Saturday 30 November 2013

#World Heritage Sites: Old and New Towns of Edinburgh

Scott Monument yang didirikan untuk mengenang sastrawan Sir Walter Scott
Hamparan bunga yang melambangkan bendera Skotlandia

Seri situs warisan budaya dunia bersambung kembali. Masih di daratan Inggris Raya, kali ini saya berkesempatan menginjakkan kaki di kota Edinburgh. Sebagai pembuka, perjalanan ke daratan Skotlandia ini adalah salah satu kenangan yang paling berkesan bersama sahabat senasib yang kebetulan sama-sama terdampar di Bristol. Ceritanya, Sri, sahabat saya ini, punya hobi membuka situs ini tengah malam demi mencari tiket murah. Sampai suatu hari, dengan semangat ia memberitahu saya kalau ada tiket murah dari London ke Glasgow. Kebetulan di kampus juga sedang libur tengah semester dan kami sangat penasaran dengan keindahan tanah Skotlandia serta misteri Nessie, si penghuni danau Ness.

Perjalanan dari Bristol ke London lancar sampai kami tiba di bandara Stansted. Saat check in, masalah muncul karena ada satu data di tiket yang kami beli online yang kosong, yaitu data nomor yang hanya dimiliki oleh warga negara Uni Eropa. Kami jadi harus lari kesana kemari sebelum akhirnya bisa memperoleh boarding pass. Itupun masih diwarnai drama Sri tertinggal di belakang saya karena terhambat oleh pemeriksaan di mesin detektor dan dengan yakinnya Sri menyuruh saya untuk boarding lebih dulu, mana ternyata gate di Stansted itu banyak sekali dan pesawat kami ada di salah satu gate yang terjauh :(. Setelah drama satu episode ini, akhirnya kami berdua berhasil naik pesawat dengan terengah-engah. Hal lain yang paling saya ingat dari perjalanan ini yaitu untuk pertama kalinya saya bisa merasakan naik pesawat yang ngebut seperti naik metromini, hihi..ajaib!

Edinburgh adalah kota terakhir yang kami kunjungi di Skotlandia setelah Glasgow dan Inverness. Ibukota Skotlandia ini terdiri dari kota tua (Old Town) yang didominasi oleh benteng pertahanan dan istana dan kota baru (New Town) yang dibangun sejak abad 18. Pada tahun 1995, Edinburgh mendapatkan statusnya sebagai Situs Warisan Budaya dari UNESCO sebagai contoh sukses preservasi dan pembangunan yang harmonis antara kota tua dan kota barunya. 
Old Town of Edinburgh

Old Town of Edinburgh

New Town yang sedang giat membangun

Pemandangan New Town dengan latar belakang Old Town
Arthur's Seat yang terbentuk sekitar 350 juta tahun lalu

Untuk menjelajahi pusat kota Edinburgh, kami mengikuti tur Sandemans New Europe Walking Free Tour dengan banyak wisatawan lain. Tur ini cocok untuk mahasiswa bermodal pas-pasan seperti kami karena peserta hanya diminta tip sukarela untuk tiga jam berkeliling dan dengan cara seperti ini memungkinkan pengunjung untuk mengetahui banyak legenda lokal dan tempat bersejarah yang sangat menarik dan mungkin tidak termasuk dalam paket tur komersial. Tur ini juga tersedia di beberapa kota besar Eropa seperti Amsterdam, Berlin, London, Munich, Paris, dan Potsdam. Tur menarik ini membawa kami mengunjungi tempat-tempat penting dalam sejarah Skotlandia, tempat J.K. Rowling menelurkan kisah Harry Potter yang sangat terkenal, dan kisah Bobby, si anjing lucu legendaris dari abad ke-19 yang setia menunggui makam sang tuan di Greyfriar Kirkyard selama 14 tahun sampai ia akhirnya meninggal dan dikuburkan tidak jauh dari makam tuannya.

Tempat JK Rowling mendapatkan inspirasi sambil menulis hingga lahirlah Harry Potter
Bobby, si anjing setia
Sebenarnya, ada juga Ghost tour di kota ini yang tampak menarik, namun baru berada di area pemakaman Greyfriar Kirkyard pada siang hari saja sudah takut, apalagi kalau malam, akhirnya keinginan ikut tur ini dikubur dalam-dalam. 


