Thursday, 22 December 2011

Untuk Ibu terbaik

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda

Pikirkupun melayang

Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku slalu dimanja

Kata mereka diriku slalu dtimang

Nada nada yang indah

Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya

Tangan halus dan suci

Tlah mengangkat diri ini

Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan

Oh bunda ada dan tiada dirimu

Kan slalu ada di dalam hatiku

Bunda - Melly Goeslaw 


Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu

Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ibu - Iwan Fals

Bagaimanapun indahnya lirik kedua lagu diatas, rasanya masih belum cukup mengekspresikan perasaan saya untuk Ibu. Alhamdulillah saya dianugerahi ibu terbaik dan sahabat teristimewa yang selalu ada kapanpun saya membutuhkan dan bisa diajak bicara tentang apa saja tanpa batasan. Kedekatan batin membuat kami seringkali tidak sadar jauhnya jarak yang memisahkan kami secara lahir. Terima kasih telah menjadi orangtua yang selalu mendoakan, sangat terbuka, bijaksana, suportif, telah berjuang dengan susah payah demi kebaikan sang anak, memberi kebebasan penuh namun pada saat yang sama justru mendidik untuk bertanggung jawab, terima kasih telah menjadi sahabat yang begitu dekat, yang tahu bagaimana cara menasihati tanpa menggurui, menjadi pendengar yang baik, teman menangis di kala sedih, teman tertawa di kala bahagia, selalu ingin belajar, dan senantiasa penyabar. Sikap dan pengalaman hidupnya membuat saya menjadikan ibu sebagai teladan utama sepanjang masa.

Ya Allah, semoga Engkau senantiasa melimpahkan usia, kesehatan, rezeki, kebahagiaan, rahmat dan lindungan-Mu untuk ibuku dan perkenankanlah aku untuk dapat selalu membahagiakan ibu sampai waktu yang tak terbatas. Aamiin...

Ekspresi perasaan saya pada ibu tercurah hampir setiap hari melalui bantuan teknologi namun karena hari ini bertepatan dengan perayaan hari Ibu di Indonesia, rasanya ingin juga menuangkan rasa kangen kepada Ibu dalam tulisan.

-Selamat Hari Ibu-

Tuesday, 20 December 2011

Kisah Jim Thompson

Nama Jim Thompson begitu tersohor di negeri Gajah Putih. Di suatu akhir pekan, kami mengunjungi museumnya untuk mengetahui lebih jauh sejarah pria Amerika yang jatuh cinta pada negeri ini dan mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan industri sutera di Thailand. Jim Thompson lahir di Delaware, Amerika Serikat pada tahun 1906 dan berprofesi sebagai seorang arsitek. Mempunyai bakat besar sebagai perancang dan ahli dalam warna untuk bahan tekstil, kontribusinya begitu penting dalam pengembangan dan pengakuan kualitas sutera Thailand di kemudian hari.

 Museum yang kami kunjungi ini dulunya adalah tempat tinggal Jim Thompson, terdiri dari 6 buah rumah kayu dengan arsitektur tradisional berusia kurang lebih dua ratus tahun yang berasal dari seluruh penjuru Thailand, termasuk diantaranya berasal dari Ayutthaya. Tiket masuk ke museum ini adalah seharga 100 Baht per orang, dan tersedia kunjungan dengan pemandu pada jam-jam yang telah ditentukan. Pengunjung tidak diperkenankan untuk mengambil gambar ketika berada di dalam bangunan museum.

Jim Thompson House

Bagian dalam rumah diisi dengan perabotan antik dari berbagai penjuru Thailand dan Asia yang dikoleksi oleh Jim Thompson selama bertahun-tahun, tertata dengan apik. Sang pemandu dengan fasih menjelaskan bagian per bagian rumah, perabotan unik, beserta sejarahnya. Seperti halnya rumah tinggal, ada ruang tamu, ruang makan, dan ruang tidur, hanya saja di museum ini, semua bagian ruang tersebut penuh dengan benda seni yang bernilai tinggi.

