Thursday, 30 January 2014

Etika Tamu Menginap

Gambar pinjam dari sini

Meskipun belum punya rumah sendiri, kami lumayan sering menerima tamu. Kebetulan saya dan suami juga tipe orang yang senang-senang saja kalau kedatangan tamu. Biasanya tamu kami berkisar antara keluarga, kolega yang sekaligus adalah teman baik, dan teman. Nah, dari kesemua tamu yang pernah menginap itu tidak semuanya meninggalkan kesan baik, malah beberapa diantaranya sudah saya masukkan daftar hitam karena tidak memenuhi kriteria tamu beretika versi saya. Daripada saya menerima tamu dengan muka menekuk, lebih baik menolak tamu dengan kelakuan-kelakukan seperti ini dari awal.

"Milikmu milik saya juga, milikku milikku saja"
Ada pasangan yang punya motto hidup seperti diatas, bahkan ketika mereka sedang bertamu. Jadi, kalau misalkan mereka beli makanan, alih-alih membagi makanan sama rata dan menawarkannya pada yang punya rumah, makanan itu langsung dimakan berdua dengan santainya di depan orang lain. Kalaupun istrinya menawari, mereka menawarkan makanan yang sedang mereka santap. Bukan makanannya yang saya permasalahkan, tapi sikap mereka yang mengganggu di mata saya, kelihatannya kok tidak sopan, makan di depan orang lain tanpa benar-benar punya niat untuk berbagi. Sebagai tuan rumah, umumnya kita senang menjamu tamu, tapi kalau tamunya tidak punya etika seperti ini, lama-lama malas juga ya. Tamu itu adalah raja, tapi bukan berarti bisa seenaknya bersikap, apalagi di rumah orang lain

Anti dapur dan tidak ringan tangan
Biasanya ada semacam peraturan tak tertulis antara kami dan tamu-tamu kami. Hal ini tidak pernah kami bahas secara terbuka sebelum mengundang mereka tapi berjalan spontan begitu saja seperti sudah saling mengerti. Kalau kami yang memasak, maka tamu kami langsung mengambil giliran mencuci piring atau sebaliknya. Suatu kali, kami kedatangan tamu seusia kami yang menginap beberapa malam yang begitu selesai makan langsung kembali sibuk dengan laptopnya tanpa sedikitpun membantu membersihkan meja, membawa piring kotor ke dapur, atau mencuci piring, uuuggghhhh....memangnya disini restoran?? Kalau tamunya orang yang lebih tua, pasti saya tidak akan mengeluh seperti ini. Tapi kalau tamunya keluarga/teman dan seusia lagi, coba sedikit bantu tuan rumah apa salahnya sih?

Sok mengatur
Saya belum pernah mengalami punya tamu yang sok mengatur, tapi teman baik saya pernah mengalaminya. Sebut saja nama teman baik saya itu A dan temannya adalah X. Di rumah A yang hidup sendirian, si X ini sempat "tinggal" beberapa lama tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Awalnya A merasa senang karena ada teman dan merasa si X seperti cucunya sendiri, namun lama-kelamaan si X mulai mengatur banyak hal, termasuk menu makanan (X ini vegetarian) dan A merasa terganggu, sampai akhirnya X keluar dari rumah A karena ia mendapatkan pekerjaan di luar negeri. 

Jorok dan malas
Masih orang yang sama, suatu saat X menginap di tempat kami setelah malam sebelumnya ia mengaku ketakutan waktu menginap di tempat teman yang tidak begitu dikenalnya. Sayapun menerima dengan senang hati. Ternyata selama beberapa hari di rumah, pekerjaannya hanya duduk saja di depan laptop sepanjang hari, tidak mandi dan tidak berganti baju. Jadi baju yang ia pakai ketika datang sama persis dengan yang ia pakai ketika pergi. Handuk dan semua peralatan mandi di kamar mandi tamu kering tak tersentuh, padahal waktu itu Bangkok sedang panas-panasnya, hampir 40 derajat pada siang hari...hiiiyy...kebayang lengketnya berhari-hari tidak mandi :(

Satu hari, saya harus pergi dan saya tidak menyiapkan makan siang, toh ia bisa cari makan siang di luar atau memanaskan sisa sup semalam. Ketika saya pulang, ia masih dalam posisi ketika saya tinggalkan pagi tadi. Pas saya cek lemari es,  terlihatlah mangkuk sup bekas dimakan. Bukan main kesal saya dibuatnya. Kenapa? karena ia makan sup langsung dari mangkuk besarnya. Apa susahnya sih ambil mangkuk baru, dan ambil beberapa sendok sup yang ia mau makan? Kalau kurang kan tinggal tambah lagi? Kalau sudah "bekas" begini, siapa yang mau makan? Mengingat betapa jorok dan pemalasnya tamu saya ini, ketika dia menanyakan apakah dia bisa menginap lagi di tempat saya saat transit berikutnya, saya abaikan pesan dan teleponnya.

Lupa mematikan AC
Tamu yang cuek seperti ini membawa akibat buruk pada tagihan rekening listrik. Pernah terjadi, seorang tamu pergi keluar dan meninggalkan AC kamar dalam kondisi menyala, terus jendela kamar terbuka pula. Mau marah gak sih? Kok ya jadi orang tidak punya common sense, serba seenaknya? Memangnya listrik dibayar pakai daun pisang? Sejak itu, pada siapapun yang menginap, saya selalu minta mereka memastikan bahwa AC sudah dimatikan dan jendela sudah ditutup jika mereka akan pergi. Atau saya sendiri yang mengecek langsung ke kamar tamu. Duh, macam-macam saja ya kelakuan orang...

Ada yang punya pengalaman menerima tamu dengan kelakuan ajaib menginap di rumah masing-masing?