Suasana di kompleks pemakaman Greyfriar Kirkyard

Nisan John Gray, pemilik Bobby si anjing lucu nan setia

Di sepanjang Royal Mile, jalan utama yang paling turistik di kota Edinburgh, terdapat banyak bangunan historis dan beraneka toko souvenir yang menarik. Royal Mile ini adalah jalan yang menghubungkan Ediburgh Castle dan Holyrood Palace.

St. Giles Cathedral



Holyrood Palace dari kejauhan

Holyrood Palace
Lampu taman pun tidak lupa dimahkotai
Poster kampanye di salah satu cafe yang menuntut pembatalan hutang Indonesia kepada UK untuk pembelian senjata pada masa Orde Baru

Mau tahu berapa hutang Indonesia pada UK untuk pembelian senjata ini? US$ 1.4 milyar!!

Museum Edinburgh

Calton Hill
 
Rumah pembuat sepatu boot terkenal di Edinburgh

Jebakan tangga yang dibuat si pemilik rumah untuk pencuri

Edinburgh Castle

Salah satu sisi Edinburgh Castle
 


 

Dua hari di Edinburgh rasanya belum cukup untuk mengeksplorasi kota cantik yang klasik ini. Semoga suatu hari nanti mimpi membawa saya lagi ke sana. Tulisan ini sekaligus diperuntukkan bagi Sri, teman seperjalanan dan salah satu teman terbaik yang saya miliki. Miss you loads and our good old times! Jalan-jalan lagi yuk ke Edinburgh *serasa punya pohon duit :p*

Monday 25 November 2013

Perokok = Egois?

Sebagai pengguna setia angkutan umum, hal paling menyebalkan bagi saya adalah ketika didalam kendaraan yang saya tumpangi ada yang merokok. Entah itu sesama penumpang, kernet, atau sopirnya. Kalau sudah begitu, sapu tangan atau tisu kerap menjadi penyelamat untuk saya. Tanpa bereaksi berlebihan, begitu ada yang merokok, saya langsung tutup hidung. Kenapa harus tanpa bereaksi berlebihan? Dari pengamatan saya, ada sebagian perokok di Indonesia yang suka bersikap lebay alias berlebihan. Pernah beberapa kali, saya secara ekstrim menutup hidung gara-gara sesama penumpang di angkutan umum merokok, eeh...kok ya malah asap rokoknya secara sengaja dihembuskan ke muka saya? dan ini bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. Saya pun dengan kekesalan segunung hanya bisa memendam kebencian pada si oknum perokok sambil mengeluarkan sumpah serapah dalam hati. Tidak mengubah situasi sih, tapi setidaknya kekesalan saya sedikit berkurang.

Entah kenapa, tapi di negara saya tercinta ini, susah berada di satu tempat yang bebas dari asap rokok, bahkan di ruangan berpendingin udara sekalipun. Di negara-negara lain, para perokok seolah punya etika merokok yang ditaati dan di beberapa negara larangan merokok disertai dengan denda yang lumayan menguras dompet. Di Indonesia, peraturan ada untuk dilanggar, bukan begitu? Rasanya para perokok itu sudah keracunan nikotin akut sampai-sampai membacapun mereka tidak bisa. Contohnya seperti ini:

Perhatikan tanda "area bebas rokok"di papan hijau
Terus, apakah ada petugas yang berkeliling memastikan peraturan dilarang merokok dipatuhi? Hm..kalaupun ada, petugas-petugas yang berkeliaran di fasilitas umum seperti diatas pura-pura tidak melihat. Enggan menegur? takut balik dimarahi? Entahlah.

Saya juga heran, kenapa ya para perokok ini seringkali malah balik marah kalau ditegur, padahal jelas-jelas mereka yang salah? Pernah satu kali, saya sedang mengantri taksi di bandara Don Mueang. Tiba-tiba, tercium oleh saya bau rokok, ternyata ada pria yang merokok di antrian sebelah saya, padahal di tiang tidak jauh dari tempat kami berdiri ada tanda dilarang merokok dan denda THB2,000 bagi yang melanggar. Sayapun bilang pada pria tadi untuk mematikan rokoknya sambil menunjuk tulisan di tiang tersebut. Si pria kemudian buru-buru keluar dari antrian sambil mematikan rokoknya. Dalam hati, saya membatin, di negara orang saya bisa turut menegakkan peraturan, tapi di negara sendiri, belum tentu saya akan melakukan hal yang sama. Kalau mengingatkan turis yang baru datang ke Indonesia, mungkin bisa, tapi kalau mengingatkan sesama orang Indonesia, huh, paling ujung-ujungnya saya yang jadi korban :(.