Menurut sang pemandu, pada saat pembangunan rumah, semua ritus tradisional dan keagamaan dilakukan, dan pada tahun 1959, Jim Thompson memutuskan pindah ke rumah ini, tidak lama setelah itu ia memutuskan untuk membuka rumahnya bagi masyarakat umum.

Pada tahun 1967, Jim Thompson dinyatakan hilang pada saat ia berlibur dengan temannya di Cameron Highlands, Malaysia dan selama bertahun-tahun tidak pernah ditemukan jejaknya. Ada banyak versi mengenai hilangnya beliau, konon menurut cerita, tahun 1967 bukanlah tahun yang baik bagi beliau yang berusia 61 tahun ketika itu. Wallahu alam!

Semua peninggalan dan hasil karya Jim Thompson yang terabadikan di rumah tradisional Thailand menunjukkan rasa cintanya yang dalam terhadap negeri ini. Di kompleks museum ini juga terdapat restoran yang asri dan hijau serta toko cendera mata dimana pengunjung dapat membeli produk Jim Thompson, sangat direkomendasikan bagi Anda yang gemar mempercantik diri dan rumah dengan material sutera berkualitas tinggi.

Kolam di samping restoran yang menyejukkan
 Informasi lengkap dapat dilihat disini.

Hôtel National des Invalides

Ada satu tempat di Paris yang begitu ingin saya kunjungi, namun bukan Eiffel, bukan Arc de Triomphe, dan bukan pula Louvre. Ketiga tempat ini tentunya ada dalam peringkat atas tempat-tempat yang harus dikunjungi pada kunjungan pertama  ke kota Paris :). Tempat yang saya maksud adalah Hôtel National des Invalides.

Hôtel National des Invalides
Pada awalnya, saya hanya tertarik dengan kubah bangunan yang tampak megah dan berkilau, namun setelah suatu hari tanpa sengaja melihat penunjuk arah menuju nisan Napoleon yang ternyata berada di dalam bangunan tersebut, sayapun jadi penasaran. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, bahkan setelah meninggalnyapun, pengunjung makam Napoleon perlu membungkukkan badan untuk melihatnya.

Setelah tertunda selama beberapa lama, akhirnya saya berkesempatan untuk membuktikan langsung seperti apa makam Kaisar Perancis yang legendaris itu. Dengan tiket masuk €9 per orang yang juga berlaku untuk masuk ke museum angkatan bersenjata di kompleks yang sama, sayapun bergegas memasuki bangunan indah nan megah tersebut.
Interior monumen yang indah
Kapel utama

The Hôtel National des Invalides didirikan pada tahun 1670 oleh Louis XIV untuk mengakomodasi para veteran perang yang dirancang oleh arsitek Libéral Bruant. Pada 1674, kompleks ini menjadi suatu "kota" dengan tempat tinggal bagi para veteran, barak, rumah sakit, dan bengkel kerja. Makam sang Kaisar sendiri baru dipindahkan pada tahun 1840 atas perintah Louis-Philippe I dari pulau St. Helena ke Paris untuk ditempatkan di dasar kubah. Pembangunannya dipercayakan kepada arsitek Louis Visconti dan selesai pada tahun 1861. Selain Napoleon, disini juga terdapat makam saudaranya Joseph Napoleon I dan jenderal-jenderal legendaris Perancis, diantaranya Géraud Duroc dan Marechal Foch.

Makam Joseph Napoleon I
Makam Napoleon I  terletak di dasar kubah utama, dikelilingi oleh duabelas patung yang melambangkan kampanye militer pada masa pemerintahan Napoleon I. Delapan kemenangan Perancis dalam perang yang terkenal terukir pada lantai marmer di sekeliling makam. Di bawah patung sang Kaisar, terdapat makam putranya.
Makam sang Kaisar


Setelah puas menikmati keindahan interior bangunan kubah ini dan menuntaskan rasa penasaran, saya beranjak menuju museum angkatan bersenjata yang mendokumentasikan sejarah militer Perancis dari abad ke-13 sampai dengan Perang Dunia II. Bagi mereka yang tertarik dengan sejarah kemiliteran, khususnya militer Perancis, tempat ini tidak boleh terlewatkan.