Saturday, 25 January 2014

Tamu Istimewa

Minggu lalu, seorang sahabat baik datang menemani saya dan David selama empat hari. Aria, sahabat saya ini sebenarnya adalah teman sejak SMU, tapi kami baru dekat seperti lem dan perangko sejak masuk jurusan yang sama saat kuliah, dilanjutkan dengan proyek bersama, dan terus berlanjut sampai sekarang, 16 tahun kemudian! Tidak lupa, putrinya yang berusia enam tahun ikut serta. Jadilah selama empat hari itu, ibu-ibu dan anak-anak ini bersuka cita karena ibu-ibunya bisa bergosip tentang banyak topik sementara anak-anaknya bisa bermain bersama. Lucu deh melihat anak usia 6 tahun bermain dengan anak usia 1,5 tahun, ternyata mereka juga masih bisa bermain bersama, walaupun ada saat dimana David selalu membuntuti Raya sementara Raya-nya sedang ingin "sendiri". Kalau sudah begitu David akan memanggil-manggil "kakak...kakaaak..kakaakk"...dan si kakakpun muncul dari tempat persembunyiannya...hihihi...menggemaskan.

Si adik dan kakak di Wat Pho

Berdua naik shiro

long-awaited reunion :)

Senangnya ditengok sahabat yang sudah seperti saudara sendiri. Sering-sering main kesini ya neng, kapanpun pintu selalu terbuka...ditunggu kunjungan selanjutnya :)

Thursday, 23 January 2014

Perjalanan Panjang Menuju Samosir

Dari Bukit Lawang, kami menuju Berastagi dan menginap satu malam disana sebelum berangkat ke Samosir. Karena sampai di Berastagi sudah malam dan besoknya harus berangkat pagi-pagi, tempat yang dikunjungi di Berastagi hanyalah pasar buah. Saya suka pasar buah ini, selain produk yang dijual benar-benar menarik mata, pasar ini juga bersih sekali. Pedagang buah-buahan berdampingan dengan pedagang bunga membuat pasar ini semakin segar. Kami tidak lupa memborong jeruk Medan yang enak sekali untuk di perjalanan.

Kesemek, jeruk, markisa, stroberi, manggis, salak..tinggal dipilih :)

Aneka tanaman dan bebungaan yang menyegarkan mata

Untuk mencapai Samosir, kami minta pak supir mengambil rute memutar agar bisa melihat air terjun Sipisopiso baru kemudian menyusuri jalur Merek - Tongging - Tele - Pangururan. Saya sendiri baru tahu kalau Samosir sendiri ternyata bukan murni pulau yang terpisah dari daratan. Umumnya wisatawan yang berkunjung ke Samosir mengambil rute Medan - Prapat disambung dengan menumpang ferry ke Samosir.

Sepanjang jalan dari Berastagi menuju Merek, di sisi kiri dan kanan jalan terdapat perkebunan jeruk. Bahkan di beberapa tempat, saya dapat melihat jelas pohon-pohon itu digelayuti buah-buah jeruk yang ranum dan sudah terbayang segar dan manisnya...nyaammm. Kios-kios penjual jeruk berdiri tepat di depan perkebunan dan banyak diantaranya memasang papan bertuliskan "bisa petik sendiri". Kalau saja kami tidak dikejar waktu, rasanya ingin berhenti sebentar dan merasakan mencicipi buah jeruk Medan hasil petikan tangan sendiri di daerah asalnya. Di Merek, laju kendaraan sempat tersendat karena ada pasar, tapi setelah itu jalan normal kembali sampai Sipisopiso.





Pemandangan di Sipisopiso teramat cantik dengan satu sisi Danau Toba dan sisi lain air terjun setinggi 120 meter. Puas menikmati pemandangan air terjun, kami melanjutkan dengan makan siang di salah satu warung disana dengan menu khas masakan Melayu dan jus alpukat yang enaakk sekali plus pemandangan di belakang warung yang sangat cantik. Setelah perut kenyang perjalanan dilanjutkan kembali.

Bukit "Teletubbies" dari belakang warung tempat kami makan siang

Bagi yang tertarik ke Samosir dengan mencoba rute via Tele, perlu diingat bahwa di sepanjang jalan tidak berujung dengan kondisi jelek yang menghubungkan Merek - Tele tidak ada apapun selain rumah-rumah penduduk, itupun dengan jarak berjauhan. Sempat terlihat rumah dengan kios di depannya, tapi melihat kerumunan pria yang sedang berkumpul disana, kami mengurungkan niat untuk mampir. Kami berniat berhenti untuk meluruskan pinggang tapi tertunda sampai akhirnya menemukan warung kopi sekaligus toilet tidak jauh dari Tele.

Namun, kelelahan kami terbayar begitu memasuki Tele. Menurut Noni, ayahnya yang sering mengambil rute ini bilang bahwa pemandangan Danau Toba dari Tele tiada duanya dan itu benar adanya. Kata yang tepat menggambarkan pemandangan tersebut adalah SPEKTAKULER! Sepanjang perjalanan, kami puas memandangi keelokan bentang alam Danau Toba yang sangat memesona. Apalagi cuaca masih cerah ketika kami lewat sehingga mata ini semakin dimanjakan dengan kilauan air danau dan semburat hijau coklat perbukitan yang membatasinya berlatar belakang langit biru. Semua lelah dan pegal karena duduk berjam-jam di mobil seakan terbayar dengan melihat semua keindahan itu. Tidak salah kami melewati Tele, walaupun mungkin lain kali akan berpikir dua kali sebelum mengulang perjalanan darat ini. Lucunya, kali ini saya tidak blingsatan mengabadikan keelokan pemandangan Toba. Bagaimana mau blingsatan? ada bocah yang tertidur nyenyak di pangkuan saya, dan akhirnya hanya mata dan ingatan yang merekam semuanya dari atas mobil yang melaju. Jadinya, pas pulang, saya cari-cari foto di Internet sampai menemukan foto pemandangan danau Toba dari arah Tele yang sangat cantik di blog mbak Samantha yang seorang penyuka travelling, persis sama dengan seperti yang saya lihat selama perjalanan. Namun, ketika perjalanan kembali ke Medan, dan lewat Tele lagi, saya berhasil mengambil foto, setidaknya cukup untuk mengingatkan betapa indahnya pemandangan yang kami lihat.

