Setelah sempat tertunda gara-gara masalah visa, awal bulan ini jadi juga saya dan David berkunjung ke Yangon, menyusul suami yang sedang bertugas disana. Hari Jum'at siang kami berdua berangkat menuju bandara Don Mueang. Sempat ada kekesalan sedikit ketika supir taksi mencoba-coba mengelak untuk pasang meter dengan mengatakan bahwa kalau pakai meter, saya akan dikenakan
surcharge 50 THB, huh! Padahal taksi yang sengaja dipanggil biasanya hampir selalu sepakat menggunakan meter. Penyakit saya, kalau ada satu kejadian tidak menyenangkan, biasanya akan merembet, tapi hari itu saya berniat untuk tetap tenang. Setelah saya berargumen bahwa
surcharge hanya berlaku untuk rute dari bandara dan bukan menuju bandara, si supirpun menggerutu dan kemudian diam. Sengaja saya serahkan uang pas untuk membayar tol jauh sebelum kami masuk tol untuk menunjukkan bahwa saya tidak bisa dibohongi. Untunglah, dalam waktu kurang dari 30 menit, kami sudah sampai di bandara jadi saya tidak perlu berlama-lama di taksi. David tertidur menjelang kami tiba di bandara sampai kami lewat imigrasi.
Perjalanan selama kurang lebih 1 jam relatif lancar dan kami tiba jam 17.30 waktu Yangon, yang lebih lambat 30 menit dibandingkan dengan waktu Bangkok. Di luar bayangan saya, Bandara Yangon ternyata bagus dan masih baru. Loket pemesanan taksi resmi bandara tersedia di sebelah kiri pintu keluar, dan untuk tujuan ke pusat kota saya dikenakan tarif 7000 kyat. Petugasnya menawarkan apakah saya mau pakai AC atau tidak, dan karena saya memilih pakai AC, saya harus membayar lagi tambahan 2000 kyat. Sebagai informasi, 1000 kyat setara dengan 1 dolar Amerika. Berbeda dengan bayangan saya sebelumnya, ternyata Yangon adalah kota besar dan ramai. Pantas saja suami saya tertawa ketika saya menceritakan kekhawatiran dibawa kabur supir taksi dari bandara. Selama perjalanan menuju hotel, saya mengamati bahwa kota ini dipadati bangunan-bangunan tinggi yang merupakan tempat hunian, hanya saja bangunan-bangunan itu tampak tua, berlumut, dan tidak terurus. Kemacetan juga menjadi makanan sehari-hari di Yangon, dan angkutan transportasi umum selalu dipadati penumpang yang berjubel di dalamnya.
|
Lalu lintas Yangon di pagi hari |
|
Bogyoke Aung San Market |
|
|
|
Hunian di pusat kota Yangon |
|
Salah satu toko serba ada di pusat kota |
|
Bogyoke Aung San Jewellery Market |
|
Pemandangan dari Independence Park, Yangon |
|
Sule Pagoda |
|
Suasana salah satu jalan di pusat kota |
|
|
Kandawgyi Lake |
|
Church St. Mary |
|
Shwedagon Pagoda |
|
Tradisi minum teh masyarakat Myanmar. Para pria disini lazim mengenakan sarung. |
|
Shwedagon Pagoda |
|
Shwedagon Pagoda |
|
Salah satu bangunan mesjid di pusat kota Yangon |
|
Tipikal gedung hunian di kota Yangon (tampak muka) |
|
Mesjid lain di pusat kota |
|
Shwedagon Pagoda pada malam hari |
|
Salah satu bangunan kolonial di pusat kota |
|
Salah satu iklan produk Myanmar |
|
Bertemu teman baru di Shwedagon Pagoda |
Sebelum pergi, saya sempat membaca di
sini bahwa Yangon mempunyai bangunan kolonial terbanyak di Asia Tenggara dan di awal abad 20, kota kolonial yang dijuluki sebagai Kota Taman di Timur karena keindahan taman-taman dan arsitektur bangunan-bangunannya ini mempunyai infrastruktur publik yang sama dengan kota London. Hal itu benar adanya, bangunan kolonial yang saya temui begitu banyak dan indah meskipun banyak yang sudah lapuk dimakan usia atau tidak terawat sama sekali.
