Saturday 10 August 2019

NEW HOME

As this blog will no longer be updated, please visit www.jollyrambler.wordpress.com for more recent stories, thank you. Hope to see you there!

Wednesday 3 April 2019

Menelusuri Normandia

Terik matahari musim panas yang menyengat di Perancis selalu menjadi tantangan, meski untuk seorang manusia tropis seperti saya. Tapi Normandia terlalu istimewa untuk dilewatkan, sehingga hawa panas dan padatnya lalu-lintas yang biasa terjadi menuju daerah-daerah pantai pada liburan musim panas, kami lalui demi menginjakkan kaki di tanah yang kaya legenda ini. Normandia terkenal dengan bentang alam pedesaan dan lansekap tebing berbingkai aneka formasi batuan yang unik. Pantai berpasir putih, panorama tebing yang menakjubkan, desa nelayan yang cantik, kota pelabuhan yang rupawan, monumen bersejarah, hingga kasino kelas dunia ada disini.

Awal mulanya, wilayah Normandia ditaklukkan oleh bangsa Viking yang berasal dari Denmark dan Norwegia pada abad kesepuluh. Oleh karena itu “Northmen” yang merujuk pada bangsa Viking, menjadi akar kata nama daerah di sebelah barat laut Perancis ini.  Di abad kesebelas, tepatnya pada tahun 1066 setelah pertempuran Hastings di daratan Inggris, William sang Penakluk berhasil menaklukkan Inggris dan menjadi raja Inggris pertama yang berasal dari Normandia, berkuasa antara tahun 1066 hingga 1087. Wilayah Normandia secara bergantian dikuasai Inggris dan Perancis karena sempat berada dalam kekuasaan Inggris selama perang 100 tahun antara tahun 1345-1360 dan antara tahun 1415-1450. Saat ini, Normandia merupakan salah satu dari tigabelas wilayah administratif di Perancis.

Tujuan utama perjalanan kali ini tentunya adalah wisata alam paling terkenal di Normandia, yaitu tebing batu kapur putih berbentuk unik di Etretat. Persinggahan selanjutnya adalah kota kasino yang juga merupakan tempat diselenggarakannya pacuan kuda bergengsi Deauville dan kota pelabuhan Honfleur yang menawan. Sayang, karena udara panas yang begitu menyengat, kami hanya berkeliling kota Deauville dan cukup menikmati kecantikannya dari balik jendela mobil. 

Kisah di Balik Keindahan Tebing Etretat

Kota kecil Etretat memikat wisatawan dengan pemandangan barisan bukit batu kapur berselimut rumput hijau di sepanjang garis pantainya. Etretat merupakan tempat yang sangat terkenal di Perancis, dengan bentuk-bentuk tebingnya yang menakjubkan, berdiri kokoh di tepi Selat Inggris. Ditemani sorot matahari sore yang ramah, rasa lelah meniti ratusan anak tangga yang landai menuju puncak bukit lenyap seketika begitu menyaksikan keindahan tebing Porte D’Aval, melengkung alami menjorok ke laut. Hamparan padang Golf d’Etretat nan apik di sisi kiri dan panorama laut lepas di sisi kanan mengapit satu-satunya jalan setapak yang harus dilalui. Di dekatnya, L’Aiguille Creuse, bongkahan batu setinggi limapuluh meter dengan bentuk mengerucut berdiri menjulang. Di sisi lain, terdapat tiga bongkah batuan raksasa dengan jembatan kecil terhubung ke salah satu bongkahannya, dikenal dengan La Chambre des Demoiselles. Seolah belum cukup mencengangkan, nun di kejauhan, kontras dengan laut berwarna hijau kebiruan dan hamparan rumput hijau yang mengapitnya, tampak dinding batu kapur berwarna putih lengkap dengan bongkahan batu raksasa berbentuk huruf U terbalik, dikenal dengan nama Porte D’Amont. Sebuah bangunan gereja kuno Notre Dame de la Garde berdiri di atas bukit menambah kesan magis lukisan alam Etretat ini.
  
Panorama tebing Etretat begitu mengagumkan, sehingga pelukis Claude Monet, Auguste Renoir, dan Gustave Courbet bisa menuangkannya ke dalam puluhan kanvas. Salah satu yang terkenal dan dipamerkan di Musee d’Orsay di Paris adalah hasil karya Claude Monet berjudul Etretat, The Cliff, reflections on water, yang dilukis pada tahun 1885. Etretat menjadi inspirasi para seniman dalam menelurkan karya, termasuk diantaranya penulis Maurice Leblanc yang menciptakan tokoh pencuri legendaris Arsène Lupin. Dalam salah satu seri novelnya berjudul l’Aiguille Creuse yang terbit pada awal abad 20, diceritakan bahwa konon di dalam bongkahan batu raksasa tersebut tersimpan harta karun para raja Perancis. Boleh percaya boleh tidak dengan imajinasi Leblanc, tapi begitu berada disini, tidak dapat disangkal, Etretat memberikan kesan magis. Ditambah lagi, dalam kenyataan, pada tahun 1927, pesawat Oiseau Blanc yang mempunyai misi menyeberangi Samudera Atlantik terakhir kali terlihat terbang melintasi Etretat sebelum akhirnya menghilang tanpa jejak dan tidak pernah ditemukan. 