Jalan berkelok mengikuti kontur bukit

Pagi di dekat menara pandang Tele

Bukit-bukit yang diselimuti kabut tipis

Memasuki Pangururan, hujan deras turun seperti ditumpahkan dari langit. Kami mengisi bensin di satu-satunya pombensin di Pangururan sebelum menuju Tuk Tuk, tempat kami menginap selama di Samosir. Pantas saja perjalanan terasa masih jauh meskipun sudah di wilayah Samosir, karena dari Pangururan kami masih memutari hampir sebagian utara Samosir, yaitu Simanindo, Ambarita, sebelum akhirnya sampai di Tuk Tuk. Belum setengah perjalanan, hujan berhenti sehingga kami bisa menikmati sedikit pemandangan sepanjang jalan.

Di Tuk Tuk, kami menginap di Tabo Cottages yang memproduksi roti rumahan yang enak. Setelah mencoba restorannya, saya baru tahu kalau di hotel ini juga tidak menyediakan pork dalam daftar menu mereka. Sebenarnya, ada banyak alternatif hotel yang bisa dipilih di Tuk Tuk, tergantung selera masing-masing. Buat saya yang memang tidak berani berniat berenang di danau cukup puas dengan hotel ini.

Salah satu sisi Danau Toba

Pertunjukan tarian tradisional di Museum Huta Bolon Simanindo

Tari Sigale-Gale


Makam raja-raja Samosir

Mendung di Danau Toba

Kursi batu Raja Siallagan di Ambarita

Kondisi jalan di Tuk Tuk

Kompak lihat kamera :)


Dua malam di Samosir jelas jauh dari cukup. Selama disana, kami berkesempatan mengunjungi museum Batak di Simanindo dan peninggalan megalitikum Siallagan (stone chairs). Keinginan mengunjungi makam Raja Sidabutar di Tomok terpaksa diurungkan karena jalan menuju Tomok padat merayap dengan kendaraan yang mengantri diangkut ferry ke Parapat. O ya, tidak lupa kami juga ke Romlan untuk mencoba apple donut yang sangat direkomendasikan Noni. Bayangan tentang apple donut hancur seketika saat mbaknya bilang tidak ada, hiks...jauh jauh ke sini kan mau mencicipi apple donut :(. Karena sudah terlanjur ada disana, sedikit kecewa gara-gara si apple donut, cuaca mendung (selama di Samosir, cuaca memang kurang bersahabat, kalau tidak hujan rintik ya berawan), yang paling cocok adalah makan...mie instan pakai telur dan cabe rawit plus teh manis hangat! Kekecewaan semakin terobati ketika kami memutuskan memesan banana donut. Saya belum tahu bagaimana enaknya apple donut mereka, tapi banana donut mereka sukses bikin kami bertiga ketagihan...begitu legit dan pas manisnya. Kalau diingat sekarang, menyesal cuma pesan satu porsi, harusnya minta bungkus untuk dimakan di perjalanan pulang.

Hari ketiga di Samosir, kami berangkat jam lima pagi dari hotel demi mendapatkan antrian ferry tapi sesampainya disana, sudah ada kurang lebih enampuluh mobil (hasil hitungan dan tanya-tanya pak supir) berderet di depan kami. Hari Sabtu itu adalah hari terakhir libur tahun baru, jadi wajar kalau arus balik ke Medan sangat padat. Waduh, bisa-bisa tidak dapat ferry hari ini, pikir kami. Akhirnya, pak supir putar balik dan ambil rute via Tele lagi, kali ini tidak lewat Merek, tapi lewat jalan lain yang menuju Sidikalang, namun tembus di jalan setelah Merek. Alhamdulillah, setelah sembilan jam perjalanan, diselingi makan siang yang super nikmat di restoran Garuda, kami bisa kembali ke pelukan kota Medan yang, lagi-lagi, sedang hujan.

Akhirnya, kesampaian juga keinginan saya untuk bisa melihat danau vulkanik terbesar di dunia yang bahkan bisa terlihat dari bulan ini. Sebelum bekerja dengan para peneliti kegunungapian, saya hanya tahu Danau Toba sebatas nama dan di propinsi mana ia berada. Sekarang, dari rangkaian perbukitan tinggi menjulang di Samosir, saya dapat melihat sendiri bagaimana kekuatan alam berupa letusan supervulkanik Toba terjadi, yang menurut data dari sini terjadi sekitar 74,000 tahun lalu. Alam Indonesia memang tiada duanya!

Monday, 20 January 2014

Medan Kami Datang

Perjalanan ke Medan adalah yang pertama kalinya untuk saya dan David. Beberapa tahun lalu, saya cuma pernah transit di bandara Polonia yang seingat saya waktu itu padat sekali dengan manusia. Kami sempat melewatkan satu malam di Medan sebelum pergi ke Bukit Lawang dan satu malam lagi sebelum kembali ke Bangkok.

Lagi-lagi, setelah tamat membaca info lengkap tentang Medan, kami menggunakan layanan kereta bandara dari Kuala Namu ke kota. Begitu sampai di bandara, cukup terkesan juga dengan bandara barunya sampai...saya mencium asap rokok di pelataran luar pintu kedatangan, begitu khas Indonesia :(. Sepertinya para perokok ini lebih baik kelaparan daripada tidak bisa merokok. Sebegitu bencinyakah saya pada perokok? Ya, khususnya pada perokok yang tidak punya etika seperti yang pernah saya ceritakan disini. Kembali ke soal kereta, jadi, untuk mencapai stasiun kereta, kita harus menyeberangi gedung bandara menuju gedung baru yang BEBAS ROKOK...ah, langsung saya jatuh cinta, mantap ini! Kami memesan dua tiket seharga masing-masing IDR 75.000 (kalau beli satu tiket dikenai harga IDR 80.000). Mesin tempat memasukkan tiketpun mirip seperti stasiun-stasiun di negara lain, pokoknya canggih. Begitu masuk ke keretanya, kursi yang bertuliskan nomor kami ternyata ditempati orang lain, tapi setelah menanyakan pada petugas, ia mempersilakan kami untuk menempati gerbong paling belakang yang kosong...horee...serasa satu gerbong menjadi milik pribadi :).