Sunday, 18 December 2011

Suatu Hari di Pasar Tradisional

Salah satu kegiatan favorit saya yang berlanjut sampai sekarang adalah pergi berbelanja sayur mayur dan buah-buahan ke pasar tradisional. Becek dan bau tidak menjadi halangan untuk saya. Sebaliknya, kepuasan yang diperoleh ketika berhasil menawar harga (sejauh ini baru berlaku di Indonesia) dan hasil berupa sayur-mayur atau buah-buahan segar dengan perbedaan harga yang lumayan dibandingkan dengan membeli di pasar swalayan cukup membuat saya bahagia. 

Beberapa hari setelah tiba di Bangkok, tujuan saya adalah mencari pasar terdekat untuk mencari serai, lengkuas, dan daun kemangi. Akibat peristiwa banjir kemarin, banyak produk sayur-mayur yang menghilang dari rak di pasar swalayan, sementara penjual makanan pinggir jalan tampaknya tidak mengalami masalah dalam memperoleh persediaan mereka. Jadi, saya membulatkan diri untuk pergi ke salah satu pasar tradisional yang tidak jauh dari tempat tinggal kami, yaitu Khlong Toey. 

Suasana di pasar tradisional Khlong Toey (gambar diambil dari sini)
 Tantangan pertama dimulai ketika saya mencari taksi untuk menuju ke pasar itu. Pelafalan saya mungkin membingungkan supir taksi, namun pada akhirnya ia mengerti tujuan yang saya maksud. Kunjungan pertama, saya begitu senang, karena ada banyak sayur dan buah-buahan yang saya temukan disini, hampir semuanya produk lokal dan favorit kami, mulai dari jambu batu, bengkuang, jambu air, jeruk peras, pepaya, dan mangga, tentunya dengan harga yang jauh lebih bersahabat. Selain itu saya temukan pula bawang merah, cabai merah segar, dan daun pisang! 

Kunjungan kedua, kami pergi berbelanja bersama dan mulailah terjadi pengalaman lucu. Karena saya belum bisa berbahasa Thai, maka percakapan dilakukan dengan bahasa tubuh, saya bicara dalam bahasa Inggris, syukur-syukur kalau mengerti, kalau tidak, ketika saya menunjuk sesuatu untuk dibeli, pedagang akan menghitung dengan kalkulator dan menunjukkan harga yang harus dibayar. Lagipula, tidak perlu menawar di pasar ini karena semua harga per kilonya sudah tertulis. Suatu kali, saya mau membeli mentimun namun harganya tidak tercatat  sehingga saya bertanya kepada ibu penjual dalam bahasa Inggris. Dia menjawab dalam bahasa Thai dan akhirnya percakapan itu berakhir dengan si ibu penjual memalingkan muka, hahaha...rupanya dia kesal karena saya tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Sayapun beranjak ke pedagang lain dan transaksi berjalan mulus, walaupun kami tidak berbicara bahasa yang sama, cukup memilih barang-barang yang saya mau beli dan penjual bergegas menghitung total belanjaan saya, beres! Atau kalau beruntung, saya berjumpa dengan penjual maupun sesama pembeli yang dapat berbahasa Inggris.

