Bulan lalu kami berkesempatan mudik Lebaran ke Bandung yang dilanjutkan dengan liburan bersama teman-teman dekat di daerah Lembang kemudian ditutup dengan mendamparkan diri di ibukota. Pas lagi baca postingan mbak Yo yang ini, saya langsung teringat pengalaman unik, atau tepatnya bikin gondok yang dialami sahabat dan sepupu kami di Jakarta baru-baru ini, yang jelas sih tidak ada kaitannya dengan acara mudik :p
Kalau dari cerita mbak Yo, kalangan kaum menengah atas biasanya suka seenak jidatnya memperlakukan orang-orang yang melayani mereka karena merasa lebih tinggi "kastanya" dan berhak nyuruh ini-itu karena "konsumen adalah raja", pengalaman sepupu dan sahabat kami ini justru yang kontrasnya, yaitu kena scan sebagai calon konsumen yang dianggap "meragukan". Kesamaannya, sama-sama bikin kesel yang dengar, apalagi yang mengalami.
Jadi ceritanya, sepupu saya ini, sebut saja namanya M, pergi jalan-jalan bersama suami dan anak balitanya ke salah satu pusat pertokoan besar di Jakarta. Anak perempuannya yang belum genap dua tahun sedang hobi bertelanjang kaki kemana-mana, termasuk di mall yang lantainya sejuk-sejuk dingin. Iseng cuci mata, mereka bertiga masuk ke salah satu gerai tas sejuta umat yang serta merta diikuti dengan tatapan kurang ramah dari pramuniaganya. Sepasang suami istri berkulit sawo matang dengan anak balita yang bertelanjang kaki tampaknya bukan calon pembeli yang cukup meyakinkan di mata sang pramuniaga. M ini masih asyik lihat-lihat sementara suaminya yang menyadari tatapan si mbak langsung merasa kesal. Spontan dia bilang ke M untuk pilih tas yang dia mau dan memastikan si mbak tersebut mendengarnya. M yang tiba-tiba mendapat tawaran mendadak nan menggiurkan tentu saja bingung pada awalnya. Apalagi dia adalah kolektor sepatu sneakers dan mengoleksi tas bukan termasuk hobinya. Akhirnya setelah bungkus dan bayar di kasir, berceritalah si suami alasan kenapa dia berbuat seperti itu...hihi...M sih senang-senang saja karena gara-gara suaminya kesal dengan mbak pramuniaga tadi malah berbuntut dia dapat tas baru :D.
Cerita kedua berasal dari sahabat kami Mbak A, mantan teman kos yang sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri. Mbak A ini seorang desainer interior yang cantik, kreatif, mandiri, pekerja keras, pokoknya mengagumkan. Saya ingat waktu jaman ngekos dulu, mbak A ini seringkali pulang ke kosan dengan cerita-cerita lucu seputar prinsipnya yang gak gengsian. Meskipun terlahir dari keluarga berada, mbak A ini gak gengsi naik kendaraan umum dan bergaul dengan siapa saja dari kalangan manapun. Siapapun yang tahu kisah perjuangan mbak A membangun perusahaannya seperti sekarang pasti akan kagum. Apa yang dimilikinya sekarang adalah buah dari kerja keras dan keuletannya berusaha setelah jatuh bangun berkali-kali, pokoknya sepuluh jempol untuk mbak A. Di tengah-tengah kesibukan mengurus perusahaan miliknya, mbak A ini masih semangat untuk sekolah lagi. Suatu hari, setelah menyelesaikan sebuah tugas kuliah yang cukup besar, mbak A mengajak asisten yang membantunya, untuk merayakan selesainya tugas tersebut dengan makan enak. Pergilah mereka ke satu restoran eksklusif di bilangan Jakarta Pusat. Karena malam itu Jakarta macet tanpa ampun, mbak A mengajak asistennya pergi naik sepeda motor alih-alih naik mobil. Ketika masuk halaman restoran, petugas parkir sempat menanyakan apa kepentingan mereka kesana. Dijawab mau makan, lalu merekapun diarahkan untuk menuju ke bagian belakang restoran. Menganggap bahwa parkiran motor letaknya berbeda dengan parkiran mobil, mereka berdua tidak berpikir macam-macam. Selesai makan dan berniat pulang, mereka berjalan ke tempat motor diparkir. Petugas disana menawarkan diri untuk mengambilkan motornya sementara mereka menunggu di tempat parkir mobil. Tidak lama, sang petugas datang sambil menuntun motor tapi kemudian memarkir motor tersebut di tempat agak tersembunyi antara sebuah kursi dan mobil yang sedang diparkir. Mbak A dan asistennya bingung, kenapa motornya tidak dibawa langsung ke depan mereka yang sudah menunggu tidak jauh dari pintu masuk restoran tempat orang naik turun kendaraan? Toh sudah mau pulang ini. Mereka menghampiri motornya dan dengan nada heran, mbak A bertanya pada petugas, kurang lebih percakapannya seperti ini:
Mbak A: Lho pak, kenapa diparkir lagi disitu?
Petugas: Malu, Bu
Mbak A: ????!!!!!$$$$$%%% (speechless)
Kesal mendengar jawaban si petugas yang polos tapi juga enggan merusak mood setelah merayakan selesainya tugas besar dengan marah-marah, akhirnya mbak A dan asistennya hanya berpandangan sebelum meninggalkan restoran.
Sayangnya, pola pikir seperti ini umum sekali ditemui di masyarakat kita. Segala sesuatu masih dinilai dari penampilan luar dan kepemilikan materi sehingga kalau polesan luarnya kurang wah, langsung dipandang sebelah mata. Berat memang hidup di Jakarta, dimana orang masih dihargai atau dinilai dari kepemilikan harta benda dan penampilannya dan bukan kepribadian atau tingkah lakunya. Sampai-sampai mbak pramuniaga dan petugas parkir saja merasa berkepentingan untuk menyeleksi calon konsumen yang pantas masuk ke dalam tempat kerja mereka dan mendapatkan pelayanan optimal, padahal saya hampir yakin itu tidak termasuk dalam job desc mereka. Seolah-olah kepercayaan diri hanya bisa didapat dari berpenampilan wah, turun dari mobil, dan menenteng barang bermerek. Hm, tidak semua orang berpandangan seperti itu sih, setidaknya lingkungan pergaulan kami sewaktu tinggal di Jakarta dulu tidak berisi orang-orang seperti ini dan mudah-mudahan jangan sampai :)
Pernah punya pengalaman serupa?