Nyaman kan keretanya?
Menikmati pemandangan sepanjang perjalanan

Suasana di ruang tunggu stasiun kereta bandara
Membutuhkan waktu 45 menit untuk tiba di stasiun kota, sesampainya disana, mau ke toilet tidak ada petunjuk yang jelas, atau mungkin kami yang tidak memperhatikan. Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi ke mall di seberang stasiun untuk pakai toiletnya.
Kalau dari peta, jarak dari stasiun ke hotel bisa ditempuh dengan jalan kaki 15-20 menit, masih OK lah, tapi sepertinya peta yang dipegang suami salah besar. Karena hujan, kami mencegat bentor, kendaraan umum khas Medan. Namanya sudah di Medan, ya harus mencoba semua yang khas disini bukan? Ternyata, dari stasiun ke hotel itu jauuuuhh sekali...untung pakai bentor yang bagai kantung Doraemon. Selain mengangkut kami bertiga, ada satu koper besar, satu koper kecil plus stroller ikut serta :). Pas bentornya sampai di depan pintu hotel, petugas hotelnya antara percaya tidak percaya dan geli melihat kami...serius mau nginap disini? hihihihi....

Setelah dapat kamar, kami cuma keluar makan siang di salah satu restoran di Mal Grand Palladium yang satu gedung dengan hotelnya, padahal niatnya ingin langsung pesiar kuliner. Begitu sampai Medan, kami disambut hujan yang bikin malas keluar jadi akhirnya baru jalan menjelang sore, tujuan utama adalah makan malam di resto Nelayan di Sun Plaza. Ternyataa...antriannya mengerikan! Pindah ke resto lain, bukan main sama padatnya dan David mulai rewel. Akhirnya, kami makan di satu restoran yang letaknya agak terpisah dan tidak terlalu ramai. Gagal deh rencana kuliner malam ini sementara besok sudah meninggalkan Medan :(

Keesokan harinya, sebelum menuju Bukit Lawang, kami sempat mampir di Istana Maimoon. Istana Maimoon didirikan pada 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma'moen al Rasyid (Sultan Deli ke-IX) yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Deli. Tiket masuk istana ini adalah IDR 5000.

Istana Maimoon
Masjid Raya Medan
Tidak lama berada disana, kami berhenti sebentar di depan Masjid Raya kemudian bergegas menuju Bukit Lawang, apalagi lalu lintas kota Medan padat sekali hari itu dan banyak jalan satu arah. Rasanya belum puas berada di Medan, tapi mau bagaimana lagi? Sehari sebelum liburan berakhir, kami tiba di Medan dari Samosir sekitar pukul 14.30, lagi-lagi disambut hujan rintik-rintik. Kali ini kami menginap disini yang ternyata adalah pilihan tepat. Kenapa? Selain hotelnya bersih, juga karena di seberang hotel, terdapat restoran legendaris Tip Top dan Tjong A Fie Mansion dapat dicapai dengan hanya 2 menit jalan kaki. Setelah pulang dari mencari buku, kunjungan berikutnya adalah Tjong A Fie Mansion. Lebih lengkap mengenai siapa Tjong A Fie, bisa dibaca disini ya. Rumah Tjong A Fie mengingatkan saya pada rumah-rumah peranakan serupa di Penang dan Malaka. Rumah ini dibangun pada 1895 dan selesai pada 1900. Aslinya memiliki 41 ruangan, namun hanya 12 ruangan yang dibuka untuk umum.

Ruang kerja Tjong A Fie

Piano yang masih berfungsi dengan baik (tried and tested by my private piano teacher :D)

Ruang makan

Halaman bagian dalam rumah

Sosok Tjong a Fie adalah sosok pekerja keras, baik hati, dan dermawan. Tjong A Fie adalah figur orang kaya yang patut dicontoh dan usahanya mendatangkan sepuluh ribu orang dari Cina untuk bekerja di perusahaannya merupakan cikal bakal berkembangnya peranakan Cina Melayu di Medan. Oya, tiket masuk ke Tjong A Fie Mansion adalah IDR 35.000 sudah termasuk guided tour dengan pemandu yang masih muda, pandai berbahasa Inggris, dan bersemangat pula. Ketika kami pulang menjelang berakhirnya masa kunjungan pukul 5 sore, pemandu kami memperkenalkan pada seorang wanita cantik bergaya chic yang tersenyum ramah, beliau adalah ibu Mimi Tjong, putri Tjong A Fie yang tinggal disana. Ternyata benar ya, kalau orang yang sudah kaya tujuh turunan terlihat dari sikapnya, ramah dan rendah hati, berbeda dengan tipe orang kaya baru yang banyak ditemui sekarang :D. Kami mengobrol beberapa saat sebelum akhirnya berpamitan..ahh, jadi serasa menjadi tamu di rumah Tjong A Fie deh, dilepas di pintu gerbang oleh putrinya pula :). Rumah Tjong A Fie ini wajib didatangi jika berkunjung ke Medan, karena sangat menarik dari sisi historis dan bangunan serta interior rumahnya pun cantik.

"There on the earth where I stand, 
I hold the sky. Success and glory consist not in what I have gotten but in what I have given."

- Mr.& Mrs. Tjong A Fie

Ditutup dengan makan malam di Tip Top, cerita tentang Medan berhenti disini karena besok pagi sudah harus pergi ke bandara. Kesimpulan, dari semua tempat makan yang direkomendasikan, tidak ada satupun yang berhasil kami coba kali ini. Mungkin lain waktu kami harus datang khusus untuk berwisata kuliner saja dan tentunya tanpa membawa stroller karena ternyata benar-benar perjuangan mendorong stroller di jalanan kota Medan :(.