Satu pertanyaan besar bagi saya, adakah kaitannya efek nikotin dengan penurunan fungsi otak dan mental para perokok ini sehingga mereka tidak punya etika sama sekali dan sangat egois terhadap orang lain yang tidak merokok namun terpaksa menjadi perokok pasif? Bagusnya, para perokok ini masing - masing diberi helm kaca ketika ingin merokok, jadi mereka sendiri yang terpapar asapnya tanpa harus mengorbankan orang lain. Pernah punya pengalaman serupa?

Wednesday 20 November 2013

Menengok Shakespeare di Stratford-upon-Avon

Anne Hathaway's Cottage yang menawan

Musim panas tahun ini adalah pertama kalinya kami mengunjungi kota Stratford-upon-Avon. Tempat kelahiran sastrawan William Shakespeare yang menjadi tujuan karena tidak terlalu jauh dari Oxford, kota persinggahan sebelumnya.

Karena tiba di Anne Hathaway's Cottage sudah kesorean, target selanjutnya adalah pusat kota yang ternyata juga relatif sepi karena hampir semua toko di jalan-jalan utama sudah menutup gerainya.

Henley St. di pusat kota menjelang senja (hampir semua toko yang kami lewati sudah tutup)
Tipikal bangunan di Stratford

Deretan toko-toko cantik di penghujung Henley St.
Toko Mr. Peter Rabbit yang terkenal
Selalu terpesona dengan bangunan cantik seperti restoran ini
Ada lima tempat yang berkaitan erat dengan kehidupan Shakespeare yang tersebar di kota ini dan merupakan tujuan utama wisatawan yang berkunjung. Pertama, Shakespeare's Birthplace atau rumah tempat Shakespeare dilahirkan yang terletak di pusat kota; kedua, Mary Arden's Farm; ketiga, Hall's Croft yang merupakan rumah anak perempuan Shakespeare; keempat, Nash's House & New Place dimana Shakespeare menghembuskan napas terakhirnya; dan kelima, Anne Hathaway's Cottage, rumah keluarga istri Shakespeare, Anne Hathaway. Dari kelima tempat itu, tiga berada di pusat kota sedangkan dua lagi berada sedikit di pinggiran. Kami memutuskan untuk mengunjungi salah satu dan yang paling terkenal, yaitu Anne Hathaway's Cottage yang sudah berusia hampir 500 tahun.
 
Tempat kelahiran William Shakespeare pada 1564
Setelah membayar tiket masuk £9 per orang, kami sempat menunggu beberapa saat sampai rombongan sebelum kami pindah ke area kunjungan berikutnya. Kami menelusuri sudut demi sudut rumah dengan bimbingan pemandu yang fasih menjelaskan semua kisah dibalik perangkat dan ruang di rumah tersebut.


Terpesona dengan rumpun bunga mawar di dinding
Salah satu sudut dapur, bagian tertua dari rumah ini dan masih dipertahankan keasliannya
Oven jaman dulu kala
Kamar tidur Anne Hathaway
Kamar tidur yang tampak spooky

Sudut lain dapur
English garden yang indah dan natural (pemandangan aslinya jauh lebih cantik)

Selesai mengikuti tur, kami  memesan secangkir coklat panas di cafe-nya yang mungil sambil memuaskan mata memandangi taman hijau di sekeliling. Nuansa English garden yang begitu kental membuat saya betah berlama-lama mengagumi setiap rumpun bunga yang seolah dibiarkan tumbuh liar alami. Kami melewatkan setengah hari disana dengan menjelajahi hutan kecil dan kebun hijau yang begitu menyegarkan mata.  
Menjelajahi kebun apel

Setelah menikmati keindahan rumah dan kebun keluarga Anne Hathaway ini, saya tidak heran bila dulu Shakespeare tidak akan pernah kehabisan kata-kata indah untuk calon istrinya itu, karena setiap sudut kebun menebarkan kesan romantis yang begitu kuat. Saya saja yang jauh dari romantis bisa mendadak menyusun kalimat puitis, apalagi untuk seorang Shakespeare :).

