama 1-2 menit
6. Buka tutup cetakan, taburi dengan coklat meses atau keju, sesuai selera, tunggu sampai adonan matang
Malam ini saya mencoba membuat setengah resep, dengan beberapa modifikasi, dan ternyata sukses.
Berikut resep modifikasi versi saya:
Bahan (untuk 25 potong pukis):
- 300 gr terigu (all-purpose)
- 100 gr gula organik
- 1/4 sdm garam
- 3 butir telur
- 400 ml susu (saya sengaja mengganti santan dengan susu)
- 75 gr mentega cair
- 1/2 sdm fermipan
- 1 sdm susu kental manis
Pukis rasa coklat dan keju siap disantap |
Subscribe to:
Posts (Atom)