Saturday, 18 January 2014

When to Restart?

Bagi yang mengikuti berita tentang situasi politik di Bangkok pasti familiar dengan istilah "Bangkok Shutdown". Untuk "meramaikan" aksi political rallies menentang pemerintahan berkuasa saat ini, banyak dijual cindera mata mulai dari kacamata, bando, peluit, t-shirt, dan masih banyak lagi. Salah satu tulisan yang menarik di t-shirt yang saya ingat adalah "Shutdown Bangkok Restart Thailand".

Penjual cindera mata di bawah terminal BTS Asok
 Setelah aksi digelar pada Senin, 13 Januari lalu, sampai hari ini belum ada tanda-tanda situasi kembali normal. Memang sih, meskipun masyarakat umum dihimbau dan diperingatkan agar tidak mendekati titik-titik berkumpulnya massa, pada kenyataaannya situasi Bangkok tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Turis masih lalu-lalang, malahan mereka menonton aksi demonstran ini layaknya pertunjukan atau karnaval. Yang berbeda adalah kepadatan lalu lintas di area Sukhumvit karena persimpangan Asok ditutup untuk dijadikan salah satu titik berkumpulnya demonstran sehingga seringkali dari rumah terdengar gemuruh suara massa.


Tenda-tenda para demonstran dari arah Terminal 21

Hari Senin lalu, saya dan sahabat yang kebetulan sedang berkunjung tidak kemana-mana. Kasihan juga sahabat saya dan putrinya yang datang sehari sebelum aksi dilangsungkan tapi mau bagaimana lagi? Kami hanya menonton konvoi demonstran di kejauhan dari taman dekat rumah. Untungnya, karena kami menggunakan skytrain kemana-mana, jadi tidak terlalu terpengaruh dengan penutupan jalan.

 
Semakin kesini, aksi demo yang awalnya terlihat damai, justru sekilas mirip konser-konser musik karena ada juga selingan hiburan nyanyian dan tarian, mulai diwarnai ledakan bom dan penembakan misterius di beberapa tempat. Anehnya, di tengah-tengah aksi demo ini, masih saja ada pihak-pihak yang bukan orang Thai yang dengan sengaja ikut rally atau berada di tengah-tengah massa untuk mengabadikan diri dengan latar belakang suasana demonstrasi. Padahal di samping alasan keamanan, orang asing jelas-jelas terlarang untuk ikut kegiatan politik dalam bentuk apapun, tapi yah beda orang beda prinsip dan berbeda pula cara menginterpretasikan arti "ikut serta" yang dimaksud.

Kumpulan massa di depan persimpangan Asok dari arah Terminal 21
Setelah berlangsung selama lima hari, aksi rally yang tidak tahu kapan akan berakhir terasa mulai mengganggu secara teknis dan secara konteks, apalagi setelah baca link ini dan ini. Jadi ikut emosi bacanya, apalagi pernyataan tersebut keluar dari so-called academic..ckckck...Secara teknis, terkait dengan rencana melewatkan akhir pekan yang harus dijadwal kembali karena situasi yang tidak menentu :(

Jadi, bagi siapapun yang berencana berkunjung ke Bangkok, sebaiknya ditunda dulu kalau masih berupa rencana. Tapi kalau sudah terlanjur membeli tiket pesawat dan memesan hotel, disarankan menggunakan BTS/MRT kalau mau jalan-jalan, menghindari titik-titik demonstrasi, diantaranya MBK (salah satu tujuan populer bagi turis Indonesia di Bangkok), dan tidak keluyuran diwaktu malam dan dini hari. Soalnya, ada temannya teman yang datang ke Bangkok dengan tur, dan setelah melihat situasi disini, rombongan turnya malah pulang lagi ke Indonesia.  Lebih baik lagi kalau menunda sampai situasi politik mendingin setelah pemilihan umum (kalau jadi terlaksana) di awal Februari, mudah-mudahan saat itu negeri gajah putih ini sudah sampai tahap restart.

Sepotong Kisah Sedih dari Bukit Lawang

Perjalanan ke Bukit Lawang di awal tahun ini bisa dibilang membuat perasaan saya campur aduk. Mulanya, saya membayangkan sebuah kawasan taman nasional yang untuk mencapainya membutuhkan perjuangan, didominasi bentang alam dan bukan kawasan terbangun, serta tidak padat oleh pengunjung seperti halnya stasiun kereta api pada saat musim mudik tiba. Maklum baru sedikit taman nasional di Indonesia yang pernah saya kunjungi dan dari yang sedikit itu, rata-rata memenuhi bayangan saya, kecuali satu hal, bahwa saya berkunjung kesana bukan pada saat pergantian tahun.

Tempat kami menginap di Bukit Lawang terletak persis di seberang Sungai Bohorok, yang untuk mencapainya kami harus meniti jembatan gantung. Jadi kendaraan yang kami sewa diparkir dan diinapkan di restoran Rindu Alam dengan biaya IDR 30.000/malam sementara kami, backpacker gadungan pada perjalanan ini (disebut gadungan karena sudah tahu mau menginap disini, kami masih juga menggeret satu koper besar dan satu koper kecil melintasi jembatan gantung, bukannya bawa ransel 50L yang pasti bakal terlihat lebih keren ketika menyeberangi jembatan :D), menginap di Ecolodge. Sewaktu kami datang, di pinggir sungai sebelum menyeberang sudah terlihat banyak keluarga menggelar tikar untuk berpiknik dan mandi-mandi di sungai. Pemandangan yang wajar sekali, melewatkan waktu bersama keluarga ke tempat wisata yang tidak terlalu jauh secara jarak dan terjangkau harganya. Lalu dimana kisah sedihnya?

