Thursday, 26 September 2013

Small Reunion

June 2006 in Jakarta Office when both of us were much younger back then


Me and Helen


Fast forward to September 2013 at home in Bangkok

Me, Helen, and the boys (her 4-year old was busy playing)
Helen and I once worked together in Jakarta about seven years ago. A year later, I resigned from the office to pursue my study while she continued working there for some more months before going back to Germany to get married. Moved back to Asia, we got bigger chance to meet up few times. They came to visit us in Bangkok last year, just before I gave birth, and a couple of weeks ago. Here's our latest version during their brief visit, me with my 16-month old, and Helen with her 7-month old son, our husbands and her oldest boy  were behind the camera.

Look forward to having our next reunion sometime soon :)

"Without friends no one would choose to live, though he had all other goods"
-Aristotle-


Ancient Siam: Berkeliling Thailand dalam Satu Hari

From the Fortress of the Oceanic Protective Narayana to the Giant Lanna Buddha
From the Magnificent Walking Buddha of Sukhothai to the Sacred Creator Brahma
From the Elaborate Wood Carvings of Buddha's life to the Attractive Architectural Sites, 
Even the Stunning Sanphet Prasat Palace or the Unforgettable Preah Vihear...
All can be visited here in the Ancient Siam where Lek Viriyaphan's will is reached
(Ancient Siam motto)

Hari Sabtu minggu lalu, kami berempat pergi ke Ancient Siam di daerah Samut Prakan, di luar kota Bangkok. Sebenarnya sudah sejak lama saya mendengar tentang tempat ini ketika pertama kali datang ke Thailand. Setelah mengecek di website mereka, kami memutuskan untuk naik bis dari rumah karena kebetulan bisnya melewati jalan Sukhumvit. Dari rumah berangkat jam 8.45, tidak lama menunggu di depan hotel Westin Sukhumvit, bis AC 511 jurusan Pinklao-Paknam lewat. Perjalanan dengan bis ini berbiaya seharga 28 THB per orang dan memakan waktu kurang lebih satu jam, kemudian kami turun satu halte sebelum halte terakhir di Paknam dan menyambung dengan taksi seharga 80 THB sampai Ancient Siam atau dikenal dengan nama Muang Boran. Alternatif lain bagi yang suka berpetualang bisa juga disambung dengan naik songtaew atau sejenis kendaraan umum no. 36 yang melalui pintu gerbang Ancient Siam.

Menuju counter pembelian tiket, kami melalui lapangan parkir yang cukup luas, armada tram dan golf car yang banyak. Ya, untuk mengelilingi museum terbuka seluas 320 hektar ini memang dibutuhkan kendaraan. Pengunjung yang membawa kendaraan sendiri dikenakan biaya 300 THB per kendaraan, sementara yang tidak membawa kendaraan dapat menyewa mobil golf berkapasitas 4 tempat duduk selama 1 jam seharga 300 THB, menumpang sepeda sewaan dan kapal yang sudah termasuk ke dalam harga tiket, atau ikut tur dengan tram secara gratis. Pada saat membeli tiket, baru kami sadar bahwa suami lupa membawa paspor untuk menunjukkan work permit supaya mendapat harga lokal. Untungnya, selain paspor, tanda bukti lain seperti SIM Thailand (yang kami juga tidak punya) atau ATM Bank lokal juga berlaku. Jadi kami dapat harga lokal yaitu 350 THB/orang dan harga normal 500 THB untuk ibu saya...lumayan :) Anak-anak berusia 7-12 tahun membayar setengah harga.

Karena kami datang jam 10 lewat, segera setelah membeli tiket, kami diangkut dengan mobil golf menyusul tram terdekat. Jadi, tram yang berkapasitas kurang lebih 30 orang ini dilengkapi satu orang pemandu dalam bahasa Thai, mengelilingi seluruh kawasan dan berhenti di tempat-tempat tertentu, diantaranya Sanphet Prasat Palace, Ayutthaya, Prasat Phra Wihan (Preah Vihear), Si Sa Ket, dan Floating Market. Menjelang jam 12 siang, tram berhenti di Floating Market dan pemandu menyilakan kami semua untuk turun dan makan siang masing-masing. Untuk menu siang itu, saya mencicipi kue manis terbuat dari santan dan tepung beras yang enak sekali dan ditutup makan siang pad thai udang..yuummm. Kenyang mengisi perut, kami berniat untuk mengelilingi situs-situs lain, tapi kali ini dengan menumpang mobil golf. Diantar tram kosong dengan kami sebagai penumpangnya, kami dibawa kembali ke pintu gerbang tempat pembelian tiket. Di Bangkok, kami lumayan sering menaiki mobil golf seperti ini karena di banyak hunian apartemen menyediakan fasilitas tuk-tuk dengan armada seperti mobil golf ini, tapi rasanya lucu ketika suami sendiri yang mengemudikannya, saya dan si kecil di depan, sementara ibu memilih duduk di belakang sambil menikmati pemandangan.