Ternyata, Etretat juga mempunyai legenda yang populer di kalangan penduduk setempat, yaitu tentang kisah tiga gadis muda kakak beradik putri seorang saudagar yang dikejar-kejar bangsawan licik. Karena merasa terganggu, ketiga gadis ini memutuskan untuk bersembunyi dari kejaran sang bangsawan dan keluar berjalan-jalan di bukit di sekitar tebing hanya pada malam hari di bawah cahaya bulan. Berita ini tersebar ke seantero desa hingga terdengar ke telinga sang bangsawan yang kemudian bermaksud membuntuti ketiga gadis tersebut pada suatu malam. Ketiga gadis yang kaget bukan kepalang berlari ketakutan dan berhasil bersembunyi di dalam salah satu bongkahan batu, namun kemudian mereka terjebak di dalam karena satu-satunya pintu keluar tertutup reruntuhan batuan. Konon, ketiga gadis itu menghilang secara misterius. Ketiga bongkahan batu itu kemudian dinamai La Chambre des Demoiselles untuk mengenang kisah tentang ketiga gadis muda tersebut. Ditemani semilir angin pantai sore itu, saya menanti matahari terbenam dengan potongan kisah legenda memenuhi benak.

Deauville yang Berkilau


Berjarak satu jam berkendara dari Etretat menuju ke selatan, terdapat Deauville, kota pantai mewah yang menjadi daya pikat bagi banyak orang untuk melewatkan liburan musim panas. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah selatan untuk berburu pantai dan sinar matahari, Deauville dinobatkan menjadi Parisian riviera karena lokasinya yang hanya berjarak 2,5 jam berkendara dari ibukota Paris. Kesinilah para pesohor dunia serta orang-orang kaya Paris dan sekitarnya datang untuk menghadiri festival film internasional, menonton lomba pacuan kuda, mengadu peruntungan di meja kasino, ataupun hanya sekedar berlibur sambil berburu sinar matahari. Bukan pemandangan aneh jika mayoritas kendaraan yang berseliweran di jalanan kota Deauville mempunyai plat nomor kota Paris dan sekitarnya.

Wajah kota Deauville langsung mencuri perhatian saya pada kunjungan pertama. Kesan Deauville sebagai kota kaya segera terasa. Di setiap sudut kota, bangunan villa dan rumah-rumah pribadi yang indah dan mewah berdiri megah seolah memamerkan keistimewaannya masing-masing. Meski gaya arsitekturnya lazim ditemui di daerah Normandia, tidak ada satu bangunanpun yang memiliki kesamaan detil, semuanya unik. Hotel-hotel mewah, kasino, dan vila berserakan hampir di setiap persimpangan jalan. Stasiun kereta api Trouville – Deauville yang bergaya Art Deco, hotel legendaris Hôtel Barrière le Normandy, dan Hôtel de Ville atau Balai Kota adalah sedikit diantara bangunan ikonik kota ini.  














Jika kota seperti Deauville dirancang sedemikian rupa sebagai kota liburan kalangan kaya Perancis, sayapun bertanya-tanya dimanakah orang-orang yang menggantungkan hidup dari roda ekonomi Deauville tinggal? Nah, berjarak sekitar dua kilometer dari Deauville, kota pendukung Trouville tampak jauh lebih bersahaja dan nyata dibanding kota tetangganya yang bak negeri mimpi. Namun, ternyata di balik gemerlapnya Deauville, ia juga menyimpan kisah kelam. Puluhan tahun lampau, tepatnya tahun 1936, Deauville sempat menjadi tempat penyelenggaraan balap mobil bergengsi Grand Prix untuk pertama sekaligus terakhir kali, akibat terjadinya tragedi kecelakaan fatal selama perlombaan dan mengakibatkan pihak penyelenggara juga merugi. Meski begitu, reputasinya sebagai tuan rumah penyelenggara festival film Deauville dan lomba pacuan kuda bertaraf internasional tetap bertahan hingga saat ini.  

Petualangan di tanah Normandia ini ditutup dengan kunjungan ke Honfleur. Sebagai keluarga pejalan yang kemanapun pergi selalu membawa bocah-bocah cilik, hiburan untuk anak-anak pastinya tidak terlupakan. Berbalut udara panas di siang hari yang terik, kehadiran komidi putar di depan kantor walikota tentunya segera menarik perhatian si sulung. Sementara saya sendiri cukup puas menikmati panorama kota pelabuhan Honfleur yang ikonik.