Malamnya, kami mencari makan malam dekat hotel. Kebetulan hotel kami yang terletak di dekat Sule Pagoda ini dekat dengan daerah hunian India Muslim, jadi tidak sulit menemukan tempat makan halal. Menu malam itu adalah menu khas India Selatan yang serba kari dilengkapi dengan roti prata. Keesokan harinya, kami berjalan-jalan keliling kota dan kemudian menuju daerah Pun Hlaing untuk mengunjungi teman yang sempat saya kenal di Bangkok. Kawasan perumahan mewah yang terletak dekat bandara ini konon mempunyai lapangan golf yang termasuk terbaik di dunia, dan ternyata, halaman belakang rumah teman saya ini menghadap lapangan golf itu..wuih, tidak heran kalau teman saya bilang, tinggal disana membuat ia malas pergi kemana-mana. Kami asyik mengobrol sementara si bocah bermain dengan anak teman saya yang berusia 4 tahun. Tidak terasa, hari beranjak sore dan kamipun pamit pulang. Senang sekali bisa bertemu kembali dengan teman saya dan diantar jemput pula oleh supirnya..tidak terbayang kalau harus pergi sendiri karena rumahnya benar-benar jauh diujung dunia.
Kami menutup hari itu dengan makan malam di satu restoran di gedung Hitachi, yaitu Sky Bistro. Gara-garanya karena lidah saya tidak cocok dengan citarasa makanan India yang kami cicipi malam sebelumnya. Di restoran
chic ini tersedia banyak pilihan menu internasional, tempatnya nyaman dan luas, namun harganyapun relatif mahal. Kalau kemarin makan berdua dengan menu lengkap menghabiskan 6000 kyat, disini harga satu menu rata-rata 10000 kyat. Kalau beruntung mendapatkan tempat duduk dekat kaca, pengunjung restoran ini bisa melihat Shwedagon Pagoda yang bercahaya dari kejauhan.
Hari Minggu pagi, kami menuju Danau Kandawgyi untuk bertemu dengan teman-teman kantor suami dan sekalian makan siang di Signature, salah satu restoran dekat sana. Pagi-pagi hujan deras mengguyur Yangon, dan perlahan reda ketika kami sampai di Kandawgyi. Dengan tiket masuk 2000 kyat untuk orang asing (yang kami tawar-tawar), kami menyusuri titian kayu yang mengelilingi danau, mengamati pasangan belia yang sedang pacaran, menonton syuting televisi lokal, dan kemudian menyambung perjalanan dengan taksi untuk menuju restoran. Sepulangnya dari sini, kami kembali ke hotel untuk beristirahat dan sorenya pergi mengunjungi Shwedagon Pagoda. Tiket masuk ke Shwedagon Pagoda adalah USD 5 per orang. Menurut penjelasan yang tertera di tiket masuk, sejarah Shwedagon Pagoda berasal dari 2,500 tahun yang lalu ketika Pangeran Siddharta di India dikunjungi oleh dua bersaudara Tapussa dan Bhallika, pedagang dari Myanmar yang menawarkan hadiah kue madu. Sebagai balasan, sang Buddha mencabut delapan helai rambutnya untuk disimpan di kota asal mereka, Okkalapa, yang menjadi cikal bakal Yangon sekarang. Sekembalinya mereka dari India, kedua bersaudara ini mempersembahkan helai rambut sang Buddha kepada raja Okkalapa yang kemudian membangun pagoda dan menyimpan rambut tersebut bersama-sama dengan tiga patung Buddha yang telah ada. Pagoda ini terdiri dari stupa dengan ketinggian mulai dari 8.2 meter sampai 110 meter, dan dilapisi ratusan pelat emas dan bagian atas stupanya dihiasi oleh 4531 berlian dengan berlian terbesar 72 karat. Stupa Shwedagon ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian dasar (teras), kubah, dan menara. Bagian teratas dihiasi oleh 3154 lonceng emas, 79569 berlian dan batuan berharga lainnya. Setelah puas mengelilingi Shwedagon, kami beranjak pulang. Baru terasa kalau kaki lumayan pegal dibawa jalan-jalan. Malam itu kami bungkus makanan di Nilar, rumah makan yang hanya menjual nasi biryani yang terkenal lezat dan murah.
Senin pagi, kami berdua kembali ke Bangkok dengan pesawat pertama dan Alhamdulillah, si bocah tertidur sepanjang perjalanan dan baru terbangun ketika pesawat mendarat. Untungnya lagi, pesawat pagi itu tidak penuh, sehingga oleh pramugarinya saya ditawari kursi kosong karena di tempat sebelumnya dua kursi disebelah kanan saya diisi oleh pasangan muda yang tampaknya sedang berlibur. Meskipun tidak banyak tempat yang kami lihat pada kunjungan pertama ke kota ini namun keunikan dan warisan arsitektur di kota ini membuat saya ingin kembali mengunjunginya lagi, suatu hari nanti.
Selamat berakhir pekan!