Sanphet Prasat Palace, Ayutthaya
Tipikal reruntuhan kuil di Ayutthaya yang ditumbuhi akar-akar pohon
 
Prasat Phra Wihan (Preah Vihear), Si Sa Ket

Prasat Phra Wihan (Preah Vihear) yang menjadi rebutan antara Thailand dan Cambodia
 
Pengunjung Ancient Siam di atas tram sedang mendengarkan penjelasan pemandu
Tram yang membawa kami berkeliling kawasan Ancient Siam
 


Floating Market
Kue kelapa yang lezat  
Toko souvenir di Floating Market
Golf car sewaan dan supirnya :p
 


Ancient Siam ini didirikan oleh Lek-Praphai Viriyaphan pada tahun 1963 dengan niatan memotivasi masyarakat Thailand untuk mempelajari sejarah negerinya dan agar tradisi dan budaya yang menjadi dasar peradaban Siam dikenal seluruh dunia. Pada peta kawasan, terdapat 120 situs di kawasan Ancient Siam yang berasal dari berbagai tempat di Thailand, 70 situs berwarna coklat merupakan duplikasi dari situs aslinya atau dibangun berdasarkan bukti-bukti historis, 31 situs berwarna biru merupakan desain kreatif, dan 19 situs berwarna hijau merupakan rekonstruksi bangunan yang dipindahkan dari tempat aslinya. Kurang lebih dibutuhkan waktu seharian penuh untuk berkunjung kesini.

Agar dapat menikmati perjalanan mengelilingi Thailand tanpa rasa lapar, haus, dan panas, jangan lupa membawa bekal makanan ringan dan minuman, meskipun ada kios kecil yang menjual makanan dan minuman ringan di beberapa tempat, serta topi/payung. Yang paling mengesankan untuk saya adalah jumlah dan kondisi toilet yang tersedia di kawasan ini, hampir di setiap tempat kami berhenti, fasilitas ini selalu tersedia dan sangat bersih. Menurut saya pribadi, Ancient Siam adalah tempat yang layak untuk dikunjungi siapapun yang berkesempatan datang ke Bangkok dan tertarik dengan sejarah dan budaya Thailand.

Menjelang sore hari, kami beranjak pulang, dan mempertimbangkan kepadatan lalu-lintas menuju kota Bangkok pada malam Minggu, kami memutuskan untuk naik taksi hanya sampai stasiun BTS terdekat, yaitu Bearing kemudian disambung dengan skytrain. Dengan kondisi jalan relatif normal dan menggunakan meter, biaya taksi kurang lebih 150 THB.

Meskipun tidak sempat mengunjungi semua situsnya, turis istimewa kami alias ibu saya tampaknya cukup puas "mengelilingi Thailand dalam satu hari" so, mission accomplished :)

Ancient City
296/1 Sukhumvit Road, Bangpoo,
Samut Prakan 10280
Tel. : 0-2709-1644-8
Fax : 0-2323-4055
info@ancientsiam.com

Jam buka: setiap hari dari pukul 09.00 - 18.00


Saturday, 14 September 2013

Berakhir Pekan di Yangon

Setelah sempat tertunda gara-gara masalah visa, awal bulan ini jadi juga saya dan David berkunjung ke Yangon, menyusul suami yang sedang bertugas disana. Hari Jum'at siang kami berdua berangkat menuju bandara Don Mueang. Sempat ada kekesalan sedikit ketika supir taksi mencoba-coba mengelak untuk pasang meter dengan mengatakan bahwa kalau pakai meter, saya akan dikenakan surcharge 50 THB, huh! Padahal taksi yang sengaja dipanggil biasanya hampir selalu sepakat menggunakan meter. Penyakit saya, kalau ada satu kejadian tidak menyenangkan, biasanya akan merembet, tapi hari itu saya berniat untuk tetap tenang. Setelah saya berargumen bahwa surcharge hanya berlaku untuk rute dari bandara dan bukan menuju bandara, si supirpun menggerutu dan kemudian diam. Sengaja saya serahkan uang pas untuk membayar tol jauh sebelum kami masuk tol untuk menunjukkan bahwa saya tidak bisa dibohongi. Untunglah, dalam waktu kurang dari 30 menit, kami sudah sampai di bandara jadi saya tidak perlu berlama-lama di taksi. David tertidur menjelang kami tiba di bandara sampai kami lewat imigrasi.