Ketika kami trekking, saya bercerita pada pak Tomin, bahwa saya tidak menyangka malam tahun baru di Bukit Lawang sangatlah hingar bingar. Suara petasan dan kembang api yang menandai pergantian tahun membuat pekak telinga, sampai saya terpikir bagaimana dengan hewan-hewan di hutan ya, apakah mereka terganggu atau tidak? Pak Tomin menjelaskan  kalau binatang-binatang harusnya tidak terganggu karena mereka tinggal jauh di dalam hutan. Tapi tetap saja, saya sangat menyayangkan kenapa kami harus dengar suara petasan di kawasan taman nasional alih-alih suara binatang malam. Setelah berjalan 2 jam lebih, sampailah kami di suatu tempat yang memungkinkan untuk melihat betapa bangunan-bangunan kokoh penginapan menjamur di kawasan Bukit Lawang.

Bangunan penginapan di Bukit Lawang bagai cendawan di musim hujan :(
Keprihatinan saya semakin bertambah setelah trekking selesai dan kami melewati bangunan-bangunan yang kami lihat sebelumnya dari arah hutan. Kalau sekarang bangunan beton sudah menjamur seperti ini, bagaimana kabarnya Bukit Lawang sepuluh atau duapuluh tahun lagi? Mengapa ijin membangun penginapan atau restoran begitu mudah diberikan hanya untuk mengakomodasi pengunjung? Mengapa tidak memberdayakan rumah-rumah penduduk sehingga menjadi cukup layak untuk dijadikan homestay pengunjung demi mendukung ecotourism? Menjelang siang itu, pengunjung mulai membanjiri Bukit Lawang sampai kami berjalan seperti di gang senggol, padat tanpa ruang dengan bonus asap rokok pula :(. Mulai dari remaja tanggung, keluarga, anak sekolah, semuanya seakan tumpah ruah disana. Jalan utama yang tidak begitu lebar diapit oleh kios-kios yang menjual pakaian dan cindera mata, dipadati pengunjung dari dua arah dan di sepanjang perjalanan saya sempat lihat ada beberapa kerumunan yang membuat jalan semakin sempit, ternyata setelah diamati, kerumunan itu adalah kumpulan orang yang menonton dan bermain judi :(.

Yang ini padatnya masih normal..setelahnya abnormal!!

Pernah ke kawasan wisata gunung Tangkuban Perahu? kurang lebih suasananya sama, dengan penjual cindera mata disisi kiri dan kanan, hanya saja di Bukit Lawang, jauh lebih parah, terutama saat musim libur akhir tahun.

Semoga cerita keprihatinan saya di Bukit Lawang hanya terjadi pada musim libur tahun baru saja atau paling parah, setiap musim libur sekolah, namun di luar musim tersebut, Bukit Lawang kembali tenang tenteram seperti seharusnya kawasan taman nasional.

Melihat pemandangan di sepanjang jalan dari Medan ke Bukit Lawang, ditambah melihat kondisi sebagian kecil Bukit Lawang secara langsung, saya jadi teringat sebuah peribahasa bagus untuk diingat kita semua yang peduli dengan lingkungan dan keberlanjutan hidup anak-cucu di masa depan.

“When all the trees have been cut down,
when all the animals have been hunted,
when all the waters are polluted,
when all the air is unsafe to breathe,
only then will you discover you cannot eat money.”


― Cree Prophecy

Urban Slow Living

Stumbled across this one-page ad, I have highlighted it as one of my new year's resolution. Not necessarily slow down the pace I am used to, but more as a self-reminder to truly appreciate and enjoy every little thing I have and do each day.

Taken from BK Magazine


Happy weekend!

Friday, 17 January 2014

Bertualang ke Bukit Lawang

Pertama kali mendengar sebuah tempat bernama Bukit Lawang beberapa tahun lalu gara-gara salah satu unit di kantor saya mempunyai proyek disana. Berbanding terbalik dengan tipikal unit saya yang kerjanya kebanyakan mengurusi meeting, workshop, conference ini itu yang jauh dari menarik, hampir semua lokasi proyek yang dikerjakan unit tetangga ini terdengar eksotis di telinga saya, termasuk Bukit Lawang. Saya sempat bercita-cita untuk pergi kesana tapi entah kapan, mengingat kesempatannya, dan juga biayanya sampai akhirnya saya pindah dari Indonesia.

Ketertarikan pada Bukit Lawang kembali muncul baru-baru ini karena baca-baca tulisan sang nyonya penggemar sepatu di blognya. Walaupun begitu, belum ada bayangan sedikitpun untuk pergi kesana dalam waktu dekat. Siapa sangka, malam tahun baru malah kami lewatkan di Bukit Lawang! Semua berawal gara-gara menjelang akhir tahun, kami belum punya rencana liburan sama sekali. Mau liburan ke Thailand utara seperti Chiang Mai atau Chiang Rai, semua hotel dan tiket pesawat habis; mau backpacking ke Vietnam (HCMC, Dalat dan Hoi An) gagal karena tepat sebelum beli tiket online, kami baru sadar kalau suami perlu visa masuk ke Vietnam; mau ke Siam Reap, harga hotelnya mengerikan...eehh tiba-tiba si suami bilang kalau dia punya bagian miles yang akan hangus dalam lima bulan ke depan dan setelah dihitung-hitung jumlahnya cukup untuk dua orang SIN-KNO p.p. Jadilah, tiga hari sebelum hari H, kami baru beli tiket pesawat dan cari-cari akomodasi di tempat tujuan plus obrak-abrik blog Noni yang penuh dengan info yang kami butuhkan. Beruntung masih ada akomodasi yang kosong di tempat-tempat tujuan kami. Pokoknya, perjalanan kali ini benar-benar tanpa perencanaan matang, hehehe...mentang-mentang mau liburan ke negara sendiri ceritanya.