Pengalaman lain adalah ketika membeli bawang merah. Rupanya dimanapun selalu ada orang yang mencoba-coba. Saya membeli bawang merah seharga 80 Baht per kilo sesuai dengan tulisan yang tertera. Begitu menyerahkan selembar uang 100 Baht, sang penjual pura-pura seolah-olah berharap saya akan memberikan sisanya. Eits, tunggu dulu...saya tidak akan begitu saja memberikan uang yang bukan haknya, kemudian saya tagih kembalian 20 Baht (dalam bahasa Inggris), dan dengan raut tanpa dosa, iapun memberi saya sejumlah kembalian seharusnya. Pengalaman yang sama pernah terjadi juga ketika saya berbelanja di pasar lain di wilayah Ratchadapisek. Berbeda dengan Khlong Toey, pasar yang diadakan setiap seminggu sekali ini berlokasi di pelataran depan sebuah hotel, bersih, teratur, dan bersahabat untuk ibu-ibu yang membawa bayi dengan kereta dorong. Pada waktu itu saya membeli penganan goreng, si penjual dengan tenangnya menyapa calon pembeli yang baru datang, tentu saja saya protes dan bilang bahwa saya mau kembalian sesuai dengan harga yang tertera di kertas. Akhirnya iapun mengembalikan uang saya, duh padahal dengan asumsi kedainya ditandai label halal, seharusnya dia tidak berpura-pura lupa memberikan saya kembalian ya? 

Pengalaman lain, masih di Khlong Toey, adalah ketika ada seorang wanita bertanya pada saya dalam bahasa Thai. Saya bilang maaf dalam bahasa Inggris tapi dia terus-terusan bicara, akhirnya saya tinggalkan saja diikuti dengan pandangan orang-orang sekitar. Ternyata cacat bahasa itu cukup melelahkan. 
 

Walaupun begitu, saya tidak pernah kapok belanja ke pasar dan Khlong Toey selalu menjadi favorit saya untuk berbelanja sayur-mayur dan buah-buahan segar. Langkah berikutnya adalah mengobati cacat bahasa saya sehingga kegiatan berbelanja di pasar tradisional menjadi lebih menyenangkan.

Selamat berhari Minggu!

Mengenang kehidupan di Port Vila

Rasanya baru kemarin kami menjejakkan kaki di bandara internasional Bauerfield, Port Vila, padahal itu terjadi lebih dari setahun yang lalu. Pada saat sudah berada kembali di kota besar seperti sekarang ini, rasa kangen dan kenangan manis selama tinggal di ibukota mungil berpenduduk kurang lebih 40 ribu jiwa ini seringkali muncul. Sulit memang membayangkan hidup di kota kecil setelah sekian lama terbiasa dengan denyut kehidupan kota besar. Namun, kepindahan kami ke Port Vila memberikan pengalaman hidup baru yang tentunya sangat berkesan bagi saya pribadi.
 
Port Vila Bay dengan Iririki sebagai latar belakang

Jarak dari bandara ke pusat kota hanya membutuhkan waktu 15 menit saja dengan mengendarai mobil, sampai akhirnya kami tiba di akomodasi sementara sebelum mendapatkan tempat tinggal permanen. Bulan pertama kami habiskan di sebuah apartemen studio mungil yang cukup nyaman yaitu Breadfruit apartment sampai kami menemukan sebuah rumah cantik di kawasan Nambatu yang hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari kantor maupun pasar swalayan. Ya, di Port Vila ada kawasan yang dikenal dengan nama Nambawan (berasal dari number one), Nambatu, dan Nambatri. Kawasan Nambawan itu terletak di pusat kota, tempat banyak café dan restoran berlokasi, Nambatu itu merupakan kawasan residensial yang dihuni oleh campuran penduduk asli dan ekspatriat, Nambatri lebih banyak dihuni oleh penduduk lokal, sedangkan kawasan Elluk, Tassiriki, dan Bellevue dihuni oleh penduduk asli golongan menengah ke atas dan kaum ekspatriat. Moda transportasi yang kerap saya gunakan adalah bus, dengan tarif 150 VUV (Vatu – mata uang Vanuatu) yang setara dengan 13,000 IDR untuk satu kali jalan, diantar sampai tujuan.