Perjalanan selama kurang lebih 1 jam relatif lancar dan kami tiba jam 17.30 waktu Yangon, yang lebih lambat 30 menit dibandingkan dengan waktu Bangkok. Di luar bayangan saya, Bandara Yangon ternyata bagus dan masih baru. Loket pemesanan taksi resmi bandara tersedia di sebelah kiri pintu keluar, dan untuk tujuan ke pusat kota saya dikenakan tarif 7000 kyat. Petugasnya menawarkan apakah saya mau pakai AC atau tidak, dan karena saya memilih pakai AC, saya harus membayar lagi tambahan 2000 kyat. Sebagai informasi, 1000 kyat setara dengan 1 dolar Amerika. Berbeda dengan bayangan saya sebelumnya, ternyata Yangon adalah kota besar dan ramai. Pantas saja suami saya tertawa ketika saya menceritakan kekhawatiran dibawa kabur supir taksi dari bandara. Selama perjalanan menuju hotel, saya mengamati bahwa kota ini dipadati bangunan-bangunan tinggi yang merupakan tempat hunian, hanya saja bangunan-bangunan itu tampak tua, berlumut, dan tidak terurus. Kemacetan juga menjadi makanan sehari-hari di Yangon, dan angkutan transportasi umum selalu dipadati penumpang yang berjubel di dalamnya.

Lalu lintas Yangon di pagi hari

Bogyoke Aung San Market

Hunian di pusat kota Yangon
Salah satu toko serba ada di  pusat kota
Bogyoke Aung San Jewellery Market
Pemandangan dari Independence Park, Yangon
Sule Pagoda
Suasana salah satu jalan di pusat kota
Kandawgyi Lake
Church St. Mary
Shwedagon Pagoda
Tradisi minum teh masyarakat Myanmar. Para pria disini lazim mengenakan sarung.
Shwedagon Pagoda
Shwedagon Pagoda

Salah satu bangunan mesjid di pusat kota Yangon
Tipikal gedung hunian di kota Yangon (tampak muka)
Mesjid lain di pusat kota

Shwedagon Pagoda pada malam hari

Salah satu bangunan kolonial di pusat kota

Salah satu iklan produk Myanmar

Bertemu teman baru di Shwedagon Pagoda
Sebelum pergi, saya sempat membaca disini bahwa Yangon mempunyai bangunan kolonial terbanyak di Asia Tenggara dan di awal abad 20, kota kolonial yang dijuluki sebagai Kota Taman di Timur karena keindahan taman-taman dan arsitektur bangunan-bangunannya ini mempunyai infrastruktur publik yang sama dengan kota London. Hal itu benar adanya, bangunan kolonial yang saya temui begitu banyak dan indah meskipun banyak yang sudah lapuk dimakan usia atau tidak terawat sama sekali.

Malamnya, kami mencari makan malam dekat hotel. Kebetulan hotel kami yang terletak di dekat Sule Pagoda ini dekat dengan daerah hunian India Muslim, jadi tidak sulit menemukan tempat makan halal. Menu malam itu adalah menu khas India Selatan yang serba kari dilengkapi dengan roti prata. Keesokan harinya, kami berjalan-jalan keliling kota dan kemudian menuju daerah Pun Hlaing untuk mengunjungi teman yang sempat saya kenal di Bangkok. Kawasan perumahan mewah yang terletak dekat bandara ini konon mempunyai lapangan golf yang termasuk terbaik di dunia, dan ternyata, halaman belakang rumah teman saya ini menghadap lapangan golf itu..wuih, tidak heran kalau teman saya bilang, tinggal disana membuat ia malas pergi kemana-mana. Kami asyik mengobrol sementara si bocah bermain dengan anak teman saya yang berusia 4 tahun. Tidak terasa, hari beranjak sore dan kamipun pamit pulang. Senang sekali bisa bertemu kembali dengan teman saya dan diantar jemput pula oleh supirnya..tidak terbayang kalau harus pergi sendiri karena rumahnya benar-benar jauh diujung dunia.