Tuesday 19 November 2013

#World Heritage Sites: Historic Town of Sukhothai and Associated Historic Towns

Wat Maha That, Sukhothai Historical Park

Meneruskan seri situs warisan dunia, akhir bulan lalu kami menginjakkan kaki di Sukhothai, bekas ibukota kerajaan Siam pada abad 13-14 sebelum dipindahkan ke Ayutthaya lalu kemudian ke Bangkok. Sekadar intermezzo, entah kenapa, setiap mendengar kata Sukhothai, yang terlintas di pikiran saya malah pesawat tempur Sukhoi, mungkin karena sama-sama berawalan S dan berakhiran I :). Kembali ke Sukhothai, setelah menempuh perjalanan dengan mobil selama 7 jam, sampai juga kami di Sukhothai Heritage Resort, tempat kami menginap. Idealnya, perjalanan Bangkok-Sukhothai bisa ditempuh dalam waktu 5-6 jam, tapi berhubung membawa David, otomatis kami banyak berhenti untuk meluruskan kaki dan membebaskan si kecil jika sudah bosan duduk di carseat-nya.

Rekomendasi teman tentang hotel ini ternyata tidak salah. Bangunan hotelnya sendiri hanya bertingkat dua, namun interiornya didominasi oleh kolam-kolam dan taman hijau hampir di setiap sudut dengan arsitektur khas Sukhothai dan sofa-sofa nyaman di setiap sudut ruang yang berkonsep terbuka. Bagaimana dengan kamarnya? Kami berdua sama sekali bukan tipe wisatawan jetsetter ataupun high-end, jadi kalau tenda saja bisa jadi nyaman, apalagi kamar hotel, hehehe...Kesan-kesan kami menginap di hotel ini akan saya ceritakan dalam ulasan terpisah.

Keesokan paginya, kami berangkat menuju Sukhothai Historical Park sekitar jam 9, kurang lebih sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil sampailah kami disana. Sukhothai Historical Park ini mendapat status Warisan Budaya Dunia dari UNESCO pada Desember 1991 karena kekayaan nilai sejarah yang pada masa jayanya menjadi pusat administrasi, agama, dan ekonomi. Arsitektur bangunan di Sukhothai juga berkontribusi dengan kekhasannya sehingga dikenal istilah "Sukhothai style" dalam arsitektur bangunan di Thailand.

Ternyata, Sukhothai jauh lebih besar dari Ayutthaya, dan menurut pendapat kami, jauh lebih bagus, lebih hijau, lebih ndeso dengan pemandangan hewan ternak yang sedang merumput di padang rumput sekeliling kompleks candi, dan udaranya jauh lebih sejuk (mungkin karena kami datang di musim hujan). Tiket masuk area kompleks adalah THB 100/orang dan THB 50/mobil. Sayang, hari itu kunjungan kami ke Sukhothai sempat disertai hujan deras sehingga banyak kawasan kompleks tergenang air cukup tinggi. Kami sempat berhenti sebentar di pusat informasi, namun sangat disayangkan, untuk tempat bersejarah seindah Sukhothai, pusat informasi ini hampir tidak menyajikan informasi apapun, selain maket kompleks dan peta lokasi. Berbeda dengan pusat informasi di Ayutthaya yang mempunyai staf berbahasa Inggris, mengadakan pemutaran film pendek tentang Ayutthaya, dan menyediakan setumpuk brosur menarik tentang Ayutthaya dan lingkungan sekitarnya. Wajar juga sih, mengingat secara jarak, Ayutthaya lebih dekat dari Bangkok, jadi lebih banyak wisatawan yang berkunjung kesana dibandingkan dengan ke Sukhothai.