Di Medan sempat menginap satu malam dan keesokan paginya, kami menuju Bukit Lawang yang ditempuh dalam waktu 2 jam. Kami menginap di Ecolodge, tapi karena persiapan yang serba mendadak, jadi gagal deh pesan via Noni demi mendapat diskon :(. Suasana Ecolodge di hari terakhir tahun 2013 cukup ramai dengan wisatawan domestik, selain wisatawan mancanegara yang memang berniat melakukan jungle trekking. Sore itu kami melewatkan waktu di Ecolodge sambil menikmati pemandangan sungai Bohorok yang mulai dipenuhi pengunjung sekaligus mencari info untuk persiapan trekking besok. Suami dan mertua pernah ke Bukit Lawang tahun 2007, jadi untuk guide, kami menggunakan jasa guide yang sama yaitu pak Tomin yang juga adalah pegawai Taman Nasional sekaligus kenalan dari teman-teman baik kami.

Keramaian di tepi sungai Bohorok pada penghujung tahun 2013

Pondok informasi di Ecolodge

Suasana Ecolodge

Restoran Ecolodge yang ikut didandani untuk acara makan malam

Hornbill room yang kami tempati

Setelah makan malam, kami memutuskan beristirahat karena besok pukul 8 pagi sudah harus siap untuk trekking. Menjelang tengah malam, kegaduhan suara petasan, kembang api yang berasal dari seberang sungai Bohorok semakin keras terdengar dan mencapai puncaknya ketika tahun berganti. Yang ada di pikiran saya waktu itu, kasihan hewan-hewan di hutan, kita saja manusia sangat terganggu apalagi hewan-hewan yang terbiasa dengan suasana hutan yang senyap.

Pagi hari tanggal 1 Januari, kami memulai trek dengan melintasi rute di belakang Ecolodge. Karena muka air sungai Bohorok yang meninggi akibat hujan terus menerus beberapa hari terakhir, penyeberangan melalui sungai untuk langsung menuju feeding site tidak dapat dilakukan dan menurut petugas penginapan, kunjungan ke feeding site selama dua hari terakhir ditiadakan. Karena kami, khususnya saya sangat ingin bertemu orang utan, pak Tomin mengajak kami untuk mengambil rute lain.

Sebelum perjalanan dimulai

Saya sempat terheran-heran ketika melihat sebuah bangunan rumah yang kokoh dan cukup mewah. Menurut pak Tomin, rumah tersebut dimiliki oleh warganegara Perancis yang menikah dengan pria setempat. Mereka juga yang membangun jalan setapak yang kami lalui. Jalan setapak itu membawa kami memasuki areal perkebunan karet dan pak Tomin sempat berhenti sebentar untuk menjelaskan proses penyadapan getah karet. Trekking di alam bebas selalu menyenangkan untuk saya, meskipun kali ini trekking-nya sambil membawa gembolan seberat 12 kg di punggung saya. Sepanjang perjalanan, kami ditemani suara burung, suara thomas leaf's monkey bersahut-sahutan, gemerisik daun yang tertiup angin, bau khas hutan hujan tropis yang segar...aahhh....surga!

Jalan setapak yang membelah perkebunan karet



Pohon karet yang disadap

Belum setengah jam berjalan, ada yang ketiduran dibelai udara hutan yang segar :D

Asyik menikmati makanan ringan

Hampir 1,5 jam kami berjalan kaki sampai kami bertemu dengan rombongan lain yang tampaknya sedang berhenti mengamati sesuatu. Ternyata ada keluarga orang utan di atas pohon! Bukan main senangnya saya..di atas pohon terlihat 1 ekor orang utan jantan dan 1 orang utan betina sedang menggendong bayinya lengkap dengan sarang mereka di salah satu batang pohon. David yang tertidur tidak lama setelah kami memulai trek terbangun ketika kami berhenti. Rupanya ia juga tidak mau melewatkan pemandangan indah ini. Rasanya seperti mimpi menjadi kenyataan untuk saya, melihat orang utan di habitat aslinya. Terus apa yang mereka lakukan? asli, orang utan itu hidupnya santai sekali dan ekspresi mukanya menunjukkan kesantaian mereka. Dari papan informasi di Ecolodge, orangutan bangun pagi sekitar pukul 6 pagi, dan aktivitasnya sepanjang hari adalah, makan, siesta, pindah dari satu pohon ke pohon lain, makan, membuat sarang, dan sekitar pukul 4 atau 5 sore sudah tidur lagi. Geli deh melihat ekspresi muka orang utan jantan yang memandangi kami di bawah..apa ya yang ada di pikirannya melihat sekelompok manusia mengamati tingkah laku mereka? Menurut pak Tomin, karena pada umumnya orang utan adalah hewan soliter yang hidup menyendiri, beruntung kami bisa melihat keluarga orang utan sekaligus.

Family of three vs Family of three :) (Foto: Pak Tomin)

In action

Orang utan jantan dewasa (Foto: Pak Tomin)

Coba perhatikan lirikan matanya :p

Duduk melamun

Mengutip penjelasan dari papan informasi yang kami baca di Ecolodge, orang utan hanya terdapat di Borneo (Kalimantan dan sebagian Malaysia) dan Sumatra. Orang utan Sumatra sendiri saat ini hanya terdapat di Sumatra Utara dan Aceh dalam wilayah yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser dengan jumlah total 6,600 ekor dan 85% dari jumlah tersebut berada di Bukit Lawang. Orang utan berada dalam daftar merah IUCN (Internasional Union for Conservation of Nature) sebagai Critically endangered species atau spesies yang terancam punah. Orangutan betina melahirkan sekali dalam 8 tahun, jadi dapat dibayangkan betapa kritisnya kelangsungan hidup mereka.

Setelah puas mengamati tingkah laku mereka, kami melanjutkan perjalanan menuju feeding site. Perjalanan sempat terhenti karena mengamati 1 ekor orang utan betina beserta bayinya yang sedang bersantai di pohon. Idealnya, bila sungai Bohorok dapat diseberangi, feeding site atau tempat pemberian makan orang utan dapat dicapai dengan naik perahu kemudian berjalan kaki. Kami mengambil jalan belakang yang lebih jauh dan naik turun, namun bonusnya melihat banyak orang utan, macaque, thomas leaf monkey, dan suasana hutan yang damai dan segar, terus menyeberangi sungai kecil berair bening. Tidak sebesar dan seindah Sungai Landak yang dilalui Noni waktu trekking ke sini, tapi lumayan menyegarkan.