Kami menutup hari itu dengan makan malam di satu restoran di gedung Hitachi, yaitu Sky Bistro. Gara-garanya karena lidah saya tidak cocok dengan citarasa makanan India yang kami cicipi malam sebelumnya. Di restoran chic ini tersedia banyak pilihan menu internasional, tempatnya nyaman dan luas, namun harganyapun relatif mahal. Kalau kemarin makan berdua dengan menu lengkap menghabiskan 6000 kyat, disini harga satu menu rata-rata 10000 kyat. Kalau beruntung mendapatkan tempat duduk dekat kaca, pengunjung restoran ini bisa melihat Shwedagon Pagoda yang bercahaya dari kejauhan.

Hari Minggu pagi, kami menuju Danau Kandawgyi untuk bertemu dengan teman-teman kantor suami dan sekalian makan siang di Signature, salah satu restoran dekat sana. Pagi-pagi hujan deras mengguyur Yangon, dan perlahan reda ketika kami sampai di Kandawgyi. Dengan tiket masuk 2000 kyat untuk orang asing (yang kami tawar-tawar), kami menyusuri titian kayu yang mengelilingi danau, mengamati pasangan belia yang sedang pacaran, menonton syuting televisi lokal, dan kemudian menyambung perjalanan dengan taksi untuk menuju restoran. Sepulangnya dari sini, kami kembali ke hotel untuk beristirahat dan sorenya pergi mengunjungi Shwedagon Pagoda. Tiket masuk ke Shwedagon Pagoda adalah USD 5 per orang. Menurut penjelasan yang tertera di tiket masuk, sejarah Shwedagon Pagoda berasal dari 2,500 tahun yang lalu ketika Pangeran Siddharta di India dikunjungi oleh dua bersaudara Tapussa dan Bhallika, pedagang dari Myanmar yang menawarkan hadiah kue madu. Sebagai balasan, sang Buddha mencabut delapan helai rambutnya untuk disimpan di kota asal mereka, Okkalapa, yang menjadi cikal bakal Yangon sekarang. Sekembalinya mereka dari India, kedua bersaudara ini mempersembahkan helai rambut sang Buddha kepada raja Okkalapa yang kemudian membangun pagoda dan menyimpan rambut tersebut bersama-sama dengan tiga patung Buddha yang telah ada. Pagoda ini terdiri dari stupa dengan ketinggian mulai dari 8.2 meter sampai 110 meter, dan dilapisi ratusan pelat emas dan bagian atas stupanya dihiasi oleh 4531 berlian dengan berlian terbesar 72 karat. Stupa Shwedagon ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian dasar (teras), kubah, dan menara. Bagian teratas dihiasi oleh 3154 lonceng emas, 79569 berlian dan batuan berharga lainnya. Setelah puas mengelilingi Shwedagon, kami beranjak pulang. Baru terasa kalau kaki lumayan pegal dibawa jalan-jalan. Malam itu kami bungkus makanan di Nilar, rumah makan yang hanya menjual nasi biryani yang terkenal lezat dan murah.

Senin pagi, kami berdua kembali ke Bangkok dengan pesawat pertama dan Alhamdulillah, si bocah tertidur sepanjang perjalanan dan baru terbangun ketika pesawat mendarat. Untungnya lagi, pesawat pagi itu tidak penuh, sehingga oleh pramugarinya saya ditawari kursi kosong karena di tempat sebelumnya dua kursi disebelah kanan saya diisi oleh pasangan muda yang tampaknya sedang berlibur. Meskipun tidak banyak tempat yang kami lihat pada kunjungan pertama ke kota ini namun keunikan dan warisan arsitektur di kota ini membuat saya ingin kembali mengunjunginya lagi, suatu hari nanti.

Selamat berakhir pekan!

Friday, 6 September 2013

The Chambord Experience

Finally, here's my latest article, published in Tamasya magazine September 2013 edition! After more than a year, I managed to make my Chambord visit as a kick-off piece of writing. Hopefully, few more to come very soon :)




Beautiful turrets and spires of the chateau
The magnificent chateau de Chambord