Bagian dari Wat Maha That

Turis dan guide-nya
Wat Maha That yang tergenang air hujan

Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan mengelilingi Wat-Wat yang lain. Ternyata, kalau musim hujan, Sukhothai "kebanjiran". Danau-danau bermunculan dimana-mana dan banyak bagian dari candi yang sulit diakses. Memanfaatkan waktu disana, akhirnya kami berkeliling kompleks naik mobil dan baru turun untuk mengunjungi Wat Maha That, candi yang terbesar dan Wat Si Sawai yang cantik. Menjelang waktu makan siang, kami berhenti di deretan kedai makan dan souvenir di seberang Wat Maha That untuk menikmati pad thai goong. Selesai makan, niatnya langsung menuju Wat Saphan Hin dan Wat Si Chum yang berada di luar kompleks. Hujan deras kembali turun tapi kami tetap menuju Wat Saphan Hin. Tidak begitu jauh dari loket pembelian tiket, tampaklah Wat Saphan Hin di atas bukit di sebelah kanan. Tunggu punya tunggu, hujan tidak menunjukkan niatnya untuk berhenti, akhirnya THB 200 pun hangus karena kami memutuskan untuk pergi dari Wat Saphan Hin :(. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Wat Si Chum. Kalau dari arah Sukhothai Historical Park, Wat Saphan Hin dan Wat Si Chum dapat dicapai dengan mengambil arah menuju Tak, namun jalan masuk Wat Si Chum terletak di sisi kanan jalan, sedangkan jalan masuk Wat Saphan Hin masih lebih jauh lagi dan terletak di sisi kiri jalan. Sesampainya di Wat Si Chum, langit masih mendung dan rintik-rintik hujan belum juga mau berhenti. Karena sudah sore, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Dalam perjalanan pulang, kami sempat mengitari kompleks bandara dekat hotel dan ternyata ada kebun binatang disana yang otomatis menjadi tujuan dalam agenda jalan-jalan besok.

Wat Si Sawai yang fotogenik
Jalan mendaki menuju Wat Saphan Hin yang akhirnya batal didatangi
Terpesona dengan saudaranya Sophie si jerapah
Berbeda dengan hari sebelumnya, matahari tampak bersahabat di hari Jum'at itu. Pagi ini kami mau berkeliling desa naik sepeda yang dipinjamkan gratis untuk tamu hotel. Dengan David di punggung saya, kami bertiga mengayuh sepeda dengan semangat. Rasanya sudah lama sekali saya tidak bersepeda. Tujuan pertama adalah kompleks bandara yang berlokasi 1,5 km dari hotel kami. Di kompleks ini ada miniatur Angkor Wat, cafe-cafe kecil, kebun binatang, kandang kerbau, rumah kaca tempat budidaya anggrek dan beberapa bangunan tertutup yang tampak seperti museum. Perjalanan pagi itu benar-benar menjadi momen bagus untuk mengenalkan beragam hewan pada David, yang selama ini hanya ia tahu dari buku cerita. Mulai dari sapi, kerbau, zebra, jerapah, angsa putih dan angsa hitam, bebek, kijang, sampai burung merak. Setelah melewati rumah kaca, kandang sapi, dan kompleks rumah pegawai setempat, eksplorasi diakhiri dengan minum segelas jus rumput padi (aneh ya namanya?)di kedai yang menjual makanan dan minuman organik.

Sebelum perjalanan dimulai
Tidak pernah bosan melihat antrian bebek yang tertib
Tertidur di tengah perjalanan
Menyusuri jalan setapak desa

Setelah beristirahat sebentar di hotel, kami kembali lagi ke arah kota menuju Wat Si Chum dan Sukhothai Historical Park memanfaatkan cuaca yang cerah. Puas berkeliling, mobil diarahkan ke Si Satchanalai Historical Park yang juga merupakan situs Warisan Budaya, tapi terletak sekitar 70 km dari Sukhothai. Sampai sana menjelang senja, tentu saja kompleksnya sudah tutup. Tidak ada pilihan selain kembali ke hotel dan melewatkan malam terakhir kami di Sukhothai sebelum kembali ke Bangkok besok pagi.

Patung Buddha raksasa di Wat Si Chum


Salah satu candi unik berhiaskan patung gajah di setiap sisinya

 
Wat Maha That tampak belakang

Pantulan candi di genangan air hujan

Rawa yang memberikan kesan damai sekaligus misterius

Liburan 4 hari 3 malam kami kali ini benar-benar menyenangkan seperti biasanya dan selalu ada hal menarik yang kami temui, diantaranya kompleks bandara Sukhothai yang begitu unik dan jus rumput padi yang sulit dijelaskan rasanya :). Penduduk sekitar dan pekerja-pekerja nan ramah yang kami temui pada saat berjalan-jalan keliling desa turut menyempurnakan suasana liburan kali ini.

phóp kan mài, Sukhothai!