Pusat kota Port Vila dengan bus yang lalu-lalang
Nambawan

Ada banyak hotel mewah di Port Vila, namun hanya ada satu gedung yang mempunyai lift di seluruh negeri, yaitu hotel The Grand Hotel and Casino yang berlantai 6 yang terletak dekat pelabuhan Port Vila. Untuk keperluan sehari-hari saya biasa berbelanja ke satu-satunya pasar tradisional di pusat kota yang buka 6 hari dalam seminggu maupun pasar swalayan. Di pasar tradisional dapat ditemui sayuran dan buah lokal serta warung-warung makan. Sesuai musimnya, saya juga pernah menjumpai sate kelelawar dan kepiting kelapa dijual disana. Sedangkan produk sayur dan buah impor dapat diperoleh di pasar swalayan, terutama untuk produk makanan Asia. Lucunya, di pasar swalayan ini, ada banyak kemasan yang masih dijual meskipun telah melewati batas waktu dan tampaknya pembelipun, khususnya masyarakat Melanesia tidak khawatir untuk mengonsumsi produk yang sudah lewat batas waktu tersebut.

Buah-buahan dan sayuran lokal
Aktivitas di pasar tradisional
Gambar unik di dinding kantor pos Port Vila
Untuk buah-buahan segar, kami cukup beruntung karena di kebun sekeliling rumah ditanami oleh pohon buah-buahan seperti pisang, mangga, alpukat, kedondong dan nanas. Jadi teringat ketika musim mangga antara bulan November – Januari, setiap malam terdengar buah mangga matang jatuh dari pohon, dan keesokan paginya, sayapun panen seplastik penuh buah mangga, saking banyaknya sampai hampir setiap hari dibagi-bagikan ke teman-teman. Pada saat panen alpukat, kebetulan kami sedang berada di Indonesia, namun kami sempat merasakan lezatnya buah alpukat disini, dagingnya begitu lembut dan rasanya creamy, persis seperti alpukat mentega di Indonesia. Bahkan alpukat mentah yang diperam pun matangnya sempurna tanpa menjadi busuk. Sampai saat ini saya beranggapan bahwa alpukat Vanuatu adalah alpukat terenak yang pernah saya cicipi. Pisang adalah panenan kami terakhir sebelum meninggalkan Vanuatu. Dengan tiga batang pohon pisang di halaman, alhasil di rumah berserakan entah berapa sisir pisang mentah nan menggiurkan. Ah, jadi kangen masa-masa tinggal di rumah Nambatu...

Therese dan panen pisang dari kebun
Menanti panen nanas
Perbandingan mangga ukuran normal dengan mangga terbesar selama panen tahun 2010
Bercerita sedikit tentang rumah yang kami tinggali, rumah ini mempunyai balkon dengan pemandangan langsung ke arah laguna. Semburat matahari terbit setiap pagi dapat dinikmati langsung dari kamar kami, dan di siang hari, saat cuaca cerah, kami seringkali disuguhi pemandangan warna laguna yang bervariasi antara biru dan biru tosca. Saat sehabis hujan, giliran semburat pelangi yang menampakkan diri, benar-benar sempurna.

Kenangan manis di Nambatu
 Tidak banyak hiburan di kota ini, berbeda dengan umumnya kehidupan di kota besar. Aktivitas yang paling sering kami lakukan di akhir pekan, selain mengundang atau diundang teman-teman untuk makan malam bersama, adalah pergi ke pantai. Tinggal di kawasan Pasifik yang terkenal dengan pantai-pantai indahnya, rasanya rugi sekali kalau melewatkan kesempatan ini. Beberapa tempat favorit kami diantaranya Erakor, pulau kecil dengan resort yang terletak di laguna yang sama dengan laguna di belakang rumah yang kami tempati, Hideaway Islands, tempat ber-snorkeling yang terkenal dengan pemandangan bawah airnya dan underwater post pertama di dunia, dan Eton dengan blue hole-nya yang menakjubkan namun terletak agak di luar kota. Pada awal kami datang, penduduk lokal dapat masuk ke pantai-pantai ini, namun beberapa bulan kemudian, Erakor dan Hideaway Islands menerapkan peraturan baru yang mengharuskan pengunjung membayar biaya masuk sebesar 1500 VUV dan 1000 VUV sebelum menyeberang untuk kemudian ditukar dengan voucher pembelian menu makanan di restoran resort tersebut. Hal ini tentunya membatasi akses penduduk lokal dan jadinya hanya turis saja yang dapat berkunjung.