Meniti turunan yang licin

Sungai kecil berair jernih dan segar

Kami tiba di feeding site menjelang siang ketika orang-orang bergerak turun. Feeding dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 8.00 dan pukul 15.00. Ketika sampai di atas, hanya ada sepasang suami-istri. Di hadapan mereka, duduk di atas landasan berupa kayu-kayu seekor orang utan betina dengan bayi menggelayut di tubuhnya yang sedang asyik makan pisang. Ada betina lain dengan bayinya di tempat itu, namun agak jauh dari tempat kami berada. Sekitar setengah jam kami habiskan disitu sampai akhirnya kedua betina dan bayi mereka masing-masing pergi meninggalkan kami. Berbeda dengan orang utan Borneo, orang utan Sumatra hidup di atas pohon, karena itu  feeding site dikondisikan sesuai dengan kebiasaan mereka sehingga dibangun palang - palang kayu di ketinggian sebagai tempat mereka berpijak. Oya, jarak aman untuk mengamati orang utan adalah 7-10 meter.

Orang utan betina dan bayinya (Foto: Pak Tomin)

Nyam nyam nyam...

Menggelayut manja pada induknya..menggemaskan!

Apa lihat-lihat? Mau pisang juga ya? :D

Dalam perjalanan pulang, kami menyeberangi sungai Bohorok yang berarus deras dengan menggunakan perahu yang ditarik tali tambang di sisi lain sungai. Arus sungainya deras sekali sampai saya nyaris terjengkang di perahu dengan David di pelukan saya...pfiuuuhhhh...menegangkan meskipun cuma beberapa detik! Ketika sampai seberang, seorang pemuda yang bertugas menarik tali tambang bilang ke saya "Kakak jangan panik, kalau kakak panik, kami lebih panik lagi" :D. Gimana gak panik dik, belum ambil posisi untuk duduk, tiba-tiba perahu sudah oleng saja dipermainkan arus sungai yang tanpa ampun kencangnya :(..Sepertinya saya tidak berbakat untuk ikut rafting, tubing, atau kegiatan sejenis, bisa-bisa gemetaran duluan sebelum mencoba. Syukurlah, kami tiba di seberang sungai dengan selamat dan bergegas pulang melawan arus pengunjung yang membanjiri kawasan Bukit Lawang di hari pertama tahun 2014.

Perahu yang diikat tali pada kedua sisi sungai

Sungai Bohorok

Saya tidak menyangka sisi sungai Bohorok ini sangat terbangun, ada banyak warung, penginapan, kios-kios dan volume pengunjung yang datang hari itu...wuiihhh...seperti suasana pasar Tanah Abang menjelang Hari Raya..padat sepadat-padatnya! Pak Tomin sempat bercerita kalau penginapan-penginapan yang kami lalui itu rata-rata dibangun oleh warga negara asing (dan kebetulan berasal dari Perancis) yang menikah dengan pria setempat (jadi ingat cerita kamu, Non :p). Jadi anggapan bahwa pria Perancis itu romantis perlu dipertanyakan lagi, buktinya perempuan Perancis (setidaknya beberapa) malah lebih memilih pria Indonesia. Tidak percaya? Lihat saja di Bukit Lawang :)

Penginapan-penginapan di kawasan Bukit Lawang

Pengunjung mulai ramai berdatangan

Salah satu penginapan di Bukit Lawang

Kawasan penginapan tampak dari arah hutan

Trekking kami hari itu berakhir sudah dan kami puas..tidak sia-sia berjalan berjam-jam demi bertemu orang utan. Padahal malam sebelumnya, Bukit Lawang diguyur hujan deras sekali dan saya (yang sedang belajar untuk menjadi wise traveler ini) berpikir kalaupun tidak memungkinkan untuk trekking keesokan harinya, paling tidak saya dapat berjalan-jalan menikmati alam bebas di dekat penginapan. Sementara suami sudah pernah melihat orang utan dan David apalagi, dia sih santai saja tidak begitu peduli mau dibawa kemana dan lihat apa karena main dengan semut di lantai beranda kamarpun, senangnya setengah mati. Bahkan pak Tomin tidak mau menjanjikan apakah bisa atau tidak trekking dilakukan, tergantung apakah hujan turun terus menerus semalam suntuk dan berlanjut sampai pagi atau tidak. Alhamdulillah, pagi-pagi ketika bangun, langit cerah dan ketika pak Tomin datang jam 8 pagi, beliau bilang kami bisa trekking.

Menutup petualangan hari itu, kami juga berkesempatan mengunjungi visitor center TNGL-Bukit Lawang. Ternyata kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan hutan terbesar di Sumatra ini adalah rumah dari spesies langka selain orangutan, yaitu gajah Sumatra, badak Sumatra, dan harimau Sumatra. Hebat bukan? Betapa kayanya keanekaragaman hayati Indonesia. Kalau sudah begini, siapa yang tidak bangga jadi orang Indonesia?

Panel informasi di Visitor Center

Salah satu kekayaan hayati Indonesia

Seperti doa dan harapan saya di setiap akhir perjalanan, semoga suatu hari nanti kami bisa berkunjung lagi kesini, dan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, termasuk orang utan dan hewan-hewan hutan lainnya yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia tersebut dapat terus terjaga kelestarian serta keberlangsungan hidupnya dan tidak menjadi korban pembangunan maupun pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. 

Akomodasi:

www.ecolodgebukitlawang.com
Phone: +62 812 607 99 83
Email: info@ecolodgebukitlawang.com
Reservation: reservation@ecolodgebukitlawang.com

Guide: Pak Tomin (0812 654 2408)

Sampai jumpa lagi, TNGL  :)