Pilihan tempat favorit untuk melewatkan akhir pekan

Pantai-pantai indah di sekitar kota Port Vila
Di Port Vila juga saya mengalami musim siklon pertama saya dan juga rangkaian gempa bumi yang cukup kuat. Musim siklon yang berlangsung dari bulan November hingga April pada awalnya cukup mengagetkan apalagi kalau belum terbiasa. Seorang teman yang berasal dari Kanada dan sudah terbiasa dengan badai (hurricane) mengatakan kalau angin-angin kencang di awal bulan November itu belum ada apa-apanya. Badai yang sering ia alami di benua Amerika sana menurut teman kami itu terasa seperti rangkaian kereta api lewat begitu dekat! Bulan Januari – Februari adalah masa-masa terburuk untuk siklon. Pernah suatu kali, saya ditinggal pergi bertugas selama seminggu dan otomatis sendirian di rumah. Malamnya, angin bertiup begitu kencang sampai rasanya pintu kayu pelindung berderak-derak nyaris terlepas. Keesokan paginya, batang pohon kedondong yang cukup tinggi sudah terkulai layu di tanah, pohon-pohon di halaman ada yang patah maupun nyaris bengkok, dan patahan ranting berserakan dimana-mana. Bila disertai dengan hujan, permukaan air di lagunapun bisa naik cukup tinggi, namun untungnya rumah kami berada di atas bukit batu sekitar 30 meter diatas permukaan air, jadi tidak terlalu khawatir untuk hal ini. Gempa bumi terkuat yang pernah saya rasakan juga terjadi ketika kami masih disini, beberapa minggu sebelum kepindahan kami. Jadi, pada dini hari Sabtu tanggal 20 Agustus, sekitar pukul 4 pagi saya merasakan tempat tidur bergoyang-goyang cukup lama sampai membuat saya terbangun. Setelah bangun dan menunggu beberapa saat, tidak terjadi apapun sampai kemudian mulailah guncangan yang cukup keras dan lama sekitar jam 5 pagi. Syukurlah, dengan skala M 7.1 dan kedalaman pusat gempa 40 km, tidak ada kerusakan bangunan apapun yang ditemui pagi itu.

Pengalaman tinggal di negara kepulauan di Pasifik Selatan ini tidak akan pernah saya lupakan, mulai dari kebiasaan kami bersantai di balkon sambil memandang laguna, belajar melempari buah mangga yang matang supaya cepat jatuh dari pohonnya dengan tetangga saya dari Fiji -Shainaz namanya-, menghabiskan akhir pekan dengan berenang dan snorkeling di pantai atau air terjun, berjalan kaki ke rumah sepulang bekerja –disini saya sempat bekerja sebagai sukarelawan di kantor pemerintah selama tiga bulan- sambil menikmati udara sore dan langit biru dan berpikir apakah saya akan mengenang saat-saat itu kelak (dan ternyata jawabannya adalah ya), seringkali menemukan kepiting yang tengah menyeberang jalan pada malam hari ketika kami melintas, melewatkan hari Sabtu pagi di café Au Peche Mignon di pusat kota untuk menyantap segelas coklat hangat dan croissant serta memborong sekantung chouquettes sebelum mampir ke pasar tradisional (pengaruh Perancis memang relatif kuat, khususnya di Port Vila), menyeruput segelas banana smoothie di Nambawan café, menikmati terbenamnya matahari sore di Port Vila bay sambil ber-stand up paddling bersama teman-teman, termasuk tentunya suasana pada malam hari yang gelap gulita karena ketiadaan lampu jalan yang merupakan bagian dari suka duka tinggal disini.
Permainan khas Perancis petanque
Mahasiswi USP sedang menampilkan tarian khas Vanuatu
Ekspresi polos anak-anak
Warna-warni Port Vila
Tulisan ini juga sekaligus untuk mencurahkan perasaan kangen pada teman-teman baik yang saya kenal selama tinggal disana, dan tentunya Therese, yang membuat rumah kami selalu bersih dan rapi. Hope to see you all again some